Oleh: Rifan Basahona
Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Arab IAIN Ternate
Sejatinya kebenaran itu ia selalu hadir dimanapun dan kapan pun, selalu menampakkan wujudnya, se dasar apapun engkau menyembunyikannya, sewaktu-waktu ia akan hadir dan menampakkan wajahnya. Sekarang, mungkin ia masih tersembunyi karena memang ia sedang dalam bungkusan boleh jadi kekuasaan, regulasi, atau pun kebohongan itu sendiri.
Kalimat di atas ketika sampai pada pembaca yang budiman mungkin serasa subjektif dalam berpendapat, namun itu hanya sekedar refleksi daripada penulis untuk mengungkapkan sebuah pandangannya dalam melihat realitas objektif yang ada. Sebagaiman pula yang dikemukakan oleh, Siddharta Buddha Gautama bahwa, ada tiga hal yang tidak bisa lama disembunyikan yaitu matahari, bulan dan kebenaran.
Kebenaran merupakan salah satu topik yang sangat krusial dalam diskursus di berbagai kalangan tak terkecuali dalam kalangan para intelektual. Mulai dari jaaman Yunani kalasik samapai jaman teknologi saat ini manusia tak henti-hentinya berbicara tentang kebenaran. Para filosof terus hadir dengan berbagai macam konsep dan teori, namun hal demikian belum pernah ditemukan garis pembatasnya selalu jamak.
Kata kebenaran itu sendiri secara umum dapat di artikan penyesuaian antara pengetahuan dan objek atau diartikan sebagai sesuatu pendapat atau pun perbuatan seorang individu yang sesuai dengan (atau tidak ditolak oleh) orang lain dan bermanfaat bagi orang lain dan tidak merugikan individu atau pun kelompok tertentu .
Sedangkan kebenaran seperti mana yang dikatakan oleh Moch Aldy MA dan Anzal RF, bahwa kebenaran adalah sebuah cermin yang ada di tangan tuhan, kemudian kemudian cermin itu jatuh berkeping-keping. Tiap-tiap orang memungut satu keping, lalu mereka bercermin dan mengira telah menemukan kebenaran itu. Secara sederhana bahwa kebenaran yang absolut hanya milik sang Khaliq (Allah SWT) sedangkan kebenaran manusia adalah relatif.
Sehingga dalam pandangan manusia secara sosial kebenaran itu memiliki berbagai macam keragaman sesuai dengan epistemologinya masing-masing, apa yang menjadi instrumen pengetahuannya, sumber pengetahuannya, sehingga seringkali kita temukan dalam berbagai dis kursus berbagai macam ideologi mempresepsikan bahwa golongannya yang paling benar, baik kelompok agamais, materialis, maupun idealis atau yang lain-lain.
Akan hal serupa bukan berarti bahwa kita tidak bisa mencari sebuah kebenaran yang absolut dalam rana sosial, akan tetapi dalam pencarian kebenaran dalam rana sosial kita perlu berdiskusi menukar pikiran dan gagasan untuk mencapai sebuah kebenaran, sebagaimana dalam pandangan Islam mengajarkan tentang musyawarah mufakat dalam memecahkan berbagai macam persoalan yang ada.
Dengan demikian, bahwa untuk mencapai sebuah kebenaran atau pun ketentraman dalam mengambil sebuah kebijakan perlu adanya diskusi tukar pikiran gagasan dan berbagai macam pertimbangan yang berbasis pada konsep demokratis baik secara individu maupun kolektif, tidak berpihak pada hal tertentu, semisal dia miskin atau kaya, pemimpin atau bukan, dan lebih-lebih kepada jabatan atau kekuasaan itu sendiri.
Namun pada kesempatan kali ini, yang dimaksud oleh penulis adalah bagaiman pradoks kebenaran tentang penyelesaiaan sebuah masalah yang dipraktekkan dalam berbagai macam isntansi saat ini.
Realitas kongkret yang terjadi saat ini adalah, kita melihat bahwa berbagai macam persoalan yang terjadi aspek penyelesaiannya adalah pada rana tunduk dan patuh bukan lagi dengan cara berdiskusi menukar pikiran mepertarukan berbagai macam teori, namun pembicaraan tentang kebenaran hari ini adalah pada rana kekuasaan, siapa yang berkuasa dialah yang memiliki kebenaran. Kita di bungkam karena memiliki status sosial yang berbeda, seakan-akan kebenaran itu bisa disebut kebenaran jikalau individu tersebut memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan individu yang lain atau pun kelompok yang lain.
Persoalan semacam sering kita jumpai di berbagai macam instansi atau pun birokrasi sering mempraktekkan hal serupa, sehingga kelas sosial yang paling bawa atau pun jabatan yang paling bawa sering termarginalkan dalam mengambil sebuah keputusan atau pun tindakan dalam menyelesaikan sebuah persoalan. Yang terjadi hanyalah mengikuti arah mata angin yang sudah ditentukan oleh yang berkuasa, jarang untuk mempertimbangkan susah senangnya penting atau tidak.
Ketika yang berkuasa telah berfatwa maka bawahannya sami’ana wa ata’ana (patuh dan taat) kendati hati nuraninya tidak menerima biarlah waktu yang akan merubah amarah yang kurang menyenangkan. Toh, kita bersuara sebentar dianggap pemberontak, tidak patut aturan, dan pada ujungnya bisa jadi lengser dari jabatan. Sehingga kebenaran tadi kelihatanya di bungkus secara sistematis dan ter struktur lalu di buang dalam lautan biru.
Persoalan demikian akan terus membawa kita pada suatu tatanan sosial masyarakat yang tidak pernah kondusif dan demokratis, membuat jurang kesenjangan diantara kelas-kelas sosial dalam masyarakat, yang tertindas semakin tertindas yang berkuasa semakin berkuasa tidak pernah ada titik temu untuk menyelesaikan berbagai macam persoalan yang ada malah menambahkan setumpuk persoalan baru.
Teringat suatu konsep yang didengungkan oleh Michel Foucault, tentang Rezim Kebenaran (Regime de verite) yang diperkenalkan dalam wacana “Truth and Power” pada Juni 1976, bahwa kebenaran tidaklah berada di luar kuasa atau kurang akan kuasa. Lebih jauh kebenaran bukan jiwa yang bebas, anak yang larut dalam kesepian, kebenaran itu berpusat pada bentuk diskursus ilmiah dan institusi yang memproduksinya, kebenaran itu tunduk pada hasutan ekonomi maupun politis terus menerus (permintaan akan kebenaran itu sama banyak dengan permintaan akan produksi ekonomi dari kuasa politik).
Konsep diatas mengantarkan kita kepada suatu pemahaman bahwa realitas yang terjadi saat ini adalah tentang orang-orang yang berkuasa mereka yang mengendalikan semuanya termasuk kebenaran itu sendiri, dengan kekuasaan yang dimiliki mereka berhak melakukan segala sesuatu sesuai dengan keinginan mereka tidak memandang apakah ini akan berdampak kepada siapa menguntungkan siapa, merugikan siapa.
kebenaran seakan milik mereka yang punya kekuasaan, punya jabatan, dan relasi ke berbagai macam sektor, sehingga mereka yang tidak punya kuasa, punya jabatan, punya relasi menjadi penonton dan pengikut, sesuai arahan yang sudah di tetapkan, realitas kebenaran menjadi bisu, dipaksa untuk tunduk dan patuh dengan keadaan yang ada.
Fenomena di atas masif di praktekkan di berbagai bidang, tak terkecuali dalam bidang pendidikan yang semistinya menjadi jalan tengah dalam proses penyelesaian sebuah masalah karna di dalam berkumpul para kaum intlektual, cendekiaawan dan orang-orang yang hebat, namun sering kita temukan hal demikian. Kita bisa melihat kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi maupun instansi-instansi pendidikan yang lain, saat ini pemicunya adalah soal kekuasaan sehingga sang korban sering depresi dalam proses penyelesaianya, dan banyak kekerasan-kekerasan yang lainya.
kita bisa melihat dalam bidang informasi misalnya, walaupun dalam perkembangan teknologi yang tidak bisa dibendung sekarang ini, kita dengan muda mendapatkan informasi namun sering informasi-informasi yang beredar lagi-lagi masih mempertimbangkan kekuasaan, sering terjadi ketika para penguasa membuat suatu kesalahan sering ditutupi karena mereka memiliki relasi baik secara institusi kelembagaan maupun secara kekuasaan itu sendiri.
Bidang hukum yang katanya menjadi penengah bagi problem yang ada kini berbalik, sebagai mana pepatah tajam di atas tumpul di bawah ketika rakyat kecil membuat masalah kerja-kerja para penegak hukum bagaikan angin puting beliung menyambar seketika pelakunya tertangkap, namun ketika gelarnya para penguasa para penegak hukum bergerak bagaikan jalanya siput, sehingga akhirnya masalah tersebut tenggelam dan tidak tau kemana.
Fenomena di atas menjadi barometer kita, terlebih kepada penulis dalam melihat gejolak yang terjadi di tubuh bangsa kita saat ini. Tidak bermaksud berlebih-lebihan dalam mempresepsikan realitas objektif yang ada, akan tetapi ini adalah problem yang sedang menjamur saat ini, saya pikir pembaca yang budiman juga merasakan hal serupa.
Hal ini tentu menjadi tanggungjawab kita secara bersama, terutama para kaum cendikiawan muda, para intelektual, atau pun mahasiswa yang menjadi platfom untuk selalu berdiri pada garda terdepan dalam menyelesaikan persoalan yang ada. Teruslah berdiri diatas idealisme, kita independensi kita jangan muda ter hasut dengan rayuan para penguasa, berpegang teguh lah kepada prinsip-prinsip perjuangan kita dimanapun, dan kapanpun kita berada. Sampaikanlah yang benar walaupun pahit rasanya.
Saat ini kita tidak perna bisa menyelesaikan sebuah persoaalan kalu hanya dengan terus mengikuti dan diwarnai oleh sebuh sistem yang tidak etis yang telah ada, perlu adanya terobosan-terobosan secara sistematis dan struktural untuk mengubahnya, karena sebagaiman yang suda dikatakan diatas bawhwa kebenaran akan selalu ada dan akan kembali pada orang-orang yang memperjuangkanya.
Kita memiliki banyak ruang hari ini untuk menyampaikan kritikan, saran maupun pendapat walaupun sering di bungkam namun jangan pernah jadikan seagai barometer untuk mundur selangka pun, karena semakin kita mundur dan mengikuti arah mereka maka akan semakin masif persoalan yang ada. (*)