Opini  

Menolak Kenaikan Harga BBM Sebagai Jihad Pro Subsidi

Riyanda Barmawi

Oleh: Riyanda Barmawi

Ketua Bidang Ekonomi Pembangunan PB HMI 2021-2023

 

Rencana kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) telah menjadi isu hangat di negeri ini dalam beberapa pekan terakhir. Pasalnya, pemerintah telah memberikan sinyalemen terkait rencana tersebut akibat dari beban subsidi dan kompensasi energi yang biayanya membengkak, di tahun 2022, menembus Rp. 502 triliun. Kondisi ini jadi alasan utama dibalik rencana kenaikan harga BBM bersubsidi: pertalite dan solar.

Isu BBM ini telah mendapat beragam reaksi pro dan kontra di masyarakat. Pro kontra merupakan sikap yang lazim terjadi manakala pemerintah mewacanakan isu tertentu dalam rencana kebijakan. Apalagi masalah BBM berkenaan dengan hajat hidup orang banyak. Sudah tentu wacana naik turunnya harga BBM akan secara tidak langsung mempengaruhi kondisi sosial ekonomi, termasuk dengan politik.

Dampak yang ditimbulkan memang terbilang luas. Menaikkan harga BBM di waktu yang kurang tepat, sangat berpotensi menciptakan gejolak sosial akibat daya beli masyarakat yang melemah sebagai konsekuensi logis kenaikan harga-harga kebutuhan pokok. Itulah sebabnya, kebijakan menaikkan harga BBM sangat tidak populis. Alih-alih mendapatkan dukungan, justru yang terjadi malah sebaliknya penolakan.

Karenanya, rencana menaikkan BBM bersubsidi bukan opsi yang tepat di tengah kondisi ekonomi masyarakat yang belum sepenuhnya pulih akibat wabah pandemi, coronavirus, yang berkepanjangan. Dengan kondisi yang demikian, menjadi penting bagi pemerintah untuk memikirkan kembali rencana kebijakan yang tidak memihak pada rakyat, dengan mencari alternatif lain yang tepat.

Koreksi Kebijakan

Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral, BBM jenis Pertalite ini masih menjadi primadona untuk dikonsumsi masyarakat. Data realisasi 2021, mencatat, proporsi konsumsi Pertalite mencapai 80 persen di antara BBM jenis-jenis bensin lain, seperti Pertamax, Pertamax Turbo. Tingginya konsumsi masyarakat jelas akan membawa efek inflasi manakala harga BBM bersubsidi dinaikkan.

Secara empirik, tingkat inflasi yang tinggi dapat memperburuk daya beli dan konsumsi di masyarakat. Akibatnya target pertumbuhan ekonomi yang tinggi dipastikan tidak bisa terealisasi. Maka dari itu, untuk menjaga momentum pencapaian pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pemerintah perlu fokus pada penataan distribusi BBM bersubsidi, daripada opsi menaikkan harga BBM bersubsidi.

Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani anggaran subsidi energi yang mencapai ratusan triliun rupiah yang telah digelontorkan oleh pemerintah, pada kenyataannya cenderung dinikmati golongan masyarakat mampu dan super kaya. Sedangkan masyarakat miskin atau tidak mampu yang menjadi sasaran utama kebijakan BBM bersubsidi, justru tidak menikmati bagian kecilnya.

Dalam konteks BBM bersubsidi jenis Pertalite semisal, golongan masyarakat miskin atau tidak mampu, hanya 20 persen yang menikmati harga subsidi. Sedangkan 80 persen itu dinikmati oleh masyarakat mampu serta 60 persen dinikmati oleh orang kaya atau crazy rich. Kasus ini terjadi dalam konsumsi BBM jenis Solar, dimana mayoritas orang-orang yang menikmati harga subsidi adalah golongan mampu.

Artinya ada problem distribusi yang harus segera diselesaikan pemerintah agar masalah ini tidak berlarut dan berimplikasi terhadap mengorbitnya kebijakan yang inkompatibel dengan kehendak publik karena kondisi ekonomi mereka yang belum sepenuhnya pulih pasca pademi. Mengambil keputusan mengenai solusi yang efektif dan tepat, di luar dari wacana kenaikan harga BBM subsidi, menjadi pekerjaan rumah dalam waktu dekat yang diselesaikan agar tidak menimbulkan masalah baru.

Ekses dan Redistribusi

BBM jelas menyangkut hajat dan kepentingan orang banyak. Kenaikan harga BBM bukan hanya berimplikasi secara langsung terhadap rakyat semata, melainkan sektor usaha mikro kecil menengah  juga rentan terkena dampaknya . Hal ini tidak terlepas dari komponen biaya bahan bakar tersebut cukup besar. Sehingga kenaikan harga BBM tentu akan berpengaruh pada seluruh sektor usaha masyarakat.

Ada banyak aspek yang harus dipertimbangkan pemerintah terkait rencana menaikkan harga BBM bersubsidi. Jika dalih pemerintah menaikkan harga BBM, di tengah fluktuasi harga minyak dunia, karena subsidi telah membebani keuangan negara jelas ini menjadi paradoks. Sebab saat ini proyek infrastruktur yang sama-sama membebani keuangan negara masih tetap dijalankan.

Berdasarkan data yang disampaikan Kementrian Keuangan yang menyebutkan harga BBM subsidi lebih banyak dinikmati golongan masyarakat mampu, ketimbang orang miskin, menandakan kalau persoalan dasar dibalik beban subsidi atas keuangan negara ada pada pemerintah yang tidak mampu mewujudkan distribusi yang berkeadilan dan efektif.

Tanpa menyelesaikan masalah distribusi BBM bersubsidi dengan tuntas, maka rencana kenaikan harga BBM jenis pertalite dan solar patut ditolak sebagai jihad subsidi, karena keputusan tersebut sama halnya menghindari untuk menuntaskan problem redistribusi. Terakhir, otoritas berwenang juga perlu melakukan audit investigasi  terhadap masalah membengkaknya anggaran BBM subsidi. Tujuannya untuk membongkar praktik-praktik invisible hand dibalik masalah ini, sehingga publik dapat mengetahui apakah anggaran untuk subsidi sudah dijalankan sesuai atau tidak oleh PT Pertamina. (*)