Opini  

Presiden ke Maluku Utara, Demokrasi Dibungkam

Sefnat Tagaku

Oleh: Sefnat Tagaku

Pegiat Budaya

 

Tak semua berbangga atas kehadiran orang nomor satu di Indonesia dalam melakukan kunjungan ke wilayah Maluku Utara, karena menilai dalam pemerintahan ini berbagai persoalan bangsa tidak kunjung selesai, bahkan menambah masalah baru.

Namun juga, ada sebagian masyarakat yang justru bangga atas kehadiran orang nomor satu di Indonesia itu. Ini kedatangan yang berulang kali, presiden Joko Widodo hadir di wilayah Maluku Utara. Kebanggaan itu ditandai dengan semisalkan ingin berfoto bersama, meski sulit menerobos karena rapihnya barisan keamanan.

Selain itu,  kehadiran presiden Republik Indonesia di Maluku Utara, mesti juga dipertimbangkan apa dampaknya pasca dari pulangnya orang nomor satu itu. Karena prinsipnya, presiden merupakan kekuasaan tertinggi pada sebuah negara, begitu pun negara Indonesia.

Ada banyak kegelisahan atas masalah sosial yang harus tersampaikan di telinga presiden. Mungkin pula masalah-masalah sosial itu yang merupakan salah satu faktor ada sebagian kelompok lebih memilih menolak kehadiran presiden.

Karena itu, terlepas dari pro-kontra kehadiran presiden di wilayah Maluku Utara, saya kemudian lebih tertarik untuk melihat pada batasan-batasan yang dilakukan oleh pihak keamanan (TNI-POLRI), atas gerakan mahasiswa dalam mempersiapkan sambutan bagi kehadiran presiden di Maluku Utara.

Pada soal ini, saya kemudian berpikir bahwa mestinya harus dipahami akan perbedaan cara dalam menyambut presiden, baik yang dilakukan oleh birokrasi di Maluku Utara, politisi, akademisi, maupun aktivis. Perbedaan-perbedaan cara dalam menyambut itu pun, harus dipahami sebagai hak atau kebebasan orang.

Kalau-kalau para politisi dan birokrasi di Maluku Utara lebih memilih untuk mengangkat tangan yang bertanda hormat, maka aktivis pun punya cara untuk berteriak melalui corong perjuangan dalam menyuarakan berbagai problematika sosial yang terjadi di Maluku Utara.

Karena itu, jika cara menyambut yang dilakukan oleh para aktivis di Maluku Utara dibatasi oleh aparat keamanan, maka menandakan bahwa Indonesia khususnya di wilayah Utara Maluku, masih terjadi krisis Hak Asasi Manusia (HAM).

Hak Asasi Manusia atau HAM, merupakan suatu perwujudan dari demokrasi. Nah, Indonesia yang notabenenya adalah negara demokrasi, harus menjunjung HAM. Karena itu, telah diatur dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998, tentang; “kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum”.

Terkait hal kebebasan, Aristoteles telah mengemukakan pendapatnya, bahwa demokrasi adalah kebebasan setiap warga negara untuk saling berbagi kekuasaan. Demokrasi menurut Aristoteles, ialah suatu kebebasan atau prinsip demokrasi. Hal Ini karena hanya melalui kebebasanlah setiap warga negara bisa saling berbagi kekuasaan didalam negaranya (dilansir : Liputan6, 3 Mei 2021).

Pikiran Aristoteles diatas, memberi makna penting sebagaimana arti dari demokrasi itu sendiri, yakni; dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Maka jika ada yang membatasi pendapat atau pikiran untuk disampaikan kepada kekuasaan, maka sesungguhnya hal itu adalah bentuk upayah untuk mematikan nilai dari demokrasi. Bukankah, Indonesia adalah negara demokrasi?

Matinya Demokrasi di Maluku Utara

Sebagai negara demokrasi, Indonesia meski banyak berbenah dalam melihat berbagai dinamika sosial yang justru membungkam akan hidupnya demokrasi itu. Hari ini dengan berbagai realitas sosial yang tengah dialami masyarakat Indonesia, boleh dikatakan bahwa Indonesia krisis demokrasi.

Dalam bukunya Ben Bland seorang peneliti dari Lowy Institute yang berjudul : Man of Contradiction: Joko Widodo and the Struggle to Remake Indonesia, ia menyebutkan bahwa, selama singgasana berada ditangan Jokowi, hak berbicara dan hak-hak masyarakat minoritas telah terkikis.

Pernyaataan ini berdasarkan hasil riset dari The Economist Intelligence pada 2019, Indeks demokrasi Indonesia memiliki skor 6,48 dalam skala 0-10. Angka ini kalah dari negara-negara tetangga, semisalnya Malasya dengan indeks demokrasi berada pada 7,16% , Timor Leste 7,29% dan Filipina 6,64% (dilansir dari media : Pinterpolitik.com, 2019).

Di Maluku Utara, demokrasi ibarat tanaman bunga yang ditanam di tengah-tengah semak duri, sehingga sulit bertumbuh subur dan berkembang. Khususnya, demokrasi dalam hal menyampaikan pendapat di depan umum. Ada berbagai tindakan yang dilakukan oleh aparat keamanan, kepada sekumpulan mahasiswa yang bersuara akan problem bangsa di Maluku Utara, justru dihentikan dengan cara yang tidak wajar.

Kebiasaan mematikan hak berpendapat ini, jauh sebelum berulang kali presiden berkunjung di Maluku Utara. Mungkin hal ini merupakan turunan dari wajah pemerintahan  tingkat pusat, sebagaimana apa yang disampaikan oleh Ben Bland, bahwa demokrasi berpendapat sungguh terkikis pada singgasana yang dipegang oleh Joko Widodo. Saya kemudian berulang kali menyebutkan, bahwa soal ini adalah upayah keras dari kekuasaan untuk mematikan nilai demokrasi di Indonesia, khusus Maluku Utara.

Belum lama ini, masyarakat di Maluku Utara, khususnya di Halmahera Utara dikejutkan dengan peristiwa “polisi aniaya mahasiswa”. Dimana diduga seorang mahasiswa yang dianiaya membuat stori di facebook yang gambarnya seorang oknum polisi sedang memegang anjing pelacak pada saat aksi penolakan Bahan Bakar Minyak (BBM) beberapa waktu lalu. Hal itu lantas ada ketersinggungan dari beberapa oknum polisi entah apa alasannya, lalu hendak menangkap mahasiswa tersebut dan dianiaya hingga pingsan.

Tidak hanya itu, sejumlah mahasiswa di Kota Ternate pula ditangkap Polisi karena melakukan aksi penolakan kenaikan harga BBM. Serta masih banyak kisah pilu lainnya di Maluku Utara tentang ada upayah-upayah dalam mematikan nilai demokrasi. Lantas ada pertanyaan yang muncul dari realitas hari ini, bagaimana jika nilai demokrasi telah mati? Akankah ada harapan tentang demokrasi itu bisa hidup kembali? Menggelisahkan, namun ini adalah kenyataan bukan mimpi.

Kembali lagi pada kehadiran presiden Joko Widodo. Sebelum hadirnya presiden di Maluku Utara, penertiban tegas telah dilakukan oleh pihak keamanan, bahwa tidak ada gerakan aksi demonstran pada saat kedatangan presiden. Terlebih khusus di Halmahera Barat. Bupati sebelumnya sudah menginstruksi bahwa keamanan dan ketertiban harus dilakukan dalam menyambut kehadiran presiden. Tidak perlu ada desak-desakan dalam menyambut presiden.

Saya kemudian melihat seolah ada ketakutan besar dari pemerintah, jika ada yang hendak menyuarakan problem-problem sosial di Maluku Utara yang masih menggerogoti tatanan hidup masyarakat. Apalagi, Maluku Utara baru saja mendapatkan penghargaan sebagai propinsi yang paling bahagia.

Tapi nyatanya masih ada desakan publik terlebih khusus mahasiswa yang ingin bersuara. Hal ini juga mungkin menjadi alasan, jangan ada gerakan aksi demonstran. Atau karena yang datang adalah presiden? Pokoknya, semakin membingunkan, mengapa ada larangan gerakan demonstran dalam menyambut presiden di Maluku Utara.

Padahal, pemerintah mestinya berterima kasih kepada mahasiswa dan memberikan kebebasan kepada mereka yang mau menyambut presiden dengan cara demonstran untuk menyampaikan aspirasi yang mungkin akan membantu, untuk mewujudkan Maluku Utara benar-benar adalah salah satu propinsi di Indonesia yang paling bahagia.

Karena hanya dengan demikian, menurut Aristoteles bahwa demokrasi atau pun kebebasan berpendapat sebagai sarana pembentukan masyarakat dengan peluang yang besar untuk memperoleh kebahagiaan. Semoga dengan catatan ini, menjadi pelajaran penting dalam kita berevaluasi tentang nilai-nilai demokrasi di Indonesia secara umum dan khususnya di Maluku Utara.

Selamat Datang Presiden Republik Indonesia, di Negeri Moloku Kieraha!