Oleh: Sadli Umasangaji, S.Tr.Gz
(Founder Gizisme)
Kalau ditelisik dalam dokumen Tentang Percepatan Penurunan Stunting maka kondisional dibuat sebagai program pencegahan. Program pencegahan dalam artiannya penanggulangannya ada yang diperuntukkan pada kelompok sasaran bukan hanya balita tetapi kelompok rentan lain yakni ibu hamil, remaja putri ataupun pasangan usia subur. Titik pentingnya adalah bahwa program-program pencegahan itu yang menjadi intervensi spesifik adalah kemasan daur ulang pada program yang sebenarnya sudah ada dalam surveilans gizi. Lantas apa yang baru dan seberapa efektifkah kemasan daur ulang itu dibuat menjadi kolektif dalam isu penurunan Stunting?
Di sini sebenarnya yang menjadi kerisauan pribadi penulis karena melihat sebagian “ahli gizi” atau teman-teman rekan kerja petugas gizi yang kecenderungan menjadi latah terhadap program-program yang kemudian diberi “embel-embel” Stunting. Misalkan Aksi Gizi Pemberian Tablet Fe dan Kampanye Stunting, Pemberian PMT Bumil untuk Pencegahan Balita Stunting, semua program-program intervensi spesifik itu diberi embel-embel Stunting. Dan petugas gizi juga ikut melatahkan itu. Entah karena kondisional atau karena kebijakan. Padahal ada tidak adanya isu stunting. Program-program itu dapat berjalan secara parsial untuk penanganan masalah gizi dan bagian dari indikator kinerja Surveilans Gizi. Bahkan yang juga aneh misalkan pemberian imunisasi untuk pencegahan stunting dan embel-embel “Stunting” lainnya. Bahkan karena kelatahan itu ada “petugas gizi” yang juga bertanya rujukan “balita stunting” di Rumah Sakit. Memangnya ketika balita stunting dirujuk di Rumah Sakit, akan efektif meningkatkan tinggi atau panjang badannya? Tentu jawaban lebih mengarah pada kata tidak. Dan tentu proses penanganan stunting lebih efektif menggunakan penanganan gizi di masyarakat. Kelatahan seperti ini yang sebenarnya memberikan kecenderungan bias pada kinerja petugas gizi.
Kemasan Daur Ulang Versus Penurunan Angka Stunting
Dalam Surveilans Gizi ada Indikator Masalah Gizi dan Indikator Kinerja Program Gizi. Indikator Masalah Gizi merupakan indikator yang digunakan untuk menilai besaran masalah gizi yang terjadi di satu wilayah. Seperti Presentase Underweight, Wasting, Stunting dan lainnya. Sedangkan Indikator Kinerja Program Gizi merupakan indikator yang digunakan untuk menilai keberhasilan kinerja program gizi meliputi cakupan kegiatan termasuk program intervensi spesifik seperti pemberian makanan tambahan pada balita kurus (kurang), PMT Bumil, pemberian tablet tambah darah (zat besi) dan lainnya.
Dengan definisi dan kondisional itu, ketika bekerja sebagai petugas gizi, penulis menyadari bahwa petugas gizi sebenarnya memahami bahwa ada tidak adanya isu stunting program-program indikator kinerja gizi sebagai intervensi spesifik itu tetap bisa berjalan secara parsial tanpa harus diberi embel-embel stunting. Ini yang seharusnya menjadi bahan kritikan dari ahli gizi dan petugas gizi. Mengapa program-program intervensi stunting hanya berbasis pencegahan dan kelihatan kemasan daur ulang? Dan seberapa efektifkah itu?
Pada hasil SSGI tahun 2021 misalkan tersirat logika data yang berbanding terbalik, program-program pencegahan pada beberapa provinsi memiliki nilai yang tinggi akan tetapi data stunting juga tinggi. Walaupun perbandingannya tentu harus beririsan pada data beberapa tahun yang lalu untuk program indikator kinerja dan hasil data stunting saat ini. Sebagai gambaran bahwa program-program indikator kinerja gizi yang maksimal memberikan efek terhadap penurunan angka stunting. Tapi kondisional yang terlihat orang-orang sibuk membicarakan penurunan angka stunting secara temporal pada kondisi-kondisi saat ini atau melalui survei tahunan kemudian mengukur data atau penurunan datanya.
Secara nasional misalkan data-data determinan pada hasil SSGI 2021 sebagai Indikator Kinerja Program Gizi cenderung sesuai stagnan dan belum sesuai dengan target capaian. Misalkan IMD tahun 2018 58.2% dan tahun 2021 48.6%, ASI Eksklusif 2018 64.5% dan 2021 52.5%, Ibu Hamil dapat TTD 2021 90.4% sedangkan data stunting secara nasional mengalami penurunan dari 27.7% pada tahun 2019 menjadi 24.4% pada tahun 2021.
Kemudian dielaborasi dalam setiap provinsi misalkan ada beberapa yang logika data yang berbanding terbalik seperti Proporsi ASI Eksklusif misalkan pada NTT dan NTB misalkan mencapai angka tertinggi 72.4% dan 75.9% sedangkan angka stunting tertinggi juga terjadi pada NTT, begitu juga pada beberapa program pencegahan lainnya. Walaupun ini tidak serta merta dapat disandingkan tapi ini untuk menggambar logika yang rasional. Apa yang menjadi pencegahan dan faktor determinan pada penurunan angka stunting? Sedangkan program-program penanggulangan dalam Strategi Nasional Percepatan Penurunan Stunting meliputi program intervensi spesifik semisal itu. Data determinan untuk Maluku Utara menggambarkan Ibu Hamil dapat TTD 95.9%, bayi IMD 50.6%, ASI Eksklusif 50.9%, pemberian Vitamin A 76.4% sedangkan data stunting mengalami penurunan dari 29.1% menjadi 27.5%.
Alternatif Lain dan Fokus Peningkatan Indikator Kinerja Program
Program-program dalam Indikator Kinerja Program Gizi itu sebenarnya ada tidak adanya isu stunting tetap bisa berjalan dalam Surveilans Gizi, mengapa isu stunting dalam penanggaran tidak dispesifikan kepada titik fokus penanganan stunting secara langsung? Kondisional yang terlihat adalah pengulangan pengambilan data oleh instansi lain yang turut serta menangani masalah stunting. Masih berkisar pada surveilans keluarga berisiko Stunting dan audit kasus Stunting. Yang terkesan tumpang tindih pengambilan data. Selain itu, beberapa daerah lokus stunting pun hanya diberikan ruang untuk pendanaan misalkan pembelian pembekalan gizi yang sebenarnya ada atau tidak ada isu stunting pendanaan pembekalan gizi seperti vitamin A, tablet fe dan lainnya itu ada dalam penganggaran Instalasi Farmasi.
Sementara Strategi Nasional Percepatan Penurunan sendiri bertujuan untuk menurunkan prevalensi Stuntiing, meningkatkan kualitas penyiapan kehidupan berkeluarga, menjamin pemenuhan asupan gizi, memperbaiki pola asuh, meningkatkan akses dan mutu pelayanan kesehatan, dan meningkatkan akses air minum dan sanitasi. Perlu digaris bawahi menjamin pemenuhan asupan gizi, bagaimana realisasi ditingkat lapangan misalkan?
Kalau demikian mengapa tidak dimaksimalkan dengan kebijakan seperti pemenuhan ketersediaan instrumen atau alat ukur seperti lenghtboard untuk baduta dan mikrotoise untuk balita sebagai ketersediaan alat deteksi dini pada balita untuk indikator tinggi atau panjang badan menurut umur pada tingkat posyandu atau desa, memaksimalkan penyegaran kader posyandu untuk pengukuran tinggi balita atau panjang badan, memilah data gabungan untuk penentuan intervensi misalkan balita pendek yang gizi kurang (BB/TB) dan berat badan kurang (BB/U) apa intervensi yang diberikan, balita pendek yang gizi normal (BB/TB) apa intervensi yang diberikan, penentuan Hari Makan Anak sebagai bentuk intervensi pemberian makanan tambahan yang spesifik untuk baduta atau balita stunting, penentuan makanan tambahan atau selingan yang disusun sebagai resep PMT lokal dengan unsur tinggi protein, tinggi kalsium misalnya kemudian menjadi makanan tambahan dengan pemberian sesuai HMA.
Berikutnya seharusnya diperkuat data yang dilakukan petugas gizi melalui ePPGBM ketimbang survei semisal SSGI. ePPGBM bisa menjadi repsentasi data murni karena bersifat populasi sedang survei bersifat sampel. Karena kecenderungan saat ini data survei lebih dijadikan patokan kebijakan ketimbang data populasi dari petugas. Penguatan data yang dilakukan petugas harusnya lebih dapat dipercaya.
Kondisional lain misalkan sebagaimana logika data SSGI di atas bahwa kemasan daur ulang secara kolektif adalah harapan pada 5 atau 10 tahun baru dapat mengharapkan hasil angka penurunan stunting tapi bila harapan penurunan angka stunting dilihat setiap tahun serta indikator kinerja program dalam setiap tahun dan masih cenderung menimbulkan logika terbalik. Harusnya fokus utama adalah pada peningkatan indikator kinerja program yang menjadi prioritas bukan disibukkan melihat penurunan indikator masalah gizi termasuk penurunan angka stunting. Karena bisa jadi penurunan angka stunting sebenarnya adalah kondisional alamiah dari individu-individu dari masyarakat itu sendiri yakni pertumbuhan alamiah balita dan kondisional pemahaman dan pola asuh ibu balita itu sendiri. (*)