Opini  

Gegap Gempita dalam Pusaran Pilkades Serentak

Tanwin Fataha.

Oleh: Tanwin Fataha
Jurnalis

_____

SABAN tahun, lazimnya di 10 November ini Indonesia kerap memperingati Hari Pahlawan Nasional. Kilas balik sejarah pendahulu kian digelorakan, sembari mengajak kita untuk berkontemplasi dan menapaktilasi perjuangan para pahlawan yang gugur di medan pertempuran melawan tentara sekutu.

Di November 2022 ini pula bertepatan dengan pemilihan kepala desa (pilkades) serentak, khususnya di Kabupaten Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara. Karena itu, melalui momentum ini kita diajak untuk melawan kecurangan terkait praktik politik uang dari oknum-oknum yang sengaja menodai demokrasi di tingkat desa. Sebab, dari ruang lingkup inilah integritas kita dipertaruhkan. Musuh kita bukan lagi tentara sekutu, karena jika bersilang pendapat dan berbeda pandangan terhadap calon kepala desa yang diusung, maka sanak saudara, karib kerabat, handai tolan bahkan bestie sekalipun akan ada perang mulut jika tidak seirama.

Meski pilkades merupakan demokrasi di level paling bawah, tetapi tidak menutup kemungkinan memiliki potensi gesekan kisruh yang cukup tinggi. Karena itu, obrolan di kedai kopi maupun lewat gawai mesti berhati-hati, jangan sampai menyinggung dan menyakiti kandidat pilihan tetangga lantaran baper yang berlebihan. Itulah sebabnya, kontestasi politik yang sesungguhnya berada di tingkat desa, karena para kandidat sudah dikenal oleh masyarakat di ruang lingkup desa tersebut.

Gegap gempita dalam mewarnai pesta demokrasi itu sudah terasa sejak beberapa kandidat mulai unjuk gigi belakangan ini. Ingar-ingar percakapan di belantara gawai sudah mewarnai dinding media sosial, baik Facebook maupun WhatsApp. Kedua aplikasi itu pun seakan tak absen bersaing dengan percakapan Piala Dunia 2022 di Qatar yang juga dihelat bulan ini.

Sebenarnya Indonesia saat ini sedang berupaya sekuat tenaga membangun demokrasi yang sehat. Ingin rasanya praktik memberi dan menerima sesuatu dari peserta pilkades itu hilang seutuhnya. Sayangnya, tak ada lembaga khusus yang mengontrol dan mengawasi hal-hal yang bisa menodai demokrasi di desa. Selain itu, tidak sedikit orang yang merisaukan hal semacam ini, apalagi praktik politik uang di Pilkades meningkat eskalasinya jelang coblosan. Namun, kebenaranya tak berani saya pastikan karena tidak terverifikasi.

Semoga hal semacam ini tidak terjadi. Karena sebagai masyarakat awam, saya tentu prihatin bilamana praktik jual beli suara memang benar adanya. Ini tentu sangat disayangkan, karena saat proses demokrasi pemilihan pemimpin desa ini tiba, lazimnya seakan dianggap permisif. Regulasi atau peraturan yang ada juga kelihatannya tidak begitu detail membatasi kandidat kepala desa untuk menyerang dengan pemberian.

Terkait itu, untuk pemilihan kepala desa khususnya pemberian selama masa kampanye, saya tidak menemukan adanya tata cara seseorang atau kelompok untuk melapor, ataukah hal-hal semacam ini baru bisa diproses bilamana ditemukan tangan oleh Panitia Pemilihan Tingkat Desa atau PPTD. Tak disebutkan pula, ke mana perkara ini akan diajukan proses hukumnya secara detail. Untuk sampai pada terbukti itu seperti apa mekanismenya.

Puncak dari gelaran pilkades serentak akan berakhir dengan meninggalkan eforia bagi pihak yang menang, sedangkan rivalnya yang kalah akan nampak nelangsa dan acap kali tidak legawa, padahal dalam ajang pertarungan demokrasi yang sehat pasti ada kalah dan menang. Itu karena sudah merupakan sebuah keniscayaan.

Di dalam ruang lingkup desa, masyarakat tidak hanya berpartisipasi dalam pilkades, tetapi juga terlibat dan berperan aktif dalam memperjuangkan hak-haknya sebagai warga negara yang baik. Karena itu, misi dalam mengejawantahkan desa yang mandiri dan sejahtera harus didukung dan ditopang oleh seorang pemimpin atau kepala desa yang mampu memahami karakteristik desa, terutama mengembalikan integritas dihadapan masyarakat desa setempat.

Kalaulah berniat untuk menjadi kepala desa, seyogianya menjaga masyarakat dengan baik, serta ikhlas dan tulus dalam mengayomi. Sebab melakoni sebuah pekerjaan sebagai otoritasnya, memang semua itu bermula dari panggilan hati untuk memperbaiki dan menata kembali kebutuhan masyarakat di desa. Selain itu, seorang kepala desa juga harus mampu membangun interaksi komunikasi yang baik secara vertikal dan horizontal dihadapan masyarakat.

Pada akhirnya, siapa pun yang kelak didapuk sebagai kepala desa, semoga tetap amanah dan memperjuangkan kemaslahatan orang banyak. Dengan begitu, seorang kepala desa akan dikenang sebagai sosok yang berjasa selama memimpin desa, karena telah meninggalkan jejak kesan yang baik, sehingga menabur cahaya di antara bintang-gemintang dalam menerangi kegelapan di sebuah desa tempat ia memimpin. (*)

Selamat bertarung…!