TERNATE, NUANSA – Dugaan pemotongan tambangan penghasilan pegawai (TTP) tenaga medis di Rumah Sakit (RS) Chasan Boesoirie Ternate yang sementara ini diusut penyidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) Maluku Utara dan diaudit Inspektorat, disorot akademisi. Kali ini giliran dosen Fakultas Hukum Unkhair, Abdul Kadir Bubu yang angkat bicara.
Dade, sapaan akrab Abdul Kadir Bubu menuturkan, dugaan kasus TTP tenaga medis RS Chasan Boesoirie yang sekarang sedang didalami Kejati dan Inspektorat Pemprov Maluku Utara, harus dipandang sebagai urusan bersama, tidak boleh dilihat sebagai masalah intenal RSUD semata, seperti yang disampaikan Sekretaris Provinsi (Sekprov) Provinsi Maluku Utara, Samsudin A. Kadir. Sekalipun masalah dugaan pemotongan TTP terjadi di RSUD, tetapi bukan tidak mungkin berpotensi mengganggu kepentingan umum. Pasalnya, ada ancaman yang nyata dari segenap tenaga medis untuk melakukan mogok massal, jika TTP yang menjadi hak mereka tidak ditangani dengan baik pihak menagemen RSUD. “Karena kasus ini terjadi di lembaga hukum publik, maka pada kesempatan ini saya akan memberi alur untuk memberi dasar penilaian apakah tindakan pemotongan itu berdasar atau tidak,” ujarnya.
Ia menjelaskan, dalam hukum administrasi negara yang merupakan norma penuntun tindakan hukum pejabat publik, suatu tindakan jabatan selalu didahului dengan penormaan yang merupakan prinsip dasar keabsahan tindakan. Dalam kaitannya dengan masalah TTP, pertanyaan mendasar yang mesti diterangkan oleh Inspektorat yang saat ini sedang melakukan pendalaman dan juga Direktur RSUD adalah apakah tindakan pemotongan TTP tenaga medis RSUD sebelumnya telah dilakukan penormaan atau tidak. Jika ada pemotongan, apa bentuk penormaannya, kapan norma itu berlaku dan bagaimana daya ikat dari norma itu?. “ Jawaban atas pertanyaan ini penting, karena berkonsekuensi terhadap seluruh tindakan hukum Direktur RSUD beserta managemennya yang diklaim oleh Direktur RSUD sudah berdasar. Sementara bagi tenaga medis, tindakan pemotongan sama sekali tidak berdasar,” terangnya.
Abdul Kadir Bubu menuturkan, sangat penting mengetahui seperti apa bentuk penormaannya, karena berkaitan dengan pejabat yang berwenang melakukan penormaan dan keabsahan dari norma itu, yang betuknya dapat berupa peraturan (Regelling) atau keputusan (Beschikking). Selanjutnya, penting pula mengetahui kapan norma itu berlaku, karena berkaitan dengan daya ikat dari norma tersebut. Dalam hukum administrasi negara, norma selalu berlaku prospektif/berlaku kedepan sejak norma itu dinyatakan sah berlaku dan tidak boleh retroaktif/berlaku surut. Artinya, jika berlaku suatu norma, maka hal yang diatur adalah yang bakal terjadi dan dilakukan kedepan. Dalam konteks ini, jika dikaitkan dengan tindakan pemotongan TTP tenaga medis dengan alasan pendapatan RSUD berkurang yang sebelumnya didahului dengan penormaan berupa peraturan atau keputusan (bentuknya harus jelas tidak boleh atas dasar pembicaraan), maka tindakan itu sah menurut hukum.
Akan tetapi, jika terjadi sebaliknya yakni belum ada penormaan, baru sebatas usulan, namun tidakan pemotongan TTP sudah dilakukan, maka hal itu terang benderang melawan hukum dan berkualifikasi sebagai korupsi. Adapun ketelambatan pembayaran TTP tahun sebelumnya tidak ada alasan bagi managemen RSUD untuk tidak membayar oleh karena TTP tahun ini sempat dibayar tiga bulan pada awal tahun, meskipun ada pemotongan. Permasalahan morma ini juga merupakan parameter utama mengukur kesungguhan Inspektorat dan Kejati dalam melakukan pendalaman kasus itu.
Masih menurut Abdul Kadir Bubu, buruknya manajerial RSUD yang menimbulkan peristiwa keterlambatan pembayaran TTP dan pemotongan TTP serta permaslahan kerugian dan tungggakan pajak di RSUD, merupakan peristiwa akut dan selalu berulang dari tahun ke-tahun. Karena itu, Inspetorat harus jujur mengungkap semua masalah ini, tidak boleh lagi berada di ruang temaram sebagaimana biasanya. Dengan demikian, permasalahan tersebut tidak lagi menjadi masalah bawaan tahun mendatang. Apapun temuan Inspektorat nanti, baik segudang maupun segunung masalah, tidak akan berarti apapun untuk pembenahan managemen RSUD Chasan Boesoirie kedepan, jika tidak disertai dengan rekomendasi pemberhentian Direktur RSUD beserta jajaran. “Kata kunci untuk mengungkap semua permasalahan RSUD adalah Gubernur segera memberhentikan Direktur RSUD beserta jajarannya dan mengangkat pejabat baru, guna menata kembali managemen pengelolaan RSUD kearah yang lebih baik. Karena tanpa langkah itu, mustahil melakukan pembenahan apalagi berharap ada untung,” tutupnya menegaskan. (tan)