Opini  

Malam adalah Tidur, atau, Momen Leisure

Agus SB

–untuk “anak-anak” malam—

Oleh: Agus SB

pengajar Antropologi di IAIN Ternate

 

Secara kasat mata, malam tampak sebagai ‘peralihan’  dari sisi-terang ke ‘sisi gelap hari dalam ritme siklus alam(iah). Manusia membingkainya sebagai “ruang” dan “waktu” budaya, dan di dalamnya segala kegiatan dilakukan. Malam khususnya, ‘kedatangannya’ barangkali disyukuri (atau tidak disyukuri, bagi yang tidak beragama) kebanyakan orang sebagai anugerah Tuhan bagi manusia, dan alam.  Alasan penting, barangkali terpenting, untuk mensyukurinya didasari fakta kehidupan sehari-hari manusia dalam sebuah jaman yang dinamakan ‘modern’. Suatu zaman, tulis Hannah Arendt, dengan ciri terpentingnya adalah pemuliaan kerja (glorification of labor), mentransformasi seluruh masyarakat menjadi masyarakat pekerja (a labor society) (2018; 1998:p.4).*)

Pada zaman dimana setiap individu dan kelompok manusia telah menjadi ‘masyarakat pekerja’ yang diupah maupun yang tak berupah, waktu budaya tampak disisihkan oleh waktu arloji. Secara mental, fisik, sosial dan budaya, aktivitas manusia ditata menurut kerangka waktu arloji. Manusia bekerja dari jam tujuh pagi sampai jam empat sore hari pada “hari-hari kerja yang diupah”. Di tempat dan ruang yang lain, di dalam rumahtangganya, manusia melakukan kegiatan sehari-hari dari pagi hingga jelang dinihari. Perempuan telah menikah di dalam masyarakat patriarkis seperti umumnya di Maluku Utara, kegiatan rumahtangga menjadi peran utamanya.  Entah dia suka entah terpaksa, patuh pada cara hidup demikian. Munculnya frase “ibu rumahtangga” menegaskan hal itu. Atau, jika tidak, ia mengupah ‘pekerja’ rumahtangga agar dirinya menjadi ‘pekerja’ di luar rumah.

Fakta kedua “ruang dan tempat kerja” di atas berkaitan tetapi dipisahkan melalui konsep “sektor publik” dan “sektor domestik” untuk menegaskan perbedaan di antara keduanya. Istilah ‘sektor’ itu sendiri mengandaikan ketidakberkaitan antar sektor satu dengan lainnya, antar ruang yang satu dengan lainnya, seperti sektor pendidikan dan sektor pariwisata, dan sebagainya. Rumahtangga manusia tentu saja telah eksis jauh sebelum formasi modernitas, kemudian diseret modernisasi kedalam arus besar ekonomi uang kapitalistik dan diberi label “sektor domestik”. Sektor publik berderet dari pabrik pembangunan — birokrasi pemerintah–, pabrik pendidikan negara dan swasta (pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi; ilmu pengetahuan dan manusia pembelajarnya dinamakan “sumberdaya”), pabrik sendal, pabrik tambang, toko pakaian, dan toko bahan bangunan yang mempekerjakan dan mengupah tenaga manusia. Sektor domestik dialami dan dijalani perempuan/ibu-rumahtangga dibawah cambukan waktu kerjanya sejak bangun pagi hari sampai jelang dinihari. Mereka menjalani waktu kerja yang lebih lama dan melakukan beragam kegiatan.  Hasil yang diperoleh dari upah kerja, bermanfaat bagi para pekerja negara dan swasta (dosen, guru, pegawai administrasi), pekerja pabrik, dan pekerja toko, untuk memenuhi kebutuhan konsumsi sehari-hari. Hasil dari kerja sektor domestik  berguna bagi keberlanjutan rumahtangga sebagai unit produksi-reproduksi, distribusi-redistribusi, dan konsumsi.

Di bawah cambukan waktu nyaris tanpa jeda, manusia-pekerja (laborer)**) (nyaris) tak punya waktu untuk “bersama dengan dirinya”, dan, karena itu, tak ada waktu luang.  Kiasan dari Dee  (barangkali)  dapat menggambarkan ritme hidup pekerja; saat menyikat gigi. Tak ada bunyi lain, tak mendegar apa-apa pada saat menyikat gigi, selain bunyi sikat beradu gigi, tak ada ruang untuk yang lain (2006: 58). Tak ada jeda sebagai ruang (space) untuk diri sendiri Diri sebagai subyek-agensi yang memiliki hasrat dan kebebasan kondratinya untuk berkreasi, memilih dan menentukan apa yang pantas atau tidak pantas bagi dirinya dan kehidupan ini. Bahkan (mungkin) tak menyadari lagi tujuan akhir dari semua kehidupan sehari-harinya. Semua pekerja hanya membungkuk bekerja: kerja, kerja, kerja, hingga memahami atau mengira kerja itu sendiri, atau dalam kerja itu sendiri terletak, atau disamakan dengan tujuan tertinggi dari dan dalam hidupnya. Atau, memang hidup tak butuh atau mementingkan atau memandang “tinggi” suatu tujuan hidup, dan itu berarti hanya bekerja dan terus bekerja dengan tubuh untuk sekadar penuhi kebutuhan (need) dan keinginan (want) konsumsi yang tak pernah terpuaskan. Pekerja  seperti itu sekadar menjadi obyek dari struktur kuasa— undang-undang kerja, aturan kerja, kepatuhan pada kerja, upah dan penghargaan, sanksi– yang efektif mengendalikannya sebagai boneka, sebagaimana diyakini kaum strukturalis (Craib, 1986: 162). Pekerja kesulitan “mengambil jarak ” dengan ‘dunia kerja dan dunia kesehariannya’. Bagi boneka pekerja ini, kebebasan diri, kreativitas, memikirkan dan mentukan alternatif, dan “bersama dengan dirinya sendiri” (mungkin) tampak membingungkan.

Semua kegiatan itu, semua kerja itu, di sektor publik dan sektor domestik, pada dasarnya sama; menghasilkan feedback kelelahan fisik dan mental pada pekerja.  Kelelahan fisik dan mental, bahkan keterasingan di hadapan hasil kerjanya dan dunia kehidupan sehari-harinya, dapat mencetuskan kesadaran dan respon terhadapnya. Kondisi seperti ini seringkali terasa dan disadari dalam momen ketika malam mendatangi manusia sebagai jeda dari rutinitas kerja. Seperti saat anda menyapu sampah di atas area lahan luas,  anda hanya menunduk mengayunkan sapu menyeret sampah, dan di batas akhir area yang anda sapu, anda tersadar area itu telah bersih. Anda lega, dan  tengadah ke langit, dan disergap kelelahan, rasa letih.   Situasi kelelahan fisik, mental dan batin pekerja seperti itu dapat mencemoh keyakinan kaum strukturalis bahwa manusia hanyalah boneka dari struktur-struktur.  Tubuh, mental dan psikis manusia dapat ditindas oleh struktur, tetapi kesadaran atau akalbudi terlalu “abstrak” untuk dapat dirogoh dan ditindas oleh struktur, atau apapun dari dunia eksternal diri manusia. Keberagamaan kita sehari-hari di kota Ternate ini menjadi contoh tambahan. Mayoritas muslim, tetapi masjid-masjid seantero kota ini, saya percaya, tak pernah penuh pada waktu-waktu shalat lima waktu. Ketidakseriusan beragama? Entah.

Di sinilah, arti penting—atau yang saya kira penting–kehadiran dan keberadaan malam, sebagai anugerah.  Akalbudi manusia merupakan dunia batin (inside world), yang [dapat, pen] mengalami pergolakan pikiran dan emosi, [dengan itu, pen.] manusia memahami, mempercayai, mengenang, dan membentuk citra [gambaran, pen.] tentang dunia luar (Calne, 2004:371). Akalbudi bekerja melalui sekurangnya dua mekanisme; melalui “sensasi” (serba rasa) dan “attitude” (serba sikap). Sensasi memungkinkan manusia menyadari adanya dunia luar, merasakan emosi dan mengalami fungsi-fungsi jasmaniah. Dengan sikap, manusia dapat memikirkan proporsi dingin atau panas dan menimbang topi atau mantel untuk digunakan. Dengan sensasi dan sikap, bersama persepsi, memungkinkan manusia menafsirkan citra-citra mengenai dunia luar (Calne, ibid.: h.388-389). Citra dunia luar itu, yakni eksternal dari dunia batin manusia, di antaranya, adalah fenomena alam (ekologi), dan fenomena peralihan hari dari sisi terang ke sisi gelap (malam).

‘Malam’ tampak sebagai waktu dan ruang ‘kebebasan’ bagi para pekerja “sadar diri”, sebagai subyek, yang memandang malam sebagai momen untuk ‘bersatu dengan dirinya’ (leisure).  “Hanya ada waktu luang (leisure), tulis Pieper, ketika manusia bersatu dengan dirinya sendiri, selaras dengan keberadaannya sendiri”. Leisure merupakan bentuk keheningan, bukan hanya ketidakbersuaraan atau kebisuan yang mati. Lebih tepatnya, demikian Pieper, leisure adalah kekuatan jiwa, untuk menanggapi yang nyata, suatu disposisi pemahaman reseptif (kemampuan memahami sesuatu yang didengar atau dibaca atau dilihat—pen.), pandangan kontemplatif, dan pencelupan kedalam kenyataan (1998:p.50). Mengalami momen malam sebagai jeda, sebagai waktu luang, berarti pekerja (laborer) kembali menjadi subyek yang punya akalbudi, berpikir dan memersepsi kenyataan dirinya dan dunia eksternal dari dirinya, ‘mencelupkan diri secara mental kedalam kenyataan di luar sana—“immersion in the real”, tulis Pieper.

Malam mendatangi subyek. Jika langit cerah, malam akan datang beriring bintang dan “bulan pake payung” yang menyirami bumi dengan cahaya lembut yang memancar ke semua arah dan sudut terjauh bumi yang dapat ditangkap penglihatan. Meskipun begitu, bersama kekuatan cahaya lampu yang dihidupkan, pandangan mata biologis manusia tak pernah bisa menembus gelap atau remangan malam yang “jatuh” tepat pada batas cakrawala yang tak lagi dijangkau cahaya terang. Di hadapan subyek-agensi, gulita malam diatasi oleh pikiran, fantasi dan imajinasi, menembus hingga ke batas terjauh cakrawala yang dapat dicapainya, dari realitas hidup sehari-hari hingga dunia transendental, dunia-batinnya dan dunia-eksternal di sekelilingnya.  Manusia dapat merespon dan memaknai malam, dalam bentuk dua keputusan: pertama, kebanyakan manusia-pekerja memaknai malam sebagai ‘ruang-waktu’ untuk istrahat total; secara mental-fisik dan kesadarannya; tidur!. Dengan tidur, manusia-pekerja “membunuh” sementara waktu demi “melupakan dirinya sendiri”, yang kelelahan fisik-mental, gelisah, resah, cemas, mengabaikan keterasingan dirinya di hadapan fakta kehidupannya, dan barangkali melupakan apa yang telah dilakukan atau rencanakannya untuk besok hari dan esok hari yang jauh. Kedua, sebagian manusia-pekerja kembali menjadi subyek-agensi  yang merespon dan memaknai kehadiran malam sebagai ‘waktu luang’ (leisure), waktu ‘dengan dirinya sendiri’. Mengapa memilih malam? Malam adalah momen untuk sejenak “keluar” dari jebakan tirani struktur waktu arloji dan kerja (labor),   dan karena rezim struktur tersebut luput meringkus malam ke dalam kuasanya yang ‘memaksa’. Kelompok kedua ini dapat ditemukan pada kalangan kaum muda di kota pulau Ternate, di malam hari. Sebagian di antara mereka adalah pekerja di sektor publik dan sektor rumahtangga, termasuk mahasiswa, yang saya amati.

Manusia-pekerja yang menyambut malam sebagai waktu untuk istrahat dengan cara tidur tak layak mendapat tempat dalam ruang datar ini. Jangan diganggu tidurnya yang pulas– entah puas. Karena, apa? Tidur adalah fenomena sirkadian biologis yang dialami manusia di berbagai belahan bumi, dan umumnya manusia tidur pada malam hari (lihat Steger and Brunt, 2003:1-24). Maka, pada kelompok kedua saja yang pantas mendapat tempat, yakni sebagian manusia-pekerja dari kaum muda, yang “kembali” menjadi subyek – agensi di malam hari, untuk “bersatu dengan dirinya sendiri”. Seperti dikatakan Pieper, leisure atau ‘waktu luang’ bukanlah waktu “bermalas-malas” atau “bersantai”, [dapat ditambahkan] juga bukan pesta-pesta seperti di jalanan dan lorong di kota Ternate. Mereka adalah subyek yang mencari ‘kejernihan’ di gelapnya malam mengenai perihal yang mereka pikirkan, rasakan dan mengalami adanya kekaburan pada kehidupan sehari-hari,.

Meskipun Pieper mengesankan ‘waktu luang’ (‘leisure’) sebagai momen ‘privacy’, individual, namun momen yang sama dapat dialami oleh sejumlah individu, dan kemudian terhubung oleh jejaring komunikasi via teknologi informasi (smartphone) maupun komunikasi tatap-muka antar personal. Tetapi jejaring komunikasi ini tidak dapat serta merta menyatukan mereka pada waktu dan tempat yang sama. Dibutuhkan cetusan untuk itu, dan cetusannya adalah ‘problematik’ kehidupan nyata sehari-hari “di luar diri mereka, sebagai pengalaman (experience) yang menarik perhatian dan minat individu-individu ini. Secara bersamaan mereka berada pada momen ‘waktu luang’ yang sama, disatukan oleh ‘tema’ problematik kenyataan hidup tersebut melalui jejaring komunikasi dan informasi antar individu.

Sabtu malam, tanggal 20 Agustus 2022 lalu, di Fort Orange, kota Ternate, berkumpul sejumlah kaum muda ‘subyek-pekerja’ dan mahasiswa dari berbagai latar pendidikan dan jenis pekerjaan. Mereka disatukan oleh minat yang sama pada satu tema : ekologi vs ekonomi. Itulah “momen leisure” bersama. Ekologi vs ekonomi sebagai tema sentral refleksi yang dibangun Komunitas Eco-Enzym beranjak dari atau berdasarkan pada fakta hidup sehari-hari manusia di dalam derap gempita pembangunan ekonomi dan penghancuran ekologi.  Ekonomi dilihat sebagai protagonis yang diusung pembangunan, dan ekologi yang dikorbankan sebagai antagonis. Tema itu menghadirkan serempak kontradiksi dan ketegangan.

Tepat pada kontradiksi-ketegangan itu, pada dasarnya, lahir pertanyaan menggelisahkan; sampai kapan dan berapa banyak lagi ekologi dan semua species hayati, termasuk manusia, di atas atau di dalamnya,  harus berkorban (sacrifice) memikul pembangunan yang selalu berorientasi pertumbuhan ekonomi dengan mengorbankan (viktimisasi) semesta ekologi dan manusia di dalamnya, berusaha meraih  ‘pertumbuhan’ dengan ketinggian yang tak terbatas? Sampai tak ada lagi yang dapat diberikan oleh semesta ekologi (bumi) dan manusia? Refleksi dialogis malam itu, seperti dikatakan Geerts (ia merujuk pada J.Dewey, 1939), pemikiran reflektif berfungsi “mengubah sebuah situasi yang di dalamnya ada kekaburan yang dialami tentang beberapa hal menjadi sebuah situasi yang jelas, koheren, mantap dan selaras (1992:94). Melalui refleksi-dialogis bersama itu, kontradiksi dan ketegangan ekologi-ekonomi dicoba dipahami, sambil membayangkan (envisioning) solusi-solusi kecil yang dapat diretas dan dilakukan untuk menyembuhkan dan memulihkan kesehatan ekologi, keragaman spesies hayati dan manusia, meskipun itu dilakukan dalam ekosistem lingkungan kecil seperti kota Ternate dan sekitarnya.

Saya menangkap refleksi dialogik malam bahwa, kontradiksi dan ketegangan ekonomi-vs-ekologi  hanya dapat diselaraskan dengan mengimbangi hasrat pertumbuhan ekonomi di atas pengrusakan ekologi melalui praktik-praktik konkret, meskipun kecil atau sederhana. Praktik kecil atau sederhana itu juga adalah perjuangan. Apapun hasil nanti di kemudian hari dari ‘perjuangan’ itu,  sekurangnya mereka masih menjadi subyek-agensi yang mengambil bagian (jika mereka bukan satu-satunya) “memikul tanggungjawab” atas kerusakan ekologi, memikul kerugian di bawah keuntungan pihak lain.

Mereka berhimpun dalam wadah Komunitas Eco-Enzym dan mengambil bentuk gerakan sosial baru (new social movement).  Dari mereka, kita (atau saya saja) berharap, tercipta budaya baru dalam gerakan yang sangat vital bagi pemulihan ekologi. Gerakan sosial seperti ini penting karena bertepatan dengan fakta memudar dan punahnya kearifan lingkungan (ecological wisdom) tempatan di Maluku Utara (jika memang pernah ada). Dari mereka, lagi, saya berharap, akan menular seperti rizoma umbian yang menumbuh-kembangkan komunitas subyek-agensi serupa lain di Maluku Utara, dalam visi dan komitmen yang sama; memulihkan lingkungan, memulihkan kehidupan. Ini tujuan dari sebuah gerakan sosial baru. Dengan mekanisme “budaya baru pemulihan lingkungan dari kerusakan” seperti ditunjukkan komunitas ini, langit Maluku Utara masih dapat dicegah dari selimut kabut emisi karbon dioksida yang dapat menghalangi mata biologis generasi manusia Maluku Utara mendatang, sehingga  mereka masih akan menghirup oksigen bersih dari tetumbuhan di atas tanah dimana mereka pijak dan masih menjadi miliknya, sambil menatap dan menikmati malam yang selalu datang bersama bintang dan ‘bulan pake payung’ dalam ritme siklus alam(iah) sebagai takdir Tuhan.

 

Catatan :

*) Untuk Indonesia dan kebanyakan negara selain Eropa dan Amerika Serikat, zaman modern tampaknya dimulai sekurangnya pada fase ekspansi emperium maritime Eropa pada abad ke-15, mereka mengeksplorasi dunia-dunia baru, menjumpai masyarakat dan peradaban baru yang berbeda dengan Eropa, dan memanfaatkan mereka untuk kepentingan Eropa melalui episode perdagangan, penaklukan, dan kolonisasi.  Ciri masyarakat modern ditandai oleh hadirnya negara-bangsa modern dengan strukturnya yang luas dan kompleks, moneterisasi pertukaran ekonomi berdasarkan produksi dan konsumsi komoditi untuk pasar, kepemilikan pribadi dan akumulasi kapital secara sistematis dan berjangka panjang, kemunduran tatanan sosial lama, kemunduran pandangan dunia religius yang menjadi ciri masyarakat tradisional, lahirnya suatu kebudayaan materil dan sekuler, berkecambah individualisme dan rasionalitas, serta  dorongan-dorongan instrumental yang familiar dengan kehidupan saat ini (lihat, Stuart Hall, “Introduction” dalam Formations of Modernity. Edited by Stuart Hall and Bram Gieben. Polity Press in association with Blackwell Publishers Ltd and The Open University, 1992.pp. 1-16, p.5-6).

**) Kata ‘pekerja’ diterjemahkan dari ‘laborer’, digunakan Hannah Arendt, satu dari tiga serangkai konsep “Labor, Work, Action”, yang diakuinya sebagai artikulasi utama dari konsepsinya “vita activa” (kehidupan yang aktif). Arti dari konsep ‘Laborer’ (pekerja) diambil Arendt dari bahasa Aristotelian yakni, “dengan tubuh mereka memenuhi kebutuhan hidup”. “LABOR, WORK, ACTION” dalam Thinking Without Banister. Essays in Understanding, 1953-1975. Edited and with Introduction by Jerome Kohn. New York, Schocken Books, 2018.  [e-book, tanpa nomor halaman]

 

 

Daftar Pustaka

Arendt, Hannah. 1958. The Human Condition. Second Edition. Introduction by Margaret Canovan. The University of Chicago

Arendt, Hannah. 2018. Thinking Without Banister. Essays in Understanding, 1953-1975. Edited and with Introduction by Jerome Kohn. New York, Schocken Books. [ebook tanpa nomor halaman]

Calne, Donald  B. 2004. Batas Nalar. Rasionalitas & Perilaku Manusia, Jakarta, KPG.

Craib, Ian. 1986. Teori-Teori Sosial Modern. Dari Parson sampai Habermas. Jakarta, Rajawali Pers

Dee. 2006. Filosofi Kopi. Kumpulan Cerita & Prosa Satu Dekade. Truedee Books & Gagas Media.

Hall, Stuart, 1992.  “Introduction” dalam Formations of Modernity. Edited by Stuart Hall and Bram Gieben. Polity Press in association with Blackwell Publishers Ltd and The Open University, 1992. pp. 1-16.

Geertz, Clifford. 1992. “Bab 3. Pertumbuhan Kebudayaan dan Evolusi Pikiran”, dalam Tafsir Kebudayaan, Yogyakarta, Kanisius. h. 68-100.

Pieper, Josef. 1998. Leisure. The Basis of Culture. Introduction by Roger Scruton, New translation by Gerald Malsbary. Indiana, St. Augustine’s Press South Bend.

Steger, Brigitte and Brunt, Lodewijk. 2003. “Introduction Into the night and the world of sleep”, dalam Night-Time and Sleep in Asia and the West Exploring the dark side of life. Edited by Brigitte Stenger and Lodewij Brun, RoutledgeCurzon 11 New Fetter Lane, London EC4P 4EE

***

–kayu merah, 29 Agustus 2022