Kehidupan O’Hongana Manyawa di Hutan Halmahera Tergilas Tambang

Dua orang dari suku Tobelo Dalam ketika berada di tepi sungai. (Faris Bobero)

Kegiatan Sociology Festival (SocFest) II yang digelar mahasiswa dan alumni jurusan Sosiologi Fisip UMMU Ternate memang sudah ditutup sejak Rabu (27/7). Tapi ada yang menarik dalam SocFest, sehingga tidak harus terlewatkan. Ini menyangkut kehidupan suku Tobelo Dalam di hutan Halmahera. Siapa mereka, bagaimana mereka bertahan hidup di hutan dan sudah seperti apa kondisi mereka sekarang ? berikut laporan jurnalis Nuansa Media Grup (NMG)   

Syafrudin Kadir—TERNATE

 

O’Hongana Manyawa dan Ruang Hidup Halmahera, begitu tema diskusi malam itu di Benteng Oranje, Kota Ternate. Diskusi ini menghadirkan seseorang yang pernah bertahun-tahun ‘hidup’ dengan suku Tobelo Dalam. Dia adalah Syaiful Madjid, Dosen Sosiologi UMMU. Selama dengan mereka, ia mempelajari banyak hal, seperti cara berkomunikasi, keseharian dan bagaimana suku Tobelo Dalam bergantung hidup terhadap hutan.

Syaiful menjelaskan, kata O’Hongana Manyawa itu bagian dari identitas. O’Hongana Manyawa bukan Togutil. O’Hongana Manyawa adalah sebutan orang Tobelo yang artinya orang hutan atau orang yang hidup di hutan. Orang yang hidup di hutan (O’Hongana Manyawa) tidak pernah menganggap mereka itu Togutil. Sebutan Togutil memiliki makna seperti terbelakang, terasing, yang tentu berbeda dengan O’Hongana Manyawa.

Hutan Halmahera. (istimewa)

Bagi suku Tobelo Dalam (O’Hongana Manyawa), hutan bukan sebatas tempat tinggal, tetapi jauh dari itu: sumber kehidupan. Bahkan hutan juga dianggap melahirkan, meninggal dan bisa mengikuti anak cucu mereka. Pola hidup dan kehidupan O’Hongana Manyawa begitu bergantung pada ‘kebaikan’ hutan. Hutan dijadikan sebagai sesuatu yang mengikat diri orang Tobelo Dalam, termasuk bisa menentukan sikap dan perilaku mereka. Sebab, hutan merupakan rumah dan sebuah proses kelangsungan hidup sehari-hari.

Menurut Syaiful, ketika maraknya perusahaan tambang masuk di pulau Halmahera, kehidupan O’Hongana Manyawa saat ini mulai terancam. Ada 25 mata rumah suku Tobelo Dalam yang tersebar di hutan Halmahera, yakni 14 di Halmahera Timur, 6 di Halmahera Tengah, 4 di Tobelo dan satu di Oba Tayawi, Tikep. Satu mata rumah tentu terdapat begitu banyak suku Tobelo Dalam.

Bukan hanya sekarang, sejak 1970, ketika perusahaan seperti Barito masuk di Maluku Utara, kehidupan O’Hongana Manyawa sudah diusik. Kehidupan mereka di hutan kian terancam memasuki tahun 1980 dan 1989, di mana hutan Halmahera digarap beberapa perusahaan kelas kakap seperti Nusa Halmahera Minerals di Halmahera Utara, Aneka Tambang dan PT Yudistira di Halmahera Timur dan ada Weda Bay Nikel serta PT Tekindo di Halmahera Tengah.

“Selama saya melakukan penelitian, saya menemukan bahasa lisan yang menjadi pegangan O’Hongana Manyawa. Bahaya lisan itu adalah ‘semua kehidupan kami berada di dalam bambu, pada malam hari kami berada di api, sedangkan pada siang hari kami menyatu dengan binatang yang berada di hutan kami’. Jadi hutan bagi mereka itu menyiapkan semuanya. Bambu menjadi tempat digunakan makanan dan tempat tidur (dego-dego),” ungkap Syaiful.

Syaiful Madjid ketika memberikan penjelasan tentang O’Hongana Manyawa.

Pegangan suku Tobelo Dalam itu tentu bertentangan dengan sikap negara yang bekerjasama dengan perusahaan, di mana pada 70 –an dibuat sejumlah proyek pemukiman. Tak jauh dari pula, pemerintah melakukan proyek transmigrasi besar-besar di Halmahera Timur, yakni di Subaim, Dodaga hingga Tatuli. Negara juga membuat proyek pemukiman ke daerah perkampungan yang disebut tuna rumah dan tuna budaya, yang bagi Sayiful, ini adalah politik domestikasi dalam bentuk penzinakan negara terhadap O’hongana Manyawa. “Sekarang ini Akejira (lokasi O’Hongana Manyawa) menjerit. Tambang beroperasi, eksploitasi sumber daya besar besaran ini guna menaklukkan komunitas ini agar akan hilang. O’Hongana Manyawa menganggap hutan adalah tempat leluhur. Jika dianalogikan. Mereka bukan pembunuh,” tegasnya.

Narasumber lain yang dihadirkan saat itu adalah Ketua Adat Nusantara (AMAN) Maluku Utara, Munadi Kilkoda. Ia mengatakan, suku Tobelo Dalam adalah  salah satu adat yang masih bergantung dengan hutan. ” Biasanya kelembagaan adat ini ada yang dituakan untuk mengatur sistem hukum, sistem politik agar diminta persetujuan  dalam menghadapi terminologi yang berkonsekuensi terhadap kebijakan. Seperti ada yang buat baliho dan dipasang foto orang Tobelo dalam pada saat momentum politik atau untuk dipromosikan ke taman nasional agar orang mengetahui bahwa suku Tobelo dalam ada di sana,” katanya.

Lanjutnya, memang sejuah ini suku Tobelo Dalam telah dieksploitasi. Mereka ini menjadi objek untuk menjual satu kawasan destinasi. Termasuk dianggap masyarakat terasing, masyarakat terpencil yang digunakan pemerintah melalui dinas sosial. “Karena disebut hidup berpindah-pindah satu tempat ke tempat yang lain, tidak sama dengan orang kota hidupnya menetap. Sehingga dipaksakkan harus menetap dan dianggap orang ini hidup liar, pembunuh dan kejam sekali, itu negara punya cara pandang,” bebernya.

Ia menjelaskan, negara menganggap orang Tobelo Dalam tertinggal dan miskin, maka diberikan subsidi beras. Lahirnya program transmigrasi, terutama dusun Raja Wasilei. Sagu yang tadi menjadi sumber kehidupan, kini hilang. “Praktik itu adalah bentuk penjajahan yang dilakukan konstruksi kebijakan yang salah, apalagi dengan penggunaan istilah orang Togutil. Orang Tobelo Dalam itu menghadapi satu tekanan luar biasa di antara perubahan internal beradaptasi dan tekanan eksternal yakni masifnya kebijakan pada sektor sumber daya alam pada pemerintah,” tutupnya. (*)