Oleh: Amrul Doturu
Menjelang tahun politik 2024 (Pemilu) dan Pilkada (Pilgub-Pilbub), kini orang-orang sudah ramai mewacakan pesta demokrasi tersebut. Menariknya, perbincangan itu tidak hanya pengamat politik, politisi, birokrasi, akademisi, praktisi, tetapi juga kalangan masyarakat. Perbincangan ini pun tidak hanya di ruang-ruang kedai kopi, tapi di berbagai tempat dan aktivitas. Memang tidak heran jika perbincangan politik menjadi pembahasan dalam kehidupan politik hari ini. Tentu ini bukan sesuatu yang mengherankan, sebab kehidupan masyarakat dan politik adalah satu kesatuan yang tidak dapat dilepas pisahkan.
Bagai satu mata rantai yang menyatu bersama-sama. Karena memang sejatinya politik ialah pekerjaan manusia (masyarakat). Dalam tulisan ini, saya tidak akan menguraikan secara runut dan eksplisit mengenai “politik identitas no dan politik pluralisme yes”. Tulisan ini hanyalah sebuah catatan kaki yang berangkat dari pengalaman saya dalam melihat dinamika politik kekinian. Dengan pemahaman dan pemikiran sederhana. Tanpa mengutip referensi-referensi (buku), juga pendekatan regulasi. Saya menghindari mengutip referensi agar tidak salah dalam menerjemahkan pemikiran orang ke dalam catatan ini. Begitu juga dalam menguraikan tentang pengertian-pengertian mengenai politik identitas dan polituk pluralisme. Tetapi saya akan menguraikannya pada penggalan pengalaman dengan berangkat pada sejarah singkat Pilkada Maluku Utara dalam versi saya. Satu hal menarik jika berbicara Maluku Utara. Maluku Utara adalah salah satu dari sekian provinsi di Indonesia. Di dalamnya terdapat 10 kabupaten/kota. Maluku Utara juga disebut sebagai Moloku Kie Raha (empat kesultanan). Ternate, Tidore, Jailolo, dan Bacan. Beragam suku adat, agama dan budaya, mendiami di dalamnya sejak bertahun-tahun lamanya. Ia menajdi ciri khas Maluku Utara.
Adat istiadat, sopan santun, hormat menghormati, toleransi, adalah budaya masyarakat Maluku Utara. Menjadi keniscayaan dan nikmat yang diberikan oleh Tuhan. Sebagaimana dalam kutipan Firman Allah: “Maka nikmat Tuhanmu yang mana lagi kau dustakan” (Qs. Ar-Rahman:13). Tentu Ayat di atas menggambarkan betapa besar nikmat yang diberikan oleh Allah kepada masyarakat Maluku Utara dalam kehidupan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa. Maka nikmat inilah yang harus dijaga dan dipegang oleh seluruh masyarakat.
Balik kepada topik di atas. Politik identitas bukanlah hal baru dan mengesankan bagi kita. Sebab seiring dengan tahun politik, dinamika politik, politik identitas tumbuh dalam kehidupan masyarakatnya. Lagi-lagi hal ini tidak bisa dipungkiri karena masyarakat Maluku Utara dengan latar belakang suku, agama, budaya, dan adat yang berbeda-beda. Tetapi ini bukan menjadi dalil sebagai sutu keharusan untuk dijadikan sebagai alat politik. Suku, agama, budaya, dan adat haruslah diletakkan ke dalam tafsirannya yang sesungguhnya. Artinya, berbeda suku bukan suatu alat politik yang mengancam perbedaan, menciptakan kesenjangan di tengah-tengah perbedaan, tetapi ia sebagai perekat dari perbedaan itu dan di kelola menjadi rahmat dan nikmat Tuhan. Begitu juga agama, budaya, dan adat. Haruslah dijewantahkan menjadi perbedaan yang ada sebagai mestinya.
Bukan menjadi sesuatu yang di takut-takutkan. Agama menuntun kita menuju pada kedamaian hati, kedamaian antar umat beragama. Dengan menghormati setiap budaya dan adat istiadat. Dalam sejarah politik Maluku Utara, pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur sejak tahun 2013 sampai dengan 2018 lalu. Politik identitas tergambar jelas ke permukaan dengan kehadiran figurfigur dengan latar belakang suku dan agama yang berbeda-beda. Narasi-narasi perbedaan suku dan agama didengung-dengungkan sampai ke pelosok desa. Seolah-olah mendalilkan bahwa sosok atau figur tersebut adalah yang terbaik. Yang mewakili suatu golongan atau suku dan agama. Yang akan membawa keadilan dan kedamaian bagi masyarakatnya. Orasi kampanye yang berapi-api di atas
panggung, terus di suarakan bahwa jangan memilih si A atau si B, karena ia bukanlah berasal dari suku atau golongan kita. Gelombang sekat satu sama lain antar dukungan tidak terbendung lagi.
Maka terjadilah polarisasi di tengah-tengah kehidupan masyarakat, dengan sistem politik identitas yang kental. Hal itu mengingatkan kita sebagai peristiwa kelam penuh konflik antar masyarakat. Yang menghilangkan keberagaman dan kehangatan berwarga negara.
Hal ini juga terjadi dalam setiap pemilihan Bupati dan Wakil Bupati di daerah-daerah. Politik identitas begitu kuat terasa dalam kehidupan perpolitik Maluku Utara. Konsep politik dibangun dengan landasan identitas. Yang menuntun masyarakat harus bersekat-sekat. Tidak peduli apa konsep dan gagasan dari calon pemimpinnya. Terpenting adalah calon yang didukung harus menang. Betapa melukai perasaan kita sebagai anak suku bangsa yang telah hidup bertahun-tahun dengan nilai-nilai adat istiadat, toleransi, budaya, rasa menghormati satu sama lain. Politik identitas telah memisahkan kebersamaan dan menciptakan ruang kesenjangan sosial di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat.
Hal lain yang mendasari ialah sosok atau figur. Kita bisa melihat dari setiap periode ke periode. Dari setiap pilkada ke pilkada. Figur yang tidak punya kemampuan dan gagasan, akan cenderung menggunakan narasi politik identitas. Hal ini bisa di lacak pada setiap gelaran politik. Menggunakan identitas politik sebagai kekuatan agar menggapai tujuannya. Di satu sisi, pendidikan politik gagasan kerap tidak merepresentasikan pada problem dan kebutuhan masyarakat. Hal itu dikarenakan kemampuan seorang figur hanya melihat politik sebatas suku atau golongan. Padahal pendidikan politik kepada masysrakat sangat penting untuk di terapkan. Hal ini berguna untuk membawa masyarakat dari politik pragmatis menuju politik yang rasional, dengan menghindari politik identitas. Narasi-narasi politik yang dibangun adalah politik kemanusiaan. Meletakkan politik pada ruh dan esensinya sebagai suatu pekerjaan yang mulia, dengan membatasi dominasi identitas.
Politik Pluralisme adalah serangkaian kegiatan berpolitik dalam suatu pesta demokrasi dengan melihat keberagaman dan kamejemukan antar warga negara, antar anak suku bangsa tanpa membeda-bedakan suatu identitas suku, agama, atau suatu golongan. Hal ini sebagai upaya terciptanya sebuah sistem perpolitikan yang baik, selaras dengan nilai-nilai keberagaman di dalam kehidupan masyarakat. Politik seringkali orang menganggap sebagai pekerjaan kotor, karena di dalamnya banyak hal-hal terjadi seperti politik uang (money politik). Cara-cara yang tidak wajar sering terjadi dalam kegiatan politik. Padahal sekali lagi bila politik di letakkan pada kaidah-kaidah demokrasi, jujur, adil, transparan, dan terbuka, maka kita akan menemukan satu perubahan mendasar dari persoalan masyarakat. Karena prinsipnya kerja politik adalah pekerjaan mulia yang beriorentasi pasa kemanusiaan. Artinya akhir dari politik ialah melayani masyarakat dan memberikan kesejahteraan dan keadilan. Kata pluralisme sendiri mengandung arti keberagaman atau kemajemukan.
Keberagaman masyarakat Maluku Utara telah ada sejak dulu. Dengan latar belakang suku, agama, budaya, adat istiadat yang berbeda. Yang di kelola sebagai satu kesatuan kebersamaan tanpa membeda-bedakan. Politik pluralisme bukan hal baru yang patut didiskusikan. Tetapi penting untuk diterapkan ke dalam kehidupan perpolitik kita. Tujuannya merawat kebersamaan dalam keberagaman agar tidak terpolarisasinya suatu masyarakat. Dalam pemahaman sederhan saya, politik pluralisme hadir untuk menghindari politik identitas dan polarisasi. Tak kala penting juga adalah peran seorang figur yang hendak maju bertarung pada pemilu dan pilkada mendatang. Kita berharap munculnya para kontestan nanti di panggung politik memberikan warna baru. Percakapan politik di tengah-tengah kehidupan masyarakat plural, akan membawa dampak positif bagi perpolitikan kita. Figur yang memiliki kemampuan intelektualitas, mampu melihat jauh kedepan tentang pembangunan. Begitu juga pada level daerah. Sebab jika berangkat pada sejarah pilkada maupun pemilu kita tingkat provinsi dan kabupaten/kota, betapa besarnya gelombang polarisasi masyarakat. Hal ini tentu menjadi catatan dan ikhitar agar tidak terulang kembali.
Gagasan dan konsep seorang pemimpin sangat penting diharapkan untuk menjadi frekuensi pembangunan. Gagasan dan konsep tentang Maluku Utara sebagai provinsi yang memiliki kekayaan dari semua aspek. Maka kecerdasan seorang figur harus diuji. Pendidikan karakter masyarakat dalam setiap momentum politik terus di lakukan dengan fokus pada pendidikan karakter politik bagi seorang figur. Kita tidak bisa menghindari bahwasannya pendidikan politik tidak hanya dilakukan kepada masyarakat tetapi juga kepada seorang figur. Karena hal ini sering kita temukan betapa pentingnya pendidikan politik yang edukatif bagi seorang figur. Sehingga hal ini tidak berdampak terhadap masyarakat.
Politik pluralisme suatu gagasan menarik untuk di terapkan dalam sebuah sistem politik. Dengan berlandaskan pada prinsip-prinsip pluralisme dan asas persatuan. Meski di sadari sulit diwujudkan bukan berarti gagasan itu tidak ada. Dengan berbagai dinamika politik identitas yang semakin mengakar. Tentu hal itu membutuhkan semangat keberagaman antar anak suku bangsa untuk terus menerus membicarakan politik pluralisme. Kita tidak menolak politik identitas di tengah-tengah kehidupan sebagai suatu sistem yang buruk, namun politik pluralisme juga penting diterapkan. Poin terpenting dari politik identitas dapat kita lihat dan rasakan pada setiap ajang politik, yang mengakibatkan keakraban sesama anak suku bangsa hilang. (*)