Opini  

Industri Pertambangan Mengancam Potensi Lestari Perikanan Budidaya Malut

Taufiq Abdullah

Oleh: Taufiq Abdullah

Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Akuakultur IPB

Ketua Umum Ikatan Mahasiswa Maluku Utara Institut Pertanian Bogor (IKMA MALUT IPB)

Email: abdullahtaufiq@apps.ipb.ac.id

 

Seperti yang diamanatkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2020 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan/atau pemurnian atau pengembangan dan/atau pemanfaatan, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang.

Sektor pertambangan seperti yang diungkapkan berkontribusi dan memberikan peran penting bagi perekonomian Negara dan Daerah. Kementerian Keuangan Republik Indonesia (Kemenkeu) melaporkan bahwa pertumbuhan sektor pertambangan menunjukan tren penguatan dengan tumbuh sebesar 4,0% (yoy) pada triwulan II tahun 2022. Oleh karena itu, sektor pertambangan menjadi sektor unggulan di berbagai wilayah salah satunya adalah Maluku Utara.

Sejalan dengan laporan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan (Kanwil DJPb) Kemenkeu Provinsi Maluku Utara. Pertambangan dan Penggalian adalah salah satu sektor unggulan Maluku Utara selain Pertanian, kehutanan dan perikanan, Industri pengolahan, serta Transportasi dan pergudangan. Sektor – sektor unggulan ini tentunya berperan signifikan dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi Maluku Utara sebagai yang tertinggi di Indonesia pada triwulan II tahun 2022 dalam laporan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), yaitu sebesar 27.74%.

Pembangunan pertambangan di Maluku Utara tidak terlepas dari jumlah Izin Usaha Pertambangan (IUP). Sejauh ini tidak ada data konkret yang dapat menjadi acuan jumlah IUP di Maluku Utara. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) mengungkapkan per Januari 2021 mencapai 87 IUP untuk Mineral Logam dan Batubara. Usaha pertambangan  ini tentunya juga memberikan manfaat lain, seperti membuka lapangan pekerjaan, membuka peluang usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM), serta wadah pemberdayaan masyarakat lingkar tambang.

Namun, industri pertambangan juga memiliki dampak negatif karena dapat menyumbang bahan – bahan pencemar yang dapat mendegradasi kualitas lingkungan. Kawasan – kawasan pertambangan Maluku Utara diduga telah mengalami dampak ini salah satunya adalah Pulau Obi, Halmahera Selatan. Artikel ilmiah tentang “Heavy Metal (Ni, Fe) Concentration in Water and Histopathological of Marine Fish in the Obi Island, Indonesia” mengungkapkan beberapa parameter kualitas air telah melebihi ambang batas baku mutu termasuk konsentrasi logam Fe dan Ni, selain itu pada beberapa komoditas ikan konsumsi masyarakat juga telah terdeteksi logam berat. Kerang Kima (Tridacna sp) yang merupakan salah satu organisme yang dilindungi dan digunakan sebagai sampel dalam penelitian “Health Condition of Tridacna sp. In The Waters of Obi Island, Indonesia” juga telah terdeteksi logam berat.

Kawasan lain seperti Halmahera Timur, juga diungkapkan telah mengalami pencemaran akibat industri pertambangan seperti pada artikel ilmiah “Pemantauan Kualitas Air Laut Akibat Tumpahan Pasir Nikel di Perairan Teluk Buli, Halmahera” dan “Analisis Lingkungan Sekitar Tambang Nikel Terhadap Kualitas Ternak Sapi Pedaging di Kabupaten Halamahera Timur”. Dampak ini tentunya mengancam potensi lestari sektor lain salah satunya adalah sektor perikanan budidaya.

Sebagai sektor “Masa Depan”, pembangunan perikanan budidaya tentunya akan menjadi sektor unggulan yang menjadi pendukung pertumbuhan ekonomi, perbaikan pangan dan gizi, menciptakan lapangan pekerjaan serta peningkatan pendapatan masyarakat. Tetapi, keberadaan industri pertambangan dapat menjadi masalah. Sejatinya, toksisitas logam pertambangan pada komoditas budidaya dapat mengganggu terjadinya respon stress yang berdampak pada pertumbuhan, sistem imun dan perubahan struktur jaringan organisme.

Paparan logam berat juga dapat menyebabkan kerugian usaha budidaya akibat kematian. Contoh kasus nyata pernah terjadi pada tahun 2017, akibat jebolnya tailing industri pertambangan di Wasile selatan menyebabkan ribuan ekor ikan di kolam Balai Benih Ikan (BBI) Air Tawar Subaim milik Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Halmahera Timur mati total. Produksi ikan memang sangat dipengaruhi oleh keberadaan pertambangan. Seperti yang dirangkum WALHI, nelayan di sekitar Pancer, Desa Sumberagung, Jawa Timur mengeluhkan terjadinya penurunan drastis hasil tangkapan dari 10.280 ton menjadi 8.106 ton sejak adanya industri pertambangan.

Akumulasi bahan pencemar juga mengancam keamanan pangan atau mutu produk perikanan budidaya. Hal ini merupakan perhatian utama di pasar – pasar internasional. Logam berat pada ikan, krustase, dan moluska hasil budidaya juga mengancam kesehatan manusia melalui rantai makanan. Inilah beberapa poin yang menjadi catatan penting, kenapa industri pertambangan mengancam potensi lestari perikanan budidaya,

Mengingat peran pertambangan pada ekonomi dan sosial masyarakat, industri pertambangan tidak dapat dihilangkan dari pembangunan daerah. Oleh karena itu, agar potensi lestari perikanan budidaya tidak terancam, maka alternatif yang diperlukan adalah “Sinergitas Antar Sektor”. Pertama: perikanan budidaya sebagai bagian dari lembaga lingkungan usaha pertambangan, mengingat teknologi perikanan budidaya yang berkembang sangat pesat. Sehingga kegiatan budidaya dapat menjadi bagian yang dapat mengelola limbah pertambangan dengan menerapkan teknologi budidaya ikan non-komsumsi atau bersifat biofilter. Kedua: perikanan budidaya sebagai bagian dari lembaga pemberdayaan masyarakat lingkar tambang dengan mengembangkan kegiatan – kegiatan budidaya berbasis masyarakat yang sesuai Standard Operating Procedure (SOP). Intinya, jika konsep “Sinergitas Antar Sektor” ini diterapkan tentunya potensi lestari lingkungan akan terjaga. (*)