Oleh: Basri Amin
Ia adalah seorang Rektor! Tapi ia demikian sedih. Seorang rektor yang hebat. Tapi, dengan marwah jabatan yang disandangnya, ia tak bisa berbuat apa-apa. Ia memikul tragedi sejarah yang luar biasa. Moralnya guncang. Akal sehatnya hilir-mudik tanpa pegangan.
Di hadapannya adalah kekisruhan yang tak jelas ujung-pangkalnya. Antara kawan dan lawan, semuanya tak memberi kepastian. Yang pahlawan dan yang pencundang hadir bersamaan hilir-mudik dengan wajah-wajah menggoda, tepat di depan matanya. Semuanya dengan aroma dendam, penuh cemas. Semuanya dibalut oleh topeng intriknya masing-masing.
Kebesaran bangsanya pun tak lagi berbekas. Gemuruh di langit terasa badai yang menerjang. Kabar-kabar simpang-siur. Begitulah yang terjadi. Semua hadir-bergulat “dalam diri”nya. Tak terkira besar dukanya…Badannya beberapa kali terkulai. Ia demikian sulit bisa bicara. Trauma besar tengah menimpanya. Gempuran anti-akal sehat baru saja menghancurkan kampusnya. Kekerasan atas nalar dan nurani telah menjadikan universitas sebagai korban pertamanya.
Rektor itu seperti tak kuasa melihat kenyataan buruk. Meski dia masih kuat datang melihat puing-puing kampusnya yang hancur, tapi di sanalah sebuah kata demikian sulit dan berat dia ucapkan: bibliothèque. Berulangkali dia coba, tapi huruf awal kata itu pun tak kuasa dia sambungkan di lidahnya, La bib…”. Dia kemudian merebahkan kepalanya di meja, tanpa kata-kata, dengan jiwa yang hampa…Perpustakaan universitasnya hancur. Tigaratus ribu buku dan lebih dari seribu manuskrip dunia hangus dalam sekejap. Termasuk statuta (asli) berdirinya universitas itu.
Itulah yang terjadi dengan Monseigneur de Becker, Rektor Universitas Louvain di Brussels, ketika Jerman baru saja menginvasi Belgia pada Perang Dunia Pertama (Agustus 1914). Tahun 1928, perpustakaan Louvain dibangun kembali, tapi sayangnya, ia kembali dibombardir pada Perang Dunia Kedua (Mei 1940). Rektor de Becker ini sedih bukan karena kehilangan jabatan atau karena tak berhasil menyabet jabatan baru. Dan ia pun sepertinya jauh dari tabiat mencari harta dan tahta di universitasnya. Rektor ini sangat sedih karena kehilangan “sumber pengetahuan” dan “harta sejarah” termahal dari (peradaban) universitas yang ia bangun, impikan dan banggakan, dan menjadi amanah universal dari semua bangsa beradab. Heroisme peristiwa Rektor de Becker di atas bisa kita baca penggalannya di beberapa literatur sejarah universitas di dunia, sebagaimana dinarasikan luar biasa sebagai “prahara Agustus” oleh penulis Amerika terkenal, Barbara Tuchman (1989).
Kita bisa abaikan sejenak kisah historis di atas, tapi beberapa pesan moralnya tak bisa dihapus dalam sejarah universitas dan dunia. Dengan sederhana kita sependapat bahwa setiap masa ada orangnya, setiap orang ada masanya, dan di setiap tempat ada orang dan masanya. Tapi, “masa” itu sendiri ditempatkan sebagai apa, dihayati oleh “orang” yang bagaimana, dan untuk tingkat pencapaian seperti apa?
Dipandang dari sisi masa kini, masyarakat (ilmiah) yang sehat (di kampus) yang sehat jiwa-raganya sewajarnya mampu berkata: “universitas terlalu penting untuk (hanya) diserahkan (masa depannya) kepada seorang rektor…”. Di dunia yang kini (serba) desrupsi, kita tak lagi bisa berdiri di atas pikiran sendiri. Kesendirian, baik dalam arti individu maupun dalam arti mengelompok, bukanlah jawaban masa depan yang diandalkan. Perubahan demikian cepat melaju! Di zaman ini, personalisasi adalah tameng paling picik bagi kemajuan. Ia membenarkan penunggalan, bukan keragaman. Ia mendewakan pemusatan, bukan pemekaran. Ia menghamba secara “kedalam”, yakni pada kekuatannya sendiri –yang dirayakannya sendiri!– tapi ia mengabaikan indahnya cakrawala luas yang berada “di luar” sana. Nun jauh di sana…
Demikian pula dalam organisasi (keilmuan) bernama universitas. Sejenis pemusatan yang sudah lama tertuduh sebagai “menara gading” yang seringkali tersaksikan sebagai “kawanan akademis” bisa jadi demikian mudah lumpuh dengan tekanan sesaat bernama “periode” dan “posisi”; distingsi yang involutif antara “kami” dan “kalian”. Ia, baik dalam arti kesadaran fungsi, maupun dalam arti kesetaraan daya cipta manusiawi, tak lagi menghembuskan kesejukan-kesejukan berbahasa dan berlaku, lantaran prahara yang diciptakannya sendiri. Berulang dan berulang lagi…
Universitas terlalu penting untuk hanya diserahkan nasibnya kepada rektor…
Jika kita membaca universitas dewasa ini, setidaknya menurut perspektif Asia, terutama dalam hubungannya dengan membesarnya masyarakat ber-pengetahuan (knowledge society), sebagaimana ditulis oleh Deane Neubauer (2012), jelas sekali bahwa universitas akan sangat ditentukan oleh “ekologi sosial” dan “jejaring organisasional”nya yang terdesentralisasi. Untuk hal itu, yang dibutuhkan adalah strukturisasi modal manusia. Manusia persisten yang berperangai “jembatan” bagi setiap sumberdaya yang berserak. Ia bisa bergerak, digerakkan dan menggerakkan sekaligus. Mereka loyal dan optimis kepada agenda, bukan kepada kelompok dan keaktoran yang memusat. Individualitasnya produktif karena menjiwai nilai-nilai universitas dengan dedikasi tinggi. Mereka adalah pembelajar yang berdaya-tahan. Mereka adalah penjaga ritme iterasi dan pemacu frekuensi kerja organisasi yang berpola modern: mondial-transformatif.
Di abad ini, tuntutan kewaktuan memaksa universitas berkompetisi (di pasar) dan dituntut oleh publik agar member kontribusi perbaikan (di masyarakat). Di tingkat yang lebih makro, ia harus memproyeksi peran dirinya di arena “perdamaian dunia” dengan terlebih dahulu memelihara daya tumbuhnya sendiri yang damai secara mikro: berdamai dengan pluralitas dan berdamai dengan progresifitas.
Jika berkaca kepada bangsa-bangsa maju, sudah lama terbukti bahwa pemusatan kepada “figur sentral” semakin menurun tajam. Organisasi tergantung pada karakter tradisinya dan sistem kerjanya. Itu sebabnya, ketokohan (posisional) di kampus –dalam waktu yang sangat cepat akan bersifat simbolis, dan, tentu saja administratif. Karena itu, imajinasi dan tradisi komunikasi di lingkungan kampus hendaknya lebih didominasi oleh pikiran-pikiran yang global-dinamis, bukan yang primordial-lokal-personal –-apapun itu bentuknya!–. Di domain inilah kefiguran seorang rektor ditimbang kontribusinya.
Di kampus yang sehat dan produktif, ujian pertama bagi seorang rektor adalah apakah ia (cukup) cerdas dan artikulatif menemukan “bahasa tantangan” (bersama) dan matang untuk tidak tergiur mereproduksi “bahasan tandingan…” yang dikotomis dan jargonistis. Dengan “bahasa tantangan”, semua lalu bergerak-terdorong menemukan sejumlah jalan masuk dan pintu keluar dari setiap keadaan. Dengan “tantangan”, itu juga mengandung maksud berdaya-tahan pada peta-peta (sumberdaya) yang bergerak dan energi-energi (perubahan) yang terarah.
Rektor menjadi sesuatu yang simbolis-figuratif dan simbiosis-kolaboratif. Di balik kefigurannya tertanam harapan dan warisan sekaligus. Ia terus-menerus memikul harapan (baru) dengan mendayagunakan warisan wawasan (lama) dari kristal-kristal etos kecendekiaan dan moralitas manusia unggul yang dibela oleh civitas academica sekian abad. Sandaran idealitas seperti itulah yang melandasi “tangis” rektor de Becker di Louvain yang hingga kini (abadi) dikenang oleh sejarah dan oleh generasi-generasi hebat setelahnya.
Semua itu menjadi nyata karena kesetiaan seorang Rektor (dengan huruf “R” besar) kepada visi ilmu pengetahuan yang melintasi logika periode tertentu.
Tanpa visi ilmu pengetahuan yang jernih, pengorganisasian (kerja) di universitas hanya akan membuahkan tumpukan kertas, deretan angka-angka, “ritual tatap muka”, daftar rencana dan kegiatan, serta tumpukan gedung-gedung dan orang-orang. Tapi semua itu tak pernah (mampu) melahirkan ketokohan (rektor!) universitas yang kekar menangisi ketidakpastian masa depan anak-anak didiknya, bahkan civitas-nya. Padahal mereka tengah berwajah sendu membutuhkan pengayoman, keteladanan, pembelaan, dukungan, bahasa inspirasi, cahaya ilmu pengetahuan dan adab hidup.
Basri Amin
Penulis adalah Alumnus Universitas Sam Ratulangi, Manado
Anggota Indonesia Social Justice Network (ISJN)