–untuk anak-anak yang selalu menerima kekerasan–
Oleh: Agus sb-
-pengajar Antropologi di IAIN Ternate
Tak peduli pagi, siang atau malam. Nyaris setiap hari, saya mendengar (dan melihat) teriakan, bentakan, cacian, dan ancaman merupakan elemen-elemen di dalam gaya ‘berbicara’ yang saya namakan “berbicara dengan volume keras-tinggi-mengancam”. Ini terjadi di antara anak-anak sebaya, seorang ibu terhadap anaknya yang berusia sekolah dasar, seorang kakak terhadap adiknya, nenek terhadap cucunya. Situasi sosial ‘keras’ di lingkungan dimana saya mukim ini terjadi dalam frekuensi ‘seringkali’, dan setiap kali hal terjadi, saya mengira bunyi “batang bambu dewasa” yang dirobek paksa, ledakan “petasan segitiga”, atau “mercon” yang dilesakkan dan meledak dari mulut mereka.
Peristiwa nyaris sehari hari itu bukanlah sesuatu yang baru saya amati, atau mengalami, saat ini. Perangai bicara seperti ini pernah dilakukan saya dan teman-teman sebaya di masa kanak-kanak, hingga remaja, di kota pulau ini, Ternate. Sesekali, di rumah masa kecil saya, juga terdengar “ledakan petasan”. Nampaknya, hingga saat ini, ekspresi “menyalak” dalam volume suara tak berubah, membatu, dan ‘diterima’ begitu saja, dianggap lazim. Sesuatu yang biasa saja, oleh kebanyakan kita orang Maluku Utara. Kebanyakan kita mengalami dan (barangkali) menjadi bagian dari praktik ‘komunikasi keras’ seperti ini, setiap hari, sehingga tak lagi menyadari. Karena itu, tak bisa “mengambil jarak sebagai subjek” untuk “menemukan kejernihan” atas perilaku sendiri.
Saya mencari kejelasan atas fenomena ini. Namun, sejauh ini, tak ada data antropologis/etnografis mengenai karakter atau kepribadian rata-rata setiap sukubangsa atau keseluruhan orang Maluku Utara. Maka, tak ada konteks yang dapat ‘menerangkan’ perilaku ‘komunikasi keras’ ini. Apa yang saya maksud konteks seperti disiratkan judul disertasi antropologi di Universitas Indonesia; “Ekspresi Seni Orang Miskin”, Tjetjep Rohendi Rohidi (1993); atau sebagai “budaya kemiskinan” dari Oscar Lewis (2016); atau dalam kerangka “tiga tipe kepribadian rata-rata” dari antropolog Ruth Fulton Benedict (1966). Dibutuhkan, karena itu, penelitian etnografis mengenai kebudayaan dan kepribadian setiap sukubangsa di Maluku Utara agar dapat memahami ekspresi ‘komunikasi keras’ seperti di atas. Sayangnya, penelitian seperti itu tidak mudah, mahal dari segi biaya dan jangka waktu lama.
Belum lama berselang, lahir tiga penelitian disertasi antropologi oleh orang Maluku Utara sendiri mengenai masyarakat dan kebudayaan satu atau dua sukubangsa di Maluku Utara. Namun dengan tema budaya politik, budaya dan ritual, dan transformasi budaya. Sebelum ketiganya, dua antropolog dari luar negeri juga melakukan penelitian di Maluku Utara; Nils Bubandt dan Christopher Duncan. Semua penelitian itu sama sekali tidak berkaitan dengan tema “kepribadian rata-rata” dari sukubangsa yang diteliti. Maka, seseorang boleh jadi menduga-duga misalnya dengan mengatakan; fenomena ‘berbicara bernadakeras-tinggi-mengancam ini dipengaruhi oleh lingkungan pantai, atau mungkin tekanan kesulitan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang mendesak, kelangkaan atau bahkan ketiadaan pekerjaan yang menghasilkan pendapatan yang berakibat stress, dan mungkin ini, atau itu. Serba mungkin” ini, tentunya, perbuatan sekadar menggampangkan.
Contoh kontras lintas budaya barangkali membantu menerangkan mengapa fenomena ‘komunikasi keras ini’ membingungkan dan meresahkan— sekurangnya bagi saya. Contoh lintas budaya berkenaan dengan bagaimana manusia dalam kebudayaan yang berbeda mengekspresikan tanggapan dengan cara berbeda terhadap peristiwa yang sama, seperti “peristiwa kematian”. Dapat dikatakan, semua masyarakat di dunia ini, dulu maupun kini, “peristiwa kematian” selalu berakibat kesedihan, membikin seseorang atau sekelompok orang “berduka”. Orang Maluku Utara umumnya, jika bukan semuanya, akan mengekspresikan kesedihan dengan cara “badodora” pada saat mengalami peristiwa kematian yang dialami di antara kerabatnya. Misalnya dengan mengatakan; “tadi tong sama sama, kong malam nanti ngana sotidur di kusu kusu ituuuuuu..”, dst (terimakasih kepada Murid Tonirio atas ceritanya). Kesedihan diluapkan dengan “tuturan” bernada tinggi-keras (mungkin histeris), dengan kesedihan yang “merayap” di dalam nada suara, tentu saja.
Sebaliknya. Suatu hari, sekitar tahun 2007, bersama keluarga, saya di sebuah kota di Jawa, melanjutkan studi. Terbangun sekitar jam tujuh pagi, saya melangkah ke depan rumah kontrakan. Tampak di halaman depan balai kelurahan, dipadati mobil berbagai merk dan ukuran. Kepada ketua RT dalam lingkungan saya yang kebetulan lewat, saya menanyakan pemandangan itu. Menatap saya dengan wajah senyum, dan heran, ia berkata; mas gak tahu to…, mantan sekertaris kota meninggal dari semalam”. Saya terperangah. Pertama, baru tahu kalau tetangga yang tak jauh di lorong sebelah adalah mantan sekertaris kota. Kedua, ia meninggal semalam tetapi diumumkan di masjid pagi hari. Saya yang terjaga hingga subuh tak mendengar suara tangisan sejak malam, hingga pagi itu. Apa artinya? Seperti orang Maluku Utara, kematian menimbulkan kesedihan. Namun, pada lingkungan sosial budaya Jawa dimana saya tinggal itu, respon dan ekspresi kesedihan mereka “terjaga”, tak terdengar “suara kesedihan”. Peristiwa kematian di Jawa ini telah diamati dan ditulis oleh antropolog-Indonesianis Clifford Geertz; “Suasana hati sebuah pemakaman di Jawa bukanlah duka-cita yang histeris, tangisan terisak-isak yang tak terbendung…Pemakaman orang Jawa lebih merupakan sebuah pelepasan jenazah dengan tenang, tidak demonstratif, dan hampir lesu, …Airmata tidak disukai dan tidak dimunculkan…” (1992:84).
Sekurangnya dalam lingkungan sosial dimana saya mukim di kota pulau ini, entah dia marah, entah dia gembira, entah dia sedih, boleh dikatakan ekspresinya diluapkan serentak dalam gesture dan volume suara yang keras-tinggi; bila sedang marah ia tampak ‘seakan meledak’, jika sedang gembira ia tampak “berkibar-kibar”; bila berduka seperti dalam peristiwa kematian ia nyaris histeris. Suasana hatinya (mood) diluapkan dengan pilihan kata-kata yang spontan untuk “melarang”, “mencaci”, “memerintah”, “badodora”, tertawa terbahak bahak, dan membentak. Tentu saja ‘bunyi suara’ yang terdengar saat letupan tawa dan bentakan (‘toreba’) bukanlah “kata” [word] (terimakasih, bang “Gibra”, atas keterangannya). Tetapi diletupkan dengan intonasi ‘keras’ dan meggelegar, dalam konteks komunikasi, ‘tawa’ dan ‘bentakan’ itu juga bermakna. Tak ada nada rendah atau datar. Mengapa hal itu mengernyitkan dahi dan alis saya?
Siang itu, Kamis 4 Agustus lalu, tiga orang anak usia sekolah dasar, hendak melintas di antara rumah tinggal kami dan rumah tetangga. Ada ruang kosong di antara kedua rumah, dan celah sempit (kurang dari 50 cm) di antara dua dinding dapur dari kedua rumah. Pada ruang kosong di antara dua rumah itu dipenuhi batuan kerikil bercampur beliung, dan kemungkinan paku bekas berkarat. Saya berkata dengan kalimat ‘melarang’ bernada persuasif-datar, kepada ketiganya; “jangan lewat di situ, banyak paku bakarat”. Tak peduli, atau seperti orang tuli, sekadar menoleh ke saya, ketiganya melenggang santai melewati ruang sempit itu, lolos dengan cara berjalan menyamping, ke arah belakang rumah. Saya terdiam, melongo. Sesaat kemudian terpikir; andai saya meninggikan volume suara dan sedikit ‘teriak’, mungkin ketiganya akan berbalik dan tidak melalui ruang sempit itu. Mengapa?
Lingkungan sosial di sini, adalah lingkungan “yang bersuara dengan nada keras-tinggi” sehingga bahasa persuasif dan nada suara datar nampak tidak berefek. Kalimat “larangan bernada persuasif” sangat jelas (atau yang saya kira jelas) dalam tuturan saya kepada tiga anak di atas. Ketiganya bukanlah anak-anak yang tak paham bahasa Melayu sehari-hari yang umum digunakan dalam tindak tutur di kota ini, dan saya gunakan di hari itu. Saat itu, mendengar di antara mereka pun berbicara dengan bahasa yang sama. Saya menduga, meskipun “kata-kata” yang saya ucapkan memiliki arti harfiah dan kontekstual, dapat dimengerti, tetapi bagi anak-anak ini, “kata-kata” itu tak punya arti atau makna bagi mereka. Nada suara yang tinggi dan mengacamlah, barangkali, dan bukan “kata-kata” itu sendiri, yang memiliki efek kepada pendengar, efek kepada anak-anak itu, sehingga “memaksa” mereka mematuhi “kalimat larangan”. Jadi, “nada atau intonasi suara tinggi-keras” dalam tindak tutur sehari-hari itulah yang “lebih berarti sesuatu”; dapat berarti marah, bisa berarti senang/gembira, bisa berarti sedih bagi pendengar, daripada arti “kata-kata” itu sendiri, ‘arti’ sebagaimana yang dipahami dan disepakati secara sosial. Volume atau intonasi suara lebih dipentingkan, ditonjolkan, dan diperhatikan daripada makna atau arti dari kata-kata yang dituturkan.
Fakta di atas, sekali lagi, kontras dengan “cara berbahasa” di sebuah kota di Jawa. Pada salah satu spanduk yang pernah saya baca di sebuah jalan raya, tertulis demikian: “Yang balapan hanya Rossi”, dan di lorong pemukiman padat penduduk di sebuah kelurahan di kota yang sama, tertulis: “pelan-pelan ada gadis cantik”. Kalimat pertama menyampaikan pesan “larangan”, tetapi dikatakan dengan cara tak langsung, dimana larangan diwakili oleh “hanya Rossi”, jawara pembalap motor formula asal Italia (?). Kalimat kedua, “larangan” atau “peringatan” diwakilkan pada “ada gadis cantik”. Membidik ke utara, tapi menembak ke selatan. Mudahnya, seperti ‘bermain karambol’. Cara “berbahasa larangan” seperti ini, barangkali saja, tidak akan mudah dipahami seorang anak di Maluku Utara yang sehari-hari dibentak (bahkan dipukuli) karena intonasi suara yang tinggi dan gesture mengancam akan lebih “bermakna” daripada “bahasa” yang ia dengar.
Mengingat tak tersedia data etnografi sebagai konteks untuk memahaminya, maka pemandangan ‘tindak tutur dengan nada tinggi-keras’ diiringi gesture tubuh mengancam ini, barangkali, tak berlebihan jika digambarkan sebagai “asuhan gaya Sparta”, suatu bentuk pendidikan yang keras (Ernst H. Gombrich, 2016:57-58). “Asuhan gaya Spartan” pernah dipraktikkan orang Doria yang menaklukkan penduduk asli Sparta di Yunani, pada tahun 110 sebelum Masehi. Jumlah penduduk tempatan yang lebih besar menjadi hamba yang dipekerjakan sebagai buruh tani. Orang Doria penakluk Sparta, menurut norma mereka, tak boleh memikirkan hal lain kecuali upaya untuk menjadi pejuang yang kuat dan tangguh agar para hamba dan suku-suku merdeka di sekitar Sparta selalu tunduk pada mereka. Dalam rangka itu, anak laki-laki di Sparta kadang-kadang dipukuli tanpa alasan, hanya supaya mereka terbiasa menahan rasa sakit. Sikap itu telah digariskan di dalam undang-undang mereka, dibuat oleh Likurgus. Meskipun saat ini tidak dipraktekkan lagi, demikian Gombrich, metode pendidikan Spartan ini mencapai tujuannya pada waktu itu.
Pada angin semilir malam dinihari yang lewat, saya menitip pertanyaan: jika tujuan para penakluk Sparta menerapkan asuhan gaya Spartan sebagai strategi budaya mereka untuk mendidik warganya menjadi pejuang dan tuan, maka (dengan generalisasi berlebihan) apa gerangan tujuan dari “asuhan gaya Spartan” di Maluku Utara seperti di atas?. (*)