Agus SB
(pengajar [tetap] antropologi IAIN Ternate)
Sore di hari itu, Rabu 28 Sept. 2022 lalu, di bawah siraman hujan gerimis yang mulai lebat, mengenakan mantel hujan saya tumpangi ojek meninggalkan kampus IAIN Ternate yang mulai sepi. Di jalan raya, di utara kota pulau ini, puluhan pengendara sepeda motor tergopoh berhenti, berteduh di bawah pohon atau di emperan depan rumah dan atau kios pinggiran jalan raya. Terasa menggelikan saat menatap mereka satu satu karena teringat pada pepatah “siapkan payung sebelum hujan” (saya tambangkan “dan panas”). Hujan dan pemandangan itu saya tuliskan, dan menyimpannya dalam smartphone, dengan judul seperti di atas. Catatan ini seperti mencambuk saya untuk melanjutkannya; menyelami dan meluaskannya, di ruang datar ini.
Pepatah itu tampak bersahaja. Ditempatkan dalam konteks fenomena pemanasan bumi, perubahan iklim global dan akibat-akibat ikutannya saat ini, pepatah itu dapat dimaknai secara konotatif, melampaui sekadar sebuah pepatah, melampaui sekadar arti harfiah dari kata-kata; “sediakan”, “payung”, “sebelum”, “hujan”, dan “panas”. Pepatah itu adalah wisdom, kearifan untuk bagaimana seharusnya manusia merencanakan dan menjalani kehidupannya di masa kini, dan untuk kehidupan keturunan mereka di masa depan. Wisdom yang sejauh ini, tampaknya, tak pernah dilirik pada saat “kearifan budaya lokal” disebut-sebut, dicari-cari, untuk ditemukan guna berbagai keperluan praktis, termasuk untuk melambatkan laju atau memulihkan kerusakan lingkungan alam. Barangkali saja, karena yang dikira “budaya lokal” adalah yang sungguh-sungguh sebuah tradisi turun temurun, autentik, keaslian.
Anggapan di atas ada tepat atau benarnya, Namun, mengabaikan fakta dimana beragam kelompok sukubangsa dan budaya-budayanya di Maluku Utara sejak berabad-abad lampau hingga kini telah bersentuhan dengan “dunia luar”. Sekurangnya sejak saat kedatangan bangsa-bangsa Eropa Barat di Maluku Utara. Artinya, pepatah “sediakan payung sebelum hujan dan panas” telah cukup lama– entah sejak kapan– dan lazim kita dengar. Tak hanya beredar secara lisan pada masyarakat di Maluku Utara. Di antara kita, barangkali, pernah mendengar atau membacanya di sebuah buku ajar sekolah dasar, sebuah buku teks atau majalah; juga mungkin pernah mendengarnya dalam percakapan di daerah lain dari Maluku Utara. Singkatnya, sangat mungkin pepatah itu tidak lahir atau berasal dari masyarakat di Maluku Utara, tetapi entah bagaimana, entah dengan cara apa, kemudian menjadi bagian dari pengetahuan kita sehingga kadangkala kita menyebut-nyebutnya. Telah menjadi milik sendiri.
Pepatah itu, meskipun telah menjadi bagian dari pengetahuan kita di Maluku Utara, namun perlu dicermati ‘apakah’ dan ‘bagaimana’ ia digunakan secara sadar sebagai prinsip hidup yang rasional, yang membentuk cara berpikir, membentuk imajinasi kita, dalam merencanakan dan menjalani kehidupan saat ini, sambil mengantisipasi kehidupan di masa depan. Termasuk bagaimana menyusun strategi dan arah pembangunan daerah di Maluku Utara dalam kaitannya dengan fenomena pemanasan bumi, perubahan iklim dan dampak ikutannya. Di antara dampak pemanasan bumi tersebut terjadinya perubahan iklim seperti durasi hujan yang lama atau sebaliknya kemarau berkepanjangan dengan dampak ikutannya yang buruk, meningkatnya permukaan air laut (Hantoro, 2020:39). Semua itu mengepung dan mengkerangkeng segala aspek kehidupan spesies manusia, pulau-pulau sedang dan kecil, flora dan fauna ke dalam kerentanan (vulnerability). Ini dapat terjadi dalam bidang produksi pangan, merosotnya keanekaragaman hayati yang penting bagi ekosistem lingkungan maupun bagi kebutuhan manusia, merongrong kehidupan ekonomi, dan munculnya berbagai gangguan kesehatan manusia.
Dalam wacana ilmiah, “pemanasan bumi” telah ditulis oleh Jean Baptiste Joseph Fourer di surat kabar “Milwaukee Sentinel and Wisconsin Farmer”, 4 Desember 1841 (Kompas, 14 Des.2007:15). Fenomena itu telah memaksa negara-negara di dunia, di bawah PBB, berulangkali menggelar konferensi perubahan iklim. Konferensi ini pertamakali digelar pada tahun 1979, melahirkan Deklarasi yang mengajak pemerintah di seluruh dunia untuk mengantisipasinya. Tahun 2000, PBB melaksanakan konferensi Geosfer-Biosfer Internasional, sebuah forum untuk penelitian Sistem Bumi, bertempat di Cuernava, Meksiko. Dalam konferensi itu, ahli kimia atmosfer dan penerima nobel dari Jerman, Paul Crutzen, mengemukakan pendapat bahwa kita saat ini hidup pada zaman anthropocene, sebuah epos geologi (Schwägerl, 2014:p.8-10). Sebuah zaman dimana kekuatan manusia menandingi kekuatan alam, yang menentukan kelangsungan hidup bumi. Manusia menjadi kekuatan geofisika global (Steffen, Crutzen, dan McNeill, 2007: p. 614: Anna Tsing, Swanson, Gan, & Bubandt, 2017:pp.G1-G13)). Kemudian, pada tahun 2015, dalam Sidang Umum PBB disepakati penyusunan Agenda 2030 yang dikenal sebagai Sustainable Development Goals (SDGs), ditujukan untuk menjaga peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat secara berkesinambungan, menjaga keberlanjutan kehidupan sosial masyarakat, menjaga kualitas lingkungan hidup serta pembangunan yang inklusif dan terlaksananya tata kelola yang mampu menjaga peningkatan kualitas kehidupan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Pada dasarnya SDGs bukanlah semata “tujuan” pembangunan, tetapi rangkaian azas atau prinsip perencanaan dan pelaksanaan pembangunan pada berbagai tingkatan dan sektor yang dibayangkan ‘berkelanjutan’ hingga bergenerasi-generasi spesis manusia dan elemen lain dalam eksositem lingkungan alam di masa depan. Prinsip itu, dengan perkataan lain, adalah prinsip “sediakan payung sebelum hujan dan panas”. Kata “sediakan” adalah merencanakan, “payung” adalah strategi, “hujan” dan “panas” adalah dampak-dampak dari pemanasan global. Sebuah prinsip antisipatif yang rasional, yang idealnya mendasari dan membentuk berbagai strategi pembangunan yang dirancang pemerintah di satu pihak, dan, di lain pihak, strategi budaya masyarakat dalam membangun kehidupannya pada masa kini dan untuk generasi mereka di masa depan.
Kata “strategi” dari kata Latin “strategos” yang akar katanya “stratos”, berarti ‘komandan tentara melakukan operasi perang’. Pada dasarnya ‘strategi’ bersandar pada pertimbangan tentang bukti faktual dan pandangan prospektif yang mencakup elemen ‘pendekatan’ (approach) dan ‘antisipasi’ (anticipation). ‘Pendekatan’ berkaitan dengan pembentukan tentara dan sarana yang digunakan dalam strategi militer sehingga membutuhkan pengetahuan lengkap mengenai bukti faktual. ‘Antisipasi’ terutama berkaitan dengan perkiraan reaksi yang memerlukan sebuah ramalan, pengetahuan tentang dan pengujian mengenai beragam skenario agar ahli strategi dapat mengakomodir beragam kemungkinan dan reaksi-reaksi yang mungkin (“Islamic Educational, Scientific and Cultural Organization” – ISESCO, 1997:33-34). Dalam konteks pembangunan, ‘strategi’ yang dirancang dibangun di atas fakta pemanasan bumi dan akibat-akibatnya yang kini lazim dirasakan, diarahkan pada tujuan “sustainabilitas” di masa depan. Apakah spesis manusia bersama elemen ekosistem alam dapat survive, ataukah sebaliknya, justeru strategi pembangunan yang rabun fakta alam itu tidak lain dari merencanakan kepunahan bersama alam. Segala retorika politik pembangunan dengan kata atau jargon magis “kemajuan” (progress) mesti dilupakan, jika “kemajuan” yang dimaksudkan tanpa memiliki sebuah tujuan yang jelas.
Pertanyaan terpenting saat ini yang harus dijawab; seberapa kuat dan bertahan daya resiliensi kita dalam berbagai aspek kehidupan dan lingkungan alam yang menghidupi kita selama ini, yang dengan itu kita dapat survive dan kehidupan ini berjalan berkelanjutan hingga generasi manusia berikut? Sebagai manusia yang memiliki akalbudi, barangkali memikirkan pentingnya metafora dari Elizabeth Dodson Gray (dalam D.C Korten & Sjahrir, 1988: 99), “…seperti para pelaut dan mereka yang merancang perahu dan layar, yang menaruh perhatian pada bagaimana angin bertiup, bagaimana gelombang bergerak, bagaimana jalannya pasang surut, agar tahu bagaimana berlayar sebaik-baiknya dengan perahu itu, dengan layar itu, dan dengan unsur-unsurnya”. Demikianlah, “sediakan payung sebelum hujan dan panas” adalah bagaimana menghadapi ‘angin ribut’, ‘gelombang yang bergerak’, ‘pasang naik dan turun’, dan dapat menyusun rencana rasional sehingga perahu bumi ini tidak makin rusak. Agar kita tak seperti kiasan dari Aldous Huxley, memilih hidup seperti benalu yang melakukan bunuh diri dengan membunuh pohon di mana ia menumpang hidup (The Politics of Ecology: The Question of Survival”, 1974, dalam Baskara T. Wardaya [penyuting], 2003:123-137). Demikianlah, pun harus siapkan payung sebelum hujan dan panas, termasuk mantel anti air, agar melenggang dengan elok di jalan raya saat diguyur hujan yang tak lagi punya jadwal tetap atau pasti. K.M 03/10/22, dinihari. (*)