TERNATE, NUANSA – Perlindungan terhadap hutan mangrove bisa dibilang hanya dilakukan segelintir orang. Hanya kelompok tertentu yang peduli untuk menjaga agar mangrove tetap tumbuh dan terawat. Karena mereka sadar, keberadaan hutan mangrove amat penting untuk masyarakat.
Sekarang, kondisi mangrove di Maluku Utara banyak yang beralih fungsi. Peralihan fungsi ini terjadi, termasuk karena aktivitas industri pertambangan, termasuk juga aktivitas perkebunan, tambak, reklamasi, pemukiman dan aktivitas lainnya. Situasi buruk yang melanda mangrove saat ini memaksa beberapa kalangan dan pemerhati lingkungan untuk menyuarakan perlu ada langkah cepat dalam menyelamatkan mangrove, dengan jargon yang terendus adalah warga di kepulauan itu bakal terancam, bila mangrove ludes.
Forum Studi Halmahera (FOSHAL), salah satu LSM yang peduli dengan mangrove di Maluku Utara, akan menggelar FGD dengan tema: Nasib Mangrove di Wilayah Kepulauan, pada Sabtu (10/9). Direktur FOSHAL, Dr Azis Hasyim menuturkan, kasus di Halmahera Utara misalnya, ada perusahaan yang membabat hutan mangrove, kemudian menukar dengan perkebunan singkong untuk tapioka. Situasi yang sama juga terjadi Halmahera Tengah, perusahaan tambang mengkonversi hutan mangrove menjadi kawasan industri tambang, dan di Halmahera Selatan mangrove dihabisi oleh sendimen industri nikel sementara di sektor perkotaan, hutan mangrove dikonversi manjadi pemukiman, maupun sasaran reklamasi.
Merujuk pada dokumen Rencana Teknik Rehabilitasi Hutan dan Lahan Daerah Aliran Sungai (RTk-RHL DAS) Ekosistem Mangrove dan Sempadan Pantai Wilayah Kerja BPDAS Ake Malamo 2014, Maluku Utara memiliki lahan mangrove dan sempadan pantai sekitar 55.322,61 hektare. Khusus untuk ekosistem hutan mangrove sendiri , ada 46.259,41 hektare dengan kategori rapat 29.848,83 hektare dan kurang rapat 16.410,58 hektare.
Lanjutnya, dari data itu, sebaran hutan mangrove dominan di hutan produksi konversi (HPK) 25.594,35 hektar (55,33%), areal penggunaan lain (APL) 13.790,01 hektare, hutan lindung (4.999,04 hektare, hutan produksi 1.324,07 hektare dan hutan produksi terbatas 551,94 hektare.
Data hasil digitasi dan pengolahan secara spasial menggunakan citra resolusi tinggi yang dilaksanakan BPDASHL Ake Malamo dengan Direktorat Konservasi Tanah dan Air, Dirjen PDASHL tahun 2017 menyajikan total luasan mangrove Malut menyusut menjadi 41.228,7 hektare atau berkurang sebanyak 5.030,71 ha (10,87%). Faktor penyebab penyusutan tersebut dapat berasal dari faktor alami maupun faktor manusia. (Muh. Arba’in Mahmud Pengendali Ekosistem Hutan (PEH) Muda BPDASHL Ake Malamo).
“Berdasarkan pada kondisi tersebut maka Forum Studi Halmahera atau FOSHAL menginisiatif menggelar sebuah diskusi tematik dengan mangangkat tema “Tentang; Nasib Mangrove di Wilayah Kepulauan” sebagai langkah awal penyaringan informasi. Kegiatan ini untuk mengumpulkan informasi tentang kondisi mangrove di Maluku Utara Upaya membumikan perlindungan mangrove di Maluku Utara, mendorong Pemerintah untuk menjadikan kawasan mangrove sebagai kawasan perlindungan khusus, mendorong pemerintah di tingkat bawah atau tapak untuk membuat regulasi perlindungan mangrove,” jelasnya.
Yang dihadirkan untuk memberika pemantik adalah dari Balai DAS Ake Malamo Muh. Arbain Mahmud, Dinas Lingkungan Hidup Kota Ternate: Sarif Tjan, Akademisi, Perikanan dan Kelautan Unkhair: Zulhan Harahap, Direktur ED WALHI Maluku Utara: Faisal Ratuela, Direktur Pakativa Maluku Utara: Nursyahid Musa, Direktur FOSHAL Maluku Utara: Dr Azis Hasyim dan Ketua KNPI Kota Ternate: Sahmar Ishak. (rii)