Oleh: Gufran A. Ibrahim [Ibrahim Gibra]
Profesor Antropolinguistik Universitas Khairun
Pidato ini dimulai dengan sebuah tesis
Cara terbaik menyelamatkan bahasa daerah dari ancaman kepunahan adalah menghidupkan kembali penggunaan bahasa daerah di lingkungan keluarga penutur jati, native speaker. Di rumah, di kampungnya, anak-anak sebagai generasi pewaris bahasa harus mendapatkan kesempatan memperoleh bahasa daerah sebagai bahasa ibu.
Tiga fakta
Ada tiga fakta yang mendasari tesis ini. Pertama, hasil berbagai riset tentang daya hidup bahasa (language vitality) menunjukkan bahwa kepunahan bahasa-bahasa etnik atau bahasa daerah di dunia terjadi di rumah, di kampung, atau di teritori tradisional bahasa tersebut. Keluarga batih (nuclear family) penutur jati (native speaker) tidak lagi menggunakan bahasa daerah di rumah dan kampung. Living Tongues Institute for Endangered Languages, sebuah lembaga internasional nirlaba berbasis di Salem, Oregon, Amerika Serikat, yang berkerja bertahun-tahun mendokumentasi dan mempreservasi sejumlah bahasa etnik di dunia, terutama di negara-negara berkembang menemukan satu kenyataan bahwa ayah dan ibu dalam satu komunitas penutur jati bahasa etnik tidak lagi membisakan dan membiasakan anak-anak mereka mengunakan bahasa ibu (mother language, mother tongue) di rumah. Sebagai pewaris bahasa, anak-anak tidak lagi mendapatkan kesempatan memperoleh bahasa ibu dari orang tua mereka. Putusnya pewarisan bahasa antargenerasi justru terjadi di dalam rumah sendiri, di kampung sendiri.
Padahal, menurut Landweer (2008), satu dari sebelas indikator daya hidup bahasa adalah pewarisan bahasa antargenerasi. Transmisi bahasa antargenerasi adalah variabel penting yang menentukan keberlangsungan hidup sebuah bahasa. Karena itu, Krauss (1992) mengatakan, kebiasaan penutur jati dalam menggunakan bahasa di rumah atau di kampung merupakan variabel penting yang menentukan vitalitas bahasa. Semakin banyak jumlah penutur dan semakin sering penutur menggunakan bahasanya dalam berbagai ranah, seperti dalam rumah tangga, peristiwa budaya, peristiwa sosial, semakin kuat vitalitas bahasa tersebut (baca juga Ibrahim, 2011).
Kedua, akhir tahun 2021 saya melakukan satu survei kecil-kecilan via grup WhatsApp. Survei tersebut tentang kebiasaan penggunaan bahasa daerah di lingkungan rumah pada keluarga penutur jati beberapa bahasa daerah di Sulawesi Utara. Kebetulan responden dalam survei ini adalah para ibu yang berusia 50-an tahun. Mereka adalah teman kuliah saya ketika S1. Teman-teman kuliah itu kini telah menjadi guru, bekerja di kantor-kantor pemerintah serta swasta. Responden ini merupakan penutur jati bahasa Tonsea, bahasa Tondano, bahasa Tontemboan, bahasa Ratahan, dan bahasa Sangihe. Mereka masih tetap bermukim di teritori tradisional penggunaan bahasa daerah mereka.
Sebagai instrumen penjaring data, survei kecil-kecilan ini menggunakan enam pertanyaan pokok tentang kebiasaan penggunaan bahasa daerah di lingkungan rumah. Hasilnya, para ibu ini sudah sangat jarang, bahkan tidak lagi menggunakan bahasa daerah di lingkungan rumah saat berbicara dengan anak-anak mereka. Sikap bahasa (language attitude) para ibu ini membuat anak-anak mereka telah kehilangan kesempatan memperoleh bahasa daerah, bahasa ibu dari orang tua mereka. Para ibu paruh baya ini dan anak-anak mereka kini telah memilih (language choice) satu bahasa lain, yaitu bahasa Melayu Manado, lingua-franca bagi komunitas bahasa di Sulawesi Utara. Mereka telah menggunakan bahasa Melayu Manado dalam komunikasi sehari-hari di lingkungan rumah, di kampung, dalam teritori tradisional bahasa daerahnya.
Pada tahun 2008, satu tim peneliti dari Fakultas Sastra dan Budaya (kini Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Khairun melakukan survei sosiolinguistik tentang pola-pola penggunaan bahasa daerah di Maluku Utara dalam lingkungan keluarga. Tim survei ini menemukan satu fakta bahwa semakin muda usia pasangan suami istri (sebagai orang tua) penutur jati beberapa bahasa daerah di Maluku Utara, semakin tidak lagi membiasakan penggunaan bahasa daerah di lingkungan rumah. Pasangan suami istri usia muda ini tidak lagi membiasakan anak-anak mereka menggunakan bahasa ibu di rumah dan memilih satu bahasa lain yang berfungsi sebagai lingua-franca, bahasa perantara dalam komunikasi lintasetnik di Maluku Utara, bahasa Melayu Ternate.
Ketiga, dalam menyikapi ancaman kepunahan bahasa daerah di Indonesia, pemerintah dan pemerintah daerah mengambil dua cara: 1) menjadikan bahasa daerah sebagai pelajaran muatan lokal di sekolah dasar dan 2) pembiasaan penggunaan bahasa daerah di ruang publik, terutama di kantor-kantor pemerintahan. Dua ikhtiar penyelamatan bahasa daerah dari (ancaman) kepunahan ini bahkan dituangkan dalam peraturan daerah sebagai dasar hukum pelaksanaannya.
Tetapi apa yang kita lihat?
Mungkin sudah satu atau dua dekade bahasa daerah dibawa ke sekolah sebagai pelajaran muatan lokal. Mungkin juga sudah satu atau dua dekade gerakan penggunaan bahasa daerah di kantor-kantor pemerintahan daerah tertentu di Indonesia. Tetapi apakah itu semua sudah menambah atau setidaknya mempertahankan jumlah penutur jati tiap bahasa daerah?
Kita memang belum punya evaluasi yang komprehensif tentang keberhasilan pelaksanaan belajar bahasa daerah di sekolah dasar. Apalagi evaluasi tentang gerakan penggunaan bahasa daerah di kantor-kantor pemerintaan pada hari tertentu dalam sepekan waktu kerja.
Ada beberapa fakta perlu dicatat di sini. Pelajaran bahasa daerah di sekolah dasar lebih banyak diampu oleh guru yang tidak mempunyai latar kesarjanaan yang relevan dengan pembelajaran bahasa. Di beberapa daerah, guru mata pelajaran bahasa daerah adalah guru mata pelajaran lain yang kebetulan penutur jati bahasa daerah yang dimuatanlokalkan. Belum lagi soal kurikulum, metode, pendekatan, dan bahan ajarnya. Dalam kondisi serba kurang dan terbatas ini, kita menemukan fakta bahwa pelajaran bahasa daerah di sekolah berlangsung dalam kondisi seperti belajar tentang bahasa, bukan belajar mengalami praktik berbahasa. Anak-anak diajari tata bahasa, nyaris tanpa praktik atau latihan berbahasa. Karena itu, berdasarkan pengalaman, di beberapa daerah, sampai lulus sekolah dasar pun anak-anak tidak mahir berbahasa daerah.
Lain lagi soal gerakan berbahasa daerah di kantor-kantor pemerintahan pada hari tertentu dalam sepekan kerja. Kalau kita mau jujur, gerakan ini hanya ramai pada saat awal dicanangkan. Tak berlangsung lama, dan orang-orang kembali menggunakan bahasa Indonesia atau sebuah bahasa Melayu lokal dalam interaksi dan komunikasi dalam tugas-tugas kantor. Ini terjadi karena para pekerja di perkantoran di kota-kota berasal dari penutur jati bahasa ibu atau bahasa daerah yang berbeda.
Lantas apa masalahnya?
Mengapa belajar bahasa daerah di sekolah lebih banyak gagal ketimbang berhasil? Beberapa catatan penting dapat disebut di sini. Pertama, belajar bahasa daerah di sekolah tidak dilaksanakan dengan prinsip-prinsip belajar bahasa secara alamiah, sebagaimana anak belajar bahasa dari ibunya di rumah. Ingat bahwa pada saat pertama kali belajar berbicara dalam bahasa ibu, kita semua tidak pernah berpikir tentang tata bahasa bahasa ibu kita. Kita tidak pikir tentang subjek, predikat, objek dalam satu kalimat.
Bahasa ibu kita dengar dari ibu kita, dan ibu kita pun tidak pernah menerangkan tata bahasa itu kepada kita. Ibu kita berbicara, kita mendengarnya berkali-kali, berulang-ulang dan kita membangun pengertian mengenai bicara ibu kita kemudian kita punya sejumlah kosakata. Lama kelamaan, seiring waktu bertambahnya usia di masa anak-anak, kita dapat dengan mahir menggunakan bahasa ibu kita itu, tanpa pusing-pusing memikirkan tata bahasa. Jadi, bahasa ibu itu kita peroleh dengan cara meniru, bukan dengan cara mengingat atau menghafal tata bahasanya. Dalam teori belajar bahasa, sesungguhnya kita belajar bahasa ibu dengan cara memperoleh, to acquire, bukan dengan memperlajari, to learn.
Kedua, realitas kemajemukan latar belakang siswa di sekolah adalah fakta lain yang menjadikan pembelajaran bahasa daerah di sekolah kurang berhasil, kalau tidak mau dikatakan gagal. Tidak semua siswa dalam satu kelas berasal dari latar belakang orang tua berbahasa daerah yang sama dengan bahasa yang dimuatanlokalkan. Apalagi sekolah-sekolah dasar di perkotaan. Soal lain adalah pilihan terhadap salah satu bahasa daerah dari sekian banyak bahasa daerah di satu daerah yang majemuk bahasa daerahnya bukan perkara gampang.
Di awal tulisan ini sudah disebut bahwa bahasa daerah atau bahasa etnik telah ditinggalkan oleh selapis generasi penutur jati sebagai pewaris bahasa daerah. Mereka adalah para orang tua (ayah dan ibu). Penyebab bahasa-bahasa punah dan tergerus daya hidupnya relatif sama: selapis generasi pewaris bahasa telah meninggalkannya, tidak memakainya lagi, dan tidak lagi membiasakan selapis generasi pewaris berikut menggunakannya. Sekali lagi, mereka tidak hanya meninggalkan bahasa ibunya melainkan telah memilih satu bahasa lain, lingua-franca, sebuah bahasa dalam satu kawasan majemuk bahasa daerah yang berfungsi sebagai “jembatan sosial” dalam interaksi masyarakat.
Apa artinya ini? Kepunahan atau kematian bahasa terjadi justru di lidah penutur jatinya. Pita-pita suara mereka tidak lagi bergetar mengucapkan kata-kata bahasa ibunya. Semua alat ucap tidak lagi difungsikan untuk membunyikan kata-kata dan kalimat bahasa ibu mereka. Percakapan-percakapan di dalam rumah tak lagi dalam bahasa basa ibu.
Lalu apa lagi artinya itu? Dengan meminjam kata-kata Barry Sautman (2006), pengabaian penutur jati atas bahasa ibu atau bahasa daerahnya sendiri sesungguhnya adalah tindakan genosida bahasa, language genocide sebagai bagian dari genosida budaya, cultural genocide. Tetapi ini lebih dahsyat lagi, karena mereka tidak memunahkan bahasa lain, melainkan bahasanya sendiri; membunuh bahasa sendiri (baca juga Ibrahim, 2021 dalam senarai pustaka).
Dua model preservasi
Kalau seorang ibu (dan tentu saja seorang ayah) pada setiap keluarga batih di dalam satu kampung dan sebagian besar ibu atau bahkan semua ibu dan ayah di kampung telah meninggalkan bahasa ibu, maka pertanyaannya, siapa sesungguhnya yang telah memunahkan bahasanya? Penutur jati bahasa lain? Sekolah? Atau Pemerintah?
Karena alasan waktu, pertanyaan-pertanyaan di atas tidak akan dijawab dalam pidato ini, tetapi satu catatan penting Foley (1999) tentang kesetiaan para ibu dan penutur jati usia tua bahasa Yimas di Papua Nugini mungkin menjadi satu teladan bagi penyelamatan bahasa daerah dari ancaman kepunahan. Para ibu dan penutur berusia tua lebih setia menggunakan bahasa Yimas, sebuah bahasa kampung, sedangkan penutur usia muda lebih sering menggunakan bahasa Tok Pisin, sebuah bahasa pijin yang lahir dari “perkawinan” antara sebuah bahasa lokal dan bahasa Inggris serta sebuah bahasa Indo-Eropa. Bahasa Tok Pisin sebenarnya adalah talk pidgin English yang diucapkan oleh lidah orang lokal dengan Tok Pisin. Kesetiaan para ibu penutur jati bahasa Yimas di Papua Nugini dan pengabaian para ibu penutur jati bahasa-bahasa daerah di Sulawesi Utara serta pasangan suami istri usia muda di Maluku Utara adalah kontras sekaligus paradoks. Satu setia dan mencintai bahasa ibunya, sedangkan yang lain mengabaikan bahasa ibu dan memilih bahasa lain.
Sikap dan pilihan bahasa penutur jati bahasa ibu sangat menentukan status daya hidup atau vitalitas bahasa-bahasa di dunia, termasuk bahasa-bahasa daerah di Indonesia yang merupakan bahasa ibu bagi sebagian besar masyarakat di perdesaan.
Para ahli menyebut daya hidup bahasa (language vitality) dalam beberapa keategori berdasarkan skala atau kualitas ketergerusannya. Krauss (1992) menyebut ada tiga tipe daya hidup bahasa: bahasa yang aman, safe languages, bahasa yang tergerus dan teracam punah, endangered languages, dan bahasa yang nyaris punah dan punah, moribund languages.
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi membuat enam kategori daya hidup bahasa daerah di Indonesia: aman, rentan, mengalami kemunduran, terancam punah, kritis, dan punah. Dari total 718 bahasa daerah di Indonesia, 108 bahasa daerah telah diuji daya hidupnya, dengan menggunakan sepuluh indikator vitalitas bahasa. Hasilnya, 18 bahasa daerah masih aman, 22 bahasa rentan, 29 bahasa mengalami kemunduran, 26 bahasa terancam punah, 8 bahasa dalam keadaan kritis, dan 5 bahasa telah punah.
Hasil uji daya hidup bahasa itu menunjukkan, bahasa-bahasa yang rentan, mengalami kemunduran, teracam punah, kritis, dan punah justru banyak bersebar di bagian timur Indonesia (Sulawesi, NTT, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat). Mungkin belum dimutakhirkan, tetapi data tentang daya hidup bahasa-bahasa daerah di Indonesia dapat ditemukan di laman Badan Bahasa https://dapobas.kemdikbud.go.id/
Di atas segala ketagorisasi daya hidup bahasa (language vitality) dan profil ketergerusan bahasa-bahasa daerah di Indonesia, terutama di bagian timur Indonesia, ada satu hal yang pasti: penutur jati bahasa-bahasa daerah telah “meninggalkan” bahasa ibunya dan memilih satu bahasa lain. Sekali lagi, bahasa-bahasa daerah yang dalam kategori rentan, mengalami kemunduran, terancam punah, kritis, dan punah karena satu sebab utama: selapis generasi penutur jati tidak lagi mewariskan bahasa ibu ke generasi berikutnya. Tranmisi bahasa antargenerasi telah putus.
Kalau demikian, mengapa untuk menjaga bahasa-bahasa daerah tetap bugar, kita sibuk membawa bahasa tersebut ke sekolah dan mendorong penggunaan bahasa daerah di perkantoran? Padahal, kita semua sudah tahu, sebuah bahasa daerah rentan, mengalami kemunduran, terancam punah, kritis, atau punah karena selapis generasi tidak lagi mewariskan bahasa daerah mereka ke generasi berikut, di dalam rumah dan di kampung sendiri. Bahasa- bahasa ini sudah jarang digunakan di rumah sendiri, bahkan di kampung sendiri. Kalau demikian, tidakkah kita menemukan fakta bahwa bahasa daerah tercancam punah bahkan punah justru terjadi di rumah dan di kampung sendiri?
Ketertegerusan, keterancaman, dan kepunahan bahasa daerah tersebut karena kita sendiri sebagai penutur jati telah mengabaikannya. Punah karena diabaikan penuturnya di rumah dan di kampung sendiri. Ini perkara hilangnya kesempatan selapis generasi mendapatkan pengalaman memperoleh bahasa. Pengabaian penutur jadi atas bahasanya sama dengan penghilangan atas hak-hak berbahasa selapis generasi berikut. Jadi, pertama-tama yang hilang adalah kesempatan anak-anak sebagai pawaris bahasa ibu memperoleh bahasa ibu mereka.
Karena itu, untuk memastikan bahasa ibu kita tetap hidup, tidak tergerus, yang harus kita lakukan adalah memberikan kesempatan kepada anak-anak sebagai generasi pewaris bahasa memperoleh bahasa ibu. Kesempatan memperoleh bahasa (to acquire the language) adalah pintu masuk untuk anak-anak belajar bahasa (to learn the language) ibu secara alamiah, tanpa perlu ada kurikulum, metode, dan bahan ajar. Kalau pun itu disebut kurikulum, metode, dan bahan ajar, maka kurilukumnya adalah menghidupkan kembali penggunaan bahasa ibu, metodenya adalah terus berbicara dengan anak dalam bahasa ibu, dan bahan ajarnya adalah semua aktivitas sehari-hari dalam keluarga dikomunikasikan dalam bahasa ibu. Gurunya adalah ibu dan ayah mereka, juga kerabat dan tetangga dalam kampung.
Karena itu pula, alih-alih membawa bahasa daerah atau bahasa ibu ke sekolah sebagai pelajaran muatan lokal atau keharusan berbicara dalam bahasa daerah di ruang publik, saya menawarkan satu gerakan yang saya sebut belajar bahasa sendiri di kampung sendiri. Bagaimana caranya?
Gerakan ini mengambil dua model. Tetapi sebelum dua model ini dijelaskan, perlu saya katakan bahwa belajar bahasa sendiri di kampung sendiri dilaksanakan di wilayah pemakaian bahasa daerah tersebut dan dalam keluarga atau kampung yang merupakan penutur jati bahasa daerah sebagai bahasa ibu. Ayah dan ibu dari anak-anak yang mau diberi kesempatan memperoleh bahasa ibu adalah ayah dan ibu yang sama bahasa ibunya. Gerakan ini tentu saja tidak berlaku bagi keluarga kawin campur dan masyarakat kota.
Model pertama, ibu sebagai guru belajar bahasa. Mengapa ibu? Karena secara alamiah dan universal, anak-anak pertama kali mengenal kata dan ujaran dari ibu mereka. Proses alamiah memperoleh bahasa daerah dari ibu mereka. Langkah pertama dalam model ini adalah rekrutmen ibu penutur jati sebagai model belajar bahasa ibu. Setiap kampung ada sejumlah ibu model. Ini juga merupakan pilot project. Pemerintah daerah membentuk satu tim taskforce yang mempersiapkan perekrutan ibu model. Tim ini berasal dari berbagai profesi dan afiliasi: praktisi pendidikan, guru bahasa, perencana sosial, pegiat dan penggiat literasi, ahli pembelajaran sekolah alam, tokoh masyarakat, dan tentu saja unsur pemerintah setempat.
Ibu model yang telah direkrut diberi pembekalan praktis. Praktiknya adalah ibu model mengampanyekan kewajiban menggunakan bahasa ibu di rumah dan di kampung. Juga memberikan teladan pada ibu-ibu lainnya. Terus bagaimana supaya ibu model dapat melaksanakan tugasnya dengan baik dan gembira? Pemerintah daerah memberi apresiasi dengan memberi insentif materi, berupa uang atau sembako. Tidak harus setiap bulan, mungkin tiap enam bulan, sambil tim pendamping dan pemantau melakukan evaluasi perkembangan. Tentu saja peserta belajar dalam program pemerolehan bahasa daearah atau bahasa ibu bukanlah dari anak-anak yang belum bisa berbicara, tetapi anak-anak yang tidak cakap lagi berbahasa ibu, terutama anak-anak yang menguasai bahasa ibu secara pasif, yang dalam sosiolinguistik disebut understanding without speaking, ‘paham bahasa ibu mereka tapi tidak bercakap-cakap’, mangarti tapi tara bisa bicara.
Model gerakan kedua adalah mendirikan sekolah alam atau home schooling berbasis komunitas. Sekolah ini tanpa gedung, tempatnya bisa di mana saja. Di rumah, di balai desa, di pantai, atau bahkan di kebun. Sekolah ini untuk di kampung-kampung yang bahasa daerahnya rentan, mengalami kemunduran atau terancam punah. Inilah sekolah bahasa berbasis komunitas. Pemerintah daerah adalah fasilitator pendirian sekolah alam. Para pelibat dalam gerakan kedua ini relatif sama dengan para penyusun desain perekrutan ibu model pada model pertama, yaitu perencana sosial, lembaga pemberdayaan masyarakat di bidang pendidikan, perencana bahasa, penggiat dan pegiat literasi, praktisi sekolah alam (atau home schooling), guru, dosen, mahasiswa, dan penutur jati bahasa daerah terlatih. Tugas tim taskforce sekolah alam adalah menyusun kurikulum, metode dan bahasa ajar. Tentu saja model belajar di sekolah alam ini sangat berbeda dengan model belajar di sekolah konvesional.
Peserta belajarnya adalah anak-anak usia sekolah dasar di kampung tersebut. Satu yang bisa disebut di sini, bahan ajarnya adalah wacana dalam bahasa daerah berupa wacana naratif dan wacana prosedural. Wacana naratif adalah cerita-cerita lokal dan cerita yang dikreasi oleh pendesain, sedangkan wacana prosedural adalah wacana tentang prosedur pembuatan rumah, perahu, pembukaan ladang baru, kerajinan tangan atau produk-produk lain, juga wacana tentang cara dan langkah permainan tradisional anak-anak. Esensi dari sekolah bahasa berbasis komunitas ini adalah suatu ruang alamiah yang disiapkan agar anak mendapatkan kembali kesempatan memperoleh bahasa ibu yang telah hilang karena selapis generasi di atas mereka (ibu dan ayah) tidak lagi menggunakan bahasa ibu di lingkungan keluarga.
Catatan peringkas
Dua tawaran praktik baik untuk memastikan bahasa-bahasa daerah sebagai bahasa ibu bagi sebagian besar masyakarat perdesaan adalah cara terbaik menjaga dan meningkatkan daya hidup bahasa daerah/bahasa ibu. Sekolah bahasa alamiah bersejalan dengan pemerolehan bahasa oleh anak-anak dari orang tua mereka, terutama ibu, di lingkungan keluarga.
Kalau dibawa ke sekolah sebagai pelajaran muatan lokal, makin memberatkan anak dalam belajar, sekaligus menghilangkan sifat alamiah pemerolehan bahasa. Dalam beberapa pengalaman, ketika bahasa daerah dibawa ke sekolah, yang terjadi justru belajar tentang bahasa, bukan belajar mengalami bahasa. Anak-anak diajari tata bahasa, tetapi sampai lulus sekolah pun anak-anak tak mahir berbahasa. Profesor Robert Lado, ahli lawas pembelajaran bahasa mengatakan, salah satu kegagalan pembelajaran di sekolah karena kelas-kelas belajar bahasa hanya berisi belajar tentang bahasa, bukan belajar mengalami bahasa. Karena itu ia menyeru, teach the language, not about the language ‘ajarkan bahasa, bukan tentang bahasa.’
Dua tawaran belajar memperoleh bahasa ibu mendorong anak-anak mengalami peristiwa berbahasa secara alamiah, bukan masuk ke dalam gramatika bahasa yang rumit. Para ahli pembelajaran bahasa di dunia sepakat dalam satu hal: belajar bahasa terbaik adalah hidup dengan masyarakat penutur jatinya. Kita ambil contoh, meskipun anak (orang) Indonesia, tetapi bila hidup bersama dalam komunitas berbahasa Inggris di Australia, secara alamiah anak-anak akan mahir berbahasa Inggris, tanpa harus memikirkan gramatika bahasa Inggris yang rumit itu. Ia memang tidak paham sistem kala dalam kalimat alias tenses, apalagi kata- kata tak beraturan, tetapi bisa cakap berbahasa Inggris. Mengapa? Karena anak ini memperoleh bahasa Inggris, bukan mempelajari bahasa Inggris. Sebaliknya, anak Amerika yang dibawa oleh orang tuanya—yang peneliti—pergi ke pedalaman Kalimantan, Sulawesi, Papua, atau pedalaman lain di Indonesia dan berinterkasi dengan masyarakat di sana, anak itu punya kesempatan memperoleh bahasa lokal setempat. Pada kurun waktu tertentu, dalam interaksi dengan masyarakat lokal, anak, bahkan ayah dan ibunya akan mahir berbahasa setempat. Mengapa? Karena mereka mendapatkan kesempatan memperoleh bahasa secara alamiah, bukan (dari) belajar tata bahasa sebuah bahasa lokal. Bahkan, anak-anak yang ikut orang tuanya bertugas di pedalaman itu justru lebih cepat mahir berbahasa lokal ketimbang orang tuanya. Ini karena menurut Noam Chomsky, profesor tata bahasa transformatif, language acquisition device, ‘piranti pemerolehan bahasa’ pada anak-anak masih ‘jernih.’
Dua model gerakan untuk menghidupkan kembali penggunaan bahasa daerah yang saya tawarkan di atas mendasarkan diri pada prinsip-prinsip pemerolehan bahasa secara alamiah, sedangkan bahasa daerah yang dibawa ke sekolah sebagai pelajaran muatan lokal mendasarkan diri pada prinsip-prinsip pembelajaran bahasa secara gramatik.
Sebagai generasi pewaris bahasa, anak-anak telah kehilangan kesempatan memperoleh bahasa daerah dari ibu mereka. Karena itu, program penyelamatan bahasa daerah dari ancaman kepunahan sejatinya adalah gerakan yang memungkinkan anak-anak memperoleh bahasa ibu mereka secara alamiah. Ibu penutur jati sebagai model praktik baik berbahasa dan pendirian sekolah bahasa berbasis komunitas di kampung dengan mengadopsi model-model belajar sekolah alam atau home schooling adalah cara terbaik menciptakan ruang belajar bagi anak memperoleh bahasa secara alamiah. Sementara itu, di lain pihak, bahasa daerah yang dibawa ke sekolah dasar akan menambah beban belajar pada anak. Sudah banyak mata pelajaran di sekolah, terutama di sekolah dasar, dan ditambah lagi dengan pelajaran baru. Apakah cara ini membuat anak akan lebih bergembira belajar atau bahkan sebaliknya menjadi hukuman baginya? Dari sisi tujuan dan demokrasi pendidikan, apakah kita memang bermaksud menjadikan anak-anak menjadi superman setelah lulus sekolah dasar?
So pasti gerakan belajar bahasa sendiri di kampung sendiri adalah pilihan yang tidak memberatkan kurikulum di sekolah, tetapi menjadi satu model pemberdayaan masyarakat melalui praktik berbahasa yang sekaligus menggerakkan literasi baca tulis yang bisa juga memberikan manfaat sosial ekonomi. Ini karena sekolah alam memanfaatkan sumber daya
sosial dan ekonomi dalam isi pembelajarannya. Belajar bahasa tetapi dapat membangkitkan kreasi baru pemanfaatan bahan dan sumber belajar yang menghidupkan industri rumahan yang dapat bernilai ekonomi. Bahasa ibu diperoleh, literasi baca tulis terbentuk, dan kegiatan ekonomi emak-emak bergeliat.
Tetapi semua usaha dan ikhtiar itu kita lakukan bila kita memang masih menganggap kepunahan bahasa ibu atau bahasa daerah adalah bencana kebudayaan; bila kita masih menganggap bahasa sebagai unsur penyimpan pengetahuan, kearifan, dan menopang adab serta akal budi masyarakat.
Leslie White, profesor antropologi kognitif mengingatkan kita betapa bahasa adalah gentong kebudayaan, dengan sebuah pernyataan, Remove speech from culture and what would remain ‘singkirkan bahasa dari kebudayaan dan lihat saja apa yang masih tersisa.’
Senarai rujukan
Crystal, D. 2014. Language Death. University Printing House, Cambridge, United Kingdom: Cambridge University Press.
Foley, W. A. 1999. Anthropological Linguistics: An Introduction. Malden, Massachusetts, USA: Blackwell Publishers Inc.
Lewis, P. M. 2009. Ethnoloque: Languages of The World. Dallas, Texas: Summer Institute of Linguistics.
Lewis, P. M. “Towards A Categorization of Endangerment of the World’s Languages. SIL International: http://www.sil.org/sociolx/ndg-lg-indicators-html
Ibrahim, G. A. 2006. “Beberapa Bahasa di Maluku Utara akan Punah”. Makalah yang disampaikan dalam Konferensi Internasional tentang Bahasa-bahasa yang Punah, di Pusat Bahasa Depdiknas, Jakarta, 23 Desember 2006.
Ibrahim, G. A. 2011. “Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya”. Linguistik Indonesia. Jurnal Ilmiah Masyarakat Linguistik Indonesia, Tahun ke-29, No. 1, Februari 2011, 35—52.
Ibrahim, G. A. 2018. “Kembalikan Bahasa Ibu ke Rumah.” Kompas, 21 Feberuari 2018, halaman 7.
Ibrahim, G. A. 2021. “Membunuh Bahasa Sendiri.” Kompas, 23 Februari 2021, halaman 7. Krauss, M. 1992. “World’s Languages in Crisis.” Dalam Language 68.1
Landweer, M. L. 2008. “Indicators of Ethnolinguistic Vitality”. SIL International: http://www.sil.org/sociolx/ndg-lg-indicators-html
Sautman, B. (Ed). 2006. Cultural Genocide and Asian State Peripheries. New York: Palgrave Macmillan.