Oleh: Naufandi Hadyan Saleh
Mahasiswa IAIN Ternate
Himpunan Mahasiswa Islam yang masyhur dengan sapaan HMI merupakan organisasi mahasiswa islam terbesar di Indonesia. HMI lahir pada tanggal 5 Februari tahun 1947 atau bertepatan dengan tanggal 14 Robbiul Awal 1366 H. HMI lahir dari rahim sebuah negeri yang sedang berada pada fase kebangkitan pasca kemerdekaannya di tahun 1945. Tak membutuhkan waktu yang lama, terhitung dua tahun setelah kemerdekaan Indonesia nama HMI pertama kali dikumandangkan oleh 14 orang mahasiswa islam tepatnya di kota yang diistimewakan negara, Yogyakarta. Jarak yang singkat pasca kemerdekaan menyebabkan HMI dilahirkan di tengah-tengah kondisi dan situasi yang belum seratus persen kondusif. Situasi mencekam, genjatan senjata sekaligus genjatan pemikiran menjadi hal yang tak bisa ditepiskan lagi pada saat itu.
Aktor utama dibalik lahirnya HMI adalah sosok yang bernama Lafran Pane, entah apa yang merasuki dirinya sehingga mau mendirikan HMI. Di beberapa referensi kita mungkin akan menemukan lahirnya HMI dilandaskan karena tiga faktor: Problem kemahasiswaan, problem keIndonesiaan, dan problem keislaman atau secara langsung bisa kita artikan dengan keresahan seorang Lafran Pane. Hal ini mengindikasikan bahwa ada suatu keinginan yang terpatri dari lubuk hati seorang Lafran Pane agar se-segera mungkin dapat terealisasikan demi merubah suatu tatanan realitas yang tidak sejalan dengan penglihatannya.
Pada dasarnya apa yang dipraktik-kan Lafran Pane adalah salah satu upaya dalam mewujudkan jati dirinya sebagai insan terbaik. Dalam kacamata religiusitas dinyatakan bahwa manusia terbaik adalah manusia yang mampu menghadirkan manfaat bagi banyak orang. Menurut Paulo Freire, manusia terbaik adalah manusia yang mampu berintegrasi dengan lingkungan bukan manusia yang mampu beradaptasi dengan lingkungan. Kemampuan berintegrasi dengan lingkungan menjadikan seseorang mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan ditambah kekuatan berpikir kritis untuk menentukan pilihannya sendiri. Sikap kritis yang dimiliki oleh manusia yang berintegrasi dengan lingkungan menghantarkannya pada sikap-sikap yang menginginkan adanya perubahahan terhadap realitas.
Hadirnya HMI ditengah-tengah masyarakat Indonesia merupakan upaya dari pemenuhan Basic Demand (Permintaan Dasar) bangsa Indonesia pasca kemerdekaannya di tahun 1945 silam. Kebutuhan dasar dari bangsa Indonesia sendiri terbagi menjadi tiga periode.
Periode yang pertama adalah Periode Penjajahan pada periode ini terjadi bentuk perbudakan, intimidasi, dan penyengsaraan yang terjadi di negara Indonesia yang berimbas pada sikap pesimisme sebagian besar masyarakat Indonesia untuk memeluk kemerdekaan. Masyarakat Indonesia pada waktu itu kehilangan idealisme untuk merdeka sebagai wujud dari pemenuhan hak asasinya. Oleh karena-nya dibutuhkan sosok-sosok pemimpin yang mampu menyadarkan rakyat betapa pentingnya suatu bangsa untuk dapat memperoleh kemerdekaan.
Periode yang kedua adalah Periode Revolusi pada periode ini negara Indonesia berhasil mencapai keinginan luhur-nya yakni memeluk kemerdekaan. Sebagai bangsa yang baru merdeka langkah yang paling relevan untuk diimplementasikan adalah membangun serta memperkokoh persatuan masyarakat Indonesia dalam mobilitas yang besar guna untuk merawat dan mempererat bangsa. Untuk itu dibutuhkan sosok-sosok pemimpin bertipikal Solidarity Maker.
Periode yang ketiga adalah Periode Membangun pada periode ini bangsa Indonesia dipaksa untuk bisa menentukan arah serta cita-citanya sendiri. Periode membangun yang dimaksud adalah periode mengisi kemerderkaan pasca dijajah. Dalam upaya merealisasikan cita-cita serta idealismenya hal terpenting dan mendasar dari periode pembangunan nasional adalah pembangunan kualitas pengetahuan dari setiap masyarakatnya. Sebab ilmu pengetahuan menjadi tongkat awal dalam memperbaiki kualitas manusia.
Pada periode membangun ini memperbaiki kualitas intelektual anak bangsa menjadi salah satu titik fokus utamanya. Hal ini ditambah dengan kenyataan yang menyebutkan bahwa bangsa Indonesia sangat kekurangan para tenaga intelektual yang mampu balance terhadap pemenuhan tugas duniawi maupun ukhrawi-nya. Sehingga memungkiri kebutuhan tenaga intelektual yang mampu seimbang dalam dua tugas suci tersebut dalam jumlah yang besar di masa yang akan datang.
Untuk itu jawaban atas permintaan dasar bangsa Indonesia adalah terwujudnya kualitas masyarakat insan cita sebagaimana yang ditawarkan HMI. Kualitas masyarakat insan cita sendiri termaktub jelas dalam pasal 4 anggaran dasar HMI.
Saat ini HMI terus berbenah ditengah-tengah arus pembangunan nasional. Salah satu langkah konkret yang coba ditawarkan HMI pada periode membangun adalah dengan senantiasa menghadirkan ruang-ruang intelektual dimanapun HMI berada. Kajian-kajian di sudut kampus, dialog di ruang publik hingga diskusi pada media zoom menjadi deretan bukti betapa HMI menjadi salah satu ruang yang paling ideal dalam menambah serta memperluas wawasan keilmuan.
Penjabaran diatas merupakan bagian dari karakteristik HMI yang senantiasa hidup dengan ruang-ruang intelektual yang tumbuh subur layaknya tumbuhan setelah diguyuri air hujan. Hal tersebut dapat mengundang decak kagum ketika melihat kecerdasan para kader yang mampu masif dalam melayangkan gugatan serta pandangannya terhadap problem kebangsaan. Memang begitu salah satu bentuk kepeduliaan kader HMI terhadap Indonesia.
Tak berlebihan jika hari ini HMI mampu menjelma dan berorientasi sebagai pusat kajian keilmuan. Tuntutan menjadi seorang yang senantiasa memperdalam sisi ke-rohaniawan serta keilmuannya menjadi hal yang tak dapat ditawar ketika menjadi seorang kader HMI. Pada diskursus-diskursus yang diangkat oleh HMI akhir-akhir ini, barangkali kasus yang paling hangat untuk diangkat adalah bahaya oligarki terhadap bangsa Indonesia. Dibeberapa kesempatan acap kali ditemukan perdebatan dan adu gagasan yang dilahirkan oleh kader-kader HMI tentang problem kebangsaan yang satu ini.
Secara etimologi oligarki sendiri berasal dari bahasa Yunani, yaitu Oligon yang berarti sedikit dan Arkho yang berarti memerintah. Sehingga dalam istilahnya oligarki sendiri merupakan praktik pemerintahan yang dikuasai oleh sekelompok elit yang mempunyai modal berupa kekayaan, keluarga, maupun militer. Adapun orang yang menjalankan praktik oligarki disebut dengan oligar.
Begitu menjalarnya praktik oligarki pada bangsa Indonesia menjadi perhatian khusus HMI, tak ayal problem ini menjadi isu hangat dan selalu menarik untuk diangkat dibeberapa kesempatan diskusi maupun dialog. Oligarki sendiri merupakan sebuah praktik pemerintahan klasik. Secara historikal oligarki sendiri pertama kali hadir di negara Yunani yang kemudian menjalar hingga ke Afrika. Kini oligarki telah mampu menjalar hingga ke bangsa Indonesia. Pada negara yang sistem pemerintahannya menganut sistem “ Demokrasi” lantas tidak menjadikan Indonesia lolos dari jeratan ataupun praktik oligarki. Kini oligarki bukan lagi menjadi hal yang tabuh melainkan telah menjelma sebagai rahasia umum.
Jeffrey Winters pernah mengatakan, dinamika politik pemerintahan Indonesia hingga kini masih dikuasai oleh para oligar (elit) dengan kepentingan kekuasaan. Pada kenyataannya memang dalam politik praktis seperti sekarang sulit untuk meyakini adanya kesuksesan sebuah konstalasi politik tanpa adanya kekuatan ekonomi. Sebab perlu diketahui ekonomi menjadi urat nadi keberhasilan politik. Hal tersebut yang kemudian dikenal dengan “Ijon Politik”.
Ijon Politik sendiri merupakan sebuah praktik politik yang dilakukan untuk sebuah kepentingan politik dengan catatan melibatkan seorang oligar (pemodal) untuk memuluskan seseorang dalam konstalasi politiknya yang memungkiri adanya timbal balik dalam keuntungan.
Ijon Politik menjadi realitas kondisi dan keadaan per-politikkan bangsa Indonesia. Rasa-rasanya terlalu jauh untuk menyoal kapan dan bagaimana oligarki mampu hilang dari Indonesia sedangkan berani bermimpi kesuksesan politik tanpa adanya Ijon Politik saja sulit.
Timbul sebuah sikap skeptisisme yang mengganggu benak sudahkah kita berani jujur pada nurani jika benar HMI hari ini menentang adanya oligarki apakah dapat dibuktikkan HMI benar-benar bersih dari praktik oligarki? Sulit untuk jujur pada nurani sebab realitasnya mengatakan tidak. Praktis tersebut menjalar dari kalangan atas sampai kalangan bawah yang mulai terbiasa dan menganggap merupakan sebuah tuntutan praktik oligarki hadir sebagai upaya memuluskan kepentingan-kepentingan politik mereka. Terlalu naif untuk mengatakan HMI mengangkat diskursus “Bahaya dan Ancaman Oligarki Hari Ini” dalam upaya membaca dan mencegahnya sedangkan pada waktu yang bersamaan praktik oligar masih menjamur pada tubuh HMI.
Bukan rahasia umum lagi, dalam perhelatan perebutan kunci menjadi seorang ketua umum mulai dari tingkatan terendah hingga pada tingkatan tertinggi memerlukan adanya konsolidasi politik yang mengharuskan hadirnya praktik Ijon Politik didalamnya. Itu kenapa bukan menjadi hal yang berlebihan kala tulisan ini hadir dengan judul Haram yang dihalalkan HMI. Sejatinya oligarki menjadi hal yang begitu diharamkan HMI justru memutar haluan menjadi sesuatu yang harus dihalalkan HMI.
Adanya konstruk berfikir yang harus diperbaiki sekalipun ini dianggap gila. Jika hari ini HMI menyoal bahaya serta ancaman oligarki bagi bangsa Indonesia, maka hal pertama yang harus dituntaskan adalah hilangnya praktik oligarki pada tubuh HMI. Itu dulu yang harus dimulai, sebab perubahan besar selalu berangkat dari perubahan kecil.
Membangun kesadaran dari setiap kader HMI adalah separuh dari tahapan menuju revolusi. Maka hal pertama yang harus dirubah adalah konstruk berfikir bagi setiap kader HMI. Perubahan konstruk berfikir dapat termanifestasikan lewat proses perkaderan yang total dan dibarengi dengan niat yang lurus serta idealisme yang kokoh. Oligarki pada dasarnya adalah hasrat kekuasaan. Oleh karenanya, dalam rangka menghilangkan praktik oligarki dibutuhkan pengembalian prinsip dasar (perbaikan moral).
Perubahan konstruk berfikir serta pengembalian prinsip dasar dapat diwujudkan dengan sesegera mungkin merevolusi akhlak dengan penguatan nilai-nilai keislaman secara komprehensif. Sebab satu hal yang pasti militansi HMI hanya bisa terwujud jika setiap kader telah mampu menginternalisasi nilai-nilai keislaman pada setiap gerak dan langkahnya menjadi seorang kader HMI. (*)