TERNATE, NUANSA – Perbincangan seputar Ibu Kota Sofifi kian menggema setelah Presiden Joko Widodo mengaku belum menerima kajian terkait dengan pembangunan dan hal lain soal Sofifi. Presiden menegaskan itu saat melakukan kunjungan kerja di Maluku Utara pekan lalu. Pernyataan orang nomor satu di Indonesia itu menimbulkan multi tafsir di banyak kalangan.
Pihak tertentu menduga kalau Pemprov Maluku Utara tidak serius mengurus pengembangan pembangunan dan pemekaran Sofifi. Pihak lain menyebut bahwa pemerintah pusat lah yang setengah hati merespons usulan dari daerah. Sekarang, animo agar Sofifi dimekarkan, terbilang begitu kuat. Selain Pemprov yang kabarnya sudah menyiapkan kajian teknis, para akademisi dan praktisi juga berencana menggelar musyawarah besar yang arahnya membahas Sofifi.
Merespons masalah tersebut, dua akademisi Unkhair angkat bicara. Mereka adalah Dr Azis Hasyim, dosen Fakultas Ekonomi pembangunan dan Abdul Kadir Bubu, dosen Fakultas Hukum. Menurut Abdul Kadir Bubu, jika gerakan yang dibangun di daerah adalah pemekaran reguler, setidaknya fokus pada syarat wajib, yakni rekomendasi Pemerintah Kota (Pemkot) Tidore Kepulauan (Tikep). Rekomendasi Kesultanan Tidore juga tentu penting untuk didapatkan. “Rekomendasi Kesultanan ini walaupun tidak wajib, tetapi penting, karena Sofifi masuk wilayah Kesultanan. Tanpa ini, jangan berharap pemekaran akan terwujud,” jelasnya.
Kadir Bubu mengatakan, tidak ada regulasi yang menjamin Ibukota Provinsi secara otomatis dimekarkan. Ia menyarankan Gubernur dan Forkopimda untuk menggelar pertemuan membahas agenda negosiasi dengan Pemkot dan DPRD Tikep. “Lihat saja pernyataan Presiden dan Menteri Luhut. Mereka katakan, daerah harus membahas secara utuh dan tuntas dulu. Daerah yang dimaksud adalah Pemprov dan Pemkot Tikep. Jadi, saya sarankan kita fokus pada substansi saja dulu, kalau mau gerakan ini berhasil,” tuturnya berharap.
Azis Hasyim menambahkan, tanpa rekomendasi Pemkot dan DPRD Tikep, Pemprov dan DPRD Provinsi tidak bisa berbuat apa-apa. Informasinya Pemkot Tikep masih mempertimbangkan dengan alasan ekonomi dan kultural. Dosen Ekonomi Pembangunan ini menjelaskan, Tikep tidak akan merugi dari sisi anggaran jika melepas Oba. “APBD Tikep sekarang sekira Rp 862 miliar, termasuk PAD Rp 32 miliar. Sekarang begini, anggap saja Rp 32 miliar itu hilang karena Oba lepas, kemudian DAU hampir Rp 400 miliar. Kalau Oba lepas, maka sebut saja Rp 200 miliar hilang, maka APBD Tikep yang tersisa Rp 630 miliar. Dengan APBD sebesar itu untuk membiayai Pulau Tidore, Maitara dan Mare. Bagi saya, dengan APBD Rp 630 miliar masih sangat cukup,” jelasnya.
Ia juga menyarankan semua pihak untuk fokus pada syarat wajib, yakni rekomendasi Pemkot Tikep. Gubernur harus membangun komunikasi dan koordinasi yang baik ke semua unsur yang dianggap penting, termasuk Pemkot Tikep. Karena tanpa itu semua pemekaran tidak akan terwujud. “Harus dibahas juga soal pembiayaan selama lima tahun kalau Sofifi sudah otonom. Apakah dibiayai Pemkot Tikep, Pemprov atau pemerintah pusat. Ini juga sangat penting,” ujarnya.
Masih menurut Azis, sejauh ini perjuangan daerah terhadap Sofifi terbilang masih kabur, apakah pemekaran reguler atau fokus pada percepatan pembangunan. “Satu hal yang mesti kita tahu bahwa sebuah Ibukota Provinsi tidak otomatis dimekarkan. Lain halnya kalau kita fokus pada percepatan pembangunan. Informasinya kajian teknis sudah sampai ke pusat. Jika masih harus dikoreksi, maka siapkan yang mantap, kemudian pemerintah akan keluarkan regulasinya. Kalau percepatan pembangunan terlasana, maka cepat atau lambat Sofifi akan jadi sebuah kota,” tutupnya menjelaskan. (rii)