Oleh: Amrul Doturu
Hiruk pikuk politik penuh intrik kian mewarnai percakapan publik. Satu persatu mulai menawarkan diri menjadi kontestan dipanggung yang sensasi. Partai politik menjadi bagian terpenting sebagai kendaraan menyongsong perjalanan yang lika liku penuh terjal. Berharap di sana ada segudang harapan ingin dicapai. Entah dengan cara apa pun, bagaimananya tak peduli terpenting kekuasaan dapat digenggam.
Penggalan syair di atas hanyalah satu realitas politik dari sekian dinamika yang terekam ke dalam kehidupan masyarakat. Percakapan politik menjadi sentral issue kekinian di ucapkan berulang-ulang kali. Meski tahun politik masih dua tahun berlangsung, mesin partai dan figur-figur sudah ramai mensosialisasikan diri di dalam kehidupan perpolitikan. Tak kalah juga etalase politik Nasional semakin kencang mempengaruhi stabilitas kehidupan masyarakat desa. Di dapur hingga teras rumah, wacana politik makin terasa di bicarakan. Meski belum tahu sosok atau figur mana yang bakal berkontestan nanti, namun wacana politik telah menaruh impatinya sendiri.
Tulisan ini mengulas gaya berpolitik seorang politisi dalam perspektif politik panjat pinang dengan pendekatan pada ucapan, janji, perilaku dan perbuatan dari seorang politisi. Jika kita berpikir sedikit radikal kita akan menemukan sosok politisi semacam itu dengan melihat rekam jejaknya. Dulunya bicara apa, janji apa, dan hari ini ia berbuat apa dan seterusnya. Gaya atau perilaku politisi panjat pinang mudah untuk di lacak sebagai cara untuk menerangkan ke dalam percakapan politik. Hal ini bukan berarti sebagai penegasan atau penolakan atas perbuatan baik lainnya dengan melihat sebagian perilaku buruknya. Tetapi dalam psikologi publik yang tergambar adalah demikian.
Politik panjat pinang hanyalah sebuah teori tentang panjat pinang yang menerangkan bagaimana perjuangan suatu kelompok yang ingin mencapai tujuan. Untuk sampai ke tujuan tersebut seseorang harus menginjak puluhan punggung yang menyediakan dia naik ke atas demi mencapai tujuannya. Setelah ia sampai di ujung pinang dan telah di genggam tujuan itu ia tidak lagi melihat kebawah. Begitulah politik panjat pinang yang kerap kita lihat pada sosok politisi-politisi sekarang. Apakah baik politik panjat pinang? Tentu jawabannya tidak serta merta di terangkan ke dalam percapakan publik terutama sosok pemimpin. Karena kita butuh satu tolak ukur yang komprehensif dengan menggunakan nalar kritis sebagai basic intelektualitas dengan menghindari prespektif subjektifitas.
Tetapi bisa di katakan politik panjat pinang itu baik bila setelahnya kepentingan politik di manifestasikan pada pemenuhan kebutuhan yang merata. Mengedepankan kepentinganorang banyak di atas kepentingan kelompok atau diri sendiri. Maka dalam pandangan ini politik panjat pinang bisa di bilang baik secara moral publik karena nilai kemanusiaannya ada di sana. Di sisi lain politik panjat pinang bisa di sebut buruk dalam pemaknaannya seperti yang diuraikan sebelumnya di atas. Keburukan politik panjat pinang tercermin pada perilaku sosok pemimpin. Perilaku yang menimbulkan hilangnya kepercayaan publik akibat dari perilakunya sendiri. Dalam kerangka politik panjat pinang, sangat berpotensi terciptanya distorsi hubungan sosial antara pemimpin dan masyarakat, individu dan suatu kelompok.
Sering kita dengar ungkapan-ungkapan seperti manis di bibir, janji hanya tinggal janji, pemberi harapan palsu, dll yang di alamatkan kepada sosok politisi (pemimpin) mengindikasikan yang bersangkutan tidak dapat memenuhi janji politiknya sebagai pertanggungjawaban dia. Atau pula dalam syair lagu Nostalgia Masa Berpacaran ciptaan Ona Sutra, “habis manis sepah kau buang”, begitu kepercayaan masyarakat ia dapat, lalu melupakan begitu saja dengan mudah. Agama mengajarkan manusia (pemimpin) berbuat baik (hanif), berlaku adil dan bijaksana tanpa membeda-bedakan. Agama sendiri hadir memberikan petunjuk bagi manusia untuk berbuat baik satu sama lain (harmonis).
Tolong menolong dalam kebaikan bagian dari peribadatan manusia kepada Tuhan. Maka politik sejatinya cenderung pada kebaikan-kebaikan seperti yang di katakan Gus Dur (cendikiawan muslim), akhir dari sebuah politik itu adalah kemanusiaa. Gus Dur menempatkan nilai-nilai kemanusiaan di atas segala-galanya dalam politik. Politik bagi Gus dur ialah pekerjaan mulia yang termanifestasi dalam nilai-nilai kebaikan bagi manusia lain. Sejalan dengan itu peran agama menjadi penting sebagai ikhtiar manusia untuk memainkan politik dalam kehidupan kebangsaan dan kehidupan politik. Bukan sebaliknya agama dijadikan simbol meraih kekuasaan dengan menghalalkan segala cara yang tidak manusiawi.
Ayat-ayat suci A-Qur’an dan firman Tuhan dalam Al-kitab lainnya didengung-dengungkan sebagai khiasan kata-kata indah penuh syair, makna ayat-ayat pun melenceng dari substansinya. Tidak ada agama yang mengajarkan keburukan pada manusia. Maka dalam politik panjat pinang etika dan moral penting dimiliki oleh seorang politisi atau pemimpin. Sebab etika dan moral adalah cerminan perilaku yang mengandung nilai kebaikan sebagai fitrah manusia (suci). Manusia sendiri di sebut suci dalam ciptaan-Nya karena ia berbeda dari mahluk ciptaan Tuhan lainnya. Untuk menjadi manusia yang sempurna maka tentu ia harus sanggup menerima segala bentuk ujian dari Tuhan sebagai dasar perjanjian ia dengan Tuhan nya. Peradaban politik Indonesia hari-hari ini menjelaskan peradaban manusia era modern saat ini. Konflik kepentingan politik merambah hingga konflik antar manusia. Suku, agama, ras, kehilangan semangat kebhinnekaan dalam falsafah pancasila. Moral dan etika bukan lagi sebagai perilaku baik yang memfasilitasi nilai kemanusiaan. Sangat memprihatinkan bila kecerdasan intelektual pemimpin tidak didorong dengan kecerdasan spritual yang pada akhirnya menjadi binatang buas yang menerkam manusia lain. (*)