2 Juta Hektare Daratan Sudah Dikuasai Korporasi, Warga Malut Terancam Bahaya

Peta Maluku Utara

TERNATE, NUANSA – Luas wilayah Maluku Utara (Malut) sekira 3,2 juta haktare, dimana 2,5 juta haktare adalah hutan. Tragisnya, Hutan Maluku Utara yang seluas 2,5 juta haktare itu, hampir sebagian besar sudah dicaplok oleh korporasi perusahaan pertambangan, Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH), industry monokultur sawit dan lainnya. Ini disampaikan Julfikar Sangaji, salah satu anggota Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Maluku Utara saat menggelar aksi belum lama ini.

“Melihat kondisi ini, tentu saja rakyat Maluku Utara hidup dalam bayang-bayang kehancuran ekologi. Hutan sebagai kesatuan ekosistem kehidupan dan dipercaya sebagai perisai bencana ekologis telah gundul menyisahkan kubangan. Pemicu kehilangan hutan adalah tambang, sawit dan industri kayu. Namun korporasi itu tidak akan membabat hutan apabila tidak ada “stempel legal” yang diberikan pemerintah,” tegasnya menuturkan.

Menurut Julfikar, dalang utama kehancuran daratan Maluku Utara ialah Pemerintah. Di sisi lain, kehancuran di sektor darat erat hubungannya dengan laut, yang mana terancam limbah tambang. Hal ini tentu membuat nelayan semakin sulit untuk mendapat ikan saat melaut, belum lagi diperparah dengan krisis iklim  yang membuat desa-desa pesisir harus tenggelam perlahan waktu.

Di Halmahera Selatan, kata dia, rakyat di Obi terus menyaksikan setiap waktu pohon-pohon ditumbangkan dan tanahnya dikeruk oleh PT Harita Group, serta korporasi ekstraktif lainnya dan di Gane, semenanjung selatan pulau Halmahera, hamparan hutan primer bahkan wilayah kelola rakyat harus kolaps dibabat habis kemudian ditukar dengan satu jenis tanaman sawit oleh PT Gelora Mandiri Membangun anak Usaha PT Korea Indonesia (Korindo) Group.

“Tidak luput juga hingga Halmahera Timur pohon pun ditebang tanpa jeda mengikuti pengerukan tanah yang begitu massif dilakukan oleh puluhan korporasi Nikel. Puluhan tambang nikel itu kemudian menyuplai material tanahnya ke PT IWIP (perusahaan asal Tiongkok-Cina). Lantas kehadiran mereka terus disebut Pemerintah sebagai solusi kesejahteraan, alih-alih mendatangkan harapan justru nestapa bagi rakyat dan lingkungan hidup,” tegas Julfikar.

Ia menjelaskan, fakta di lapangan juga memperlihatkan, sungai tersedimentasi tambang dengan jumlah yang banyak membuatnya berubah warna sepanjang waktu. Burung-burung juga kehilangan rumahnya, banjir menjadi langganan, bahkan orang miskin terus bertambah.

Badan Pusat statistik (BPS) Malut merilis sepanjang tiga tahun terakhir (2018-2021) Halmahera Tengah dan Halmahera Timur mengoleksi orang miskin terbanyak di Maluku Utara dengan persentase tiap tahunnya tidak kurang dari 21 ribu jiwa. Itu artinya, kebijakan mendatangkan investasi merupakan langkah fatal yang sudah dilakukan pemerintah, namun tidak kunjung diakui lantas mencabut izin usahanya kemudian mengembalikan kepada rakyat pribumi, malah sebaliknya servis terhadap korporasi adalah paling utama ketimbang urusan rakyat.

Hal itu nampak jelas saat status Proyek Strategis Nasional (PSN) sampai Objek Vital Nasional (OVN) didapatkan PT IWIP dan PT Harita dari pemerintah. “Padahal operasi kedua raksasa tambang tersebut hanya membuat kota-kota di China, Eropa, dan Amerika menjadi hijau dan ramah terhadap lingkungan sementara Maluku Utara harus menanggung kerusakan yang tiada pulih akibat itu. Dan saat ini para pemimpin negara-negara itu sedang berkumpul mengggelar Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali, dan tidak lebih pertemuan itu hanya memperparah situasi iklim,”tutupnya. (udi/rii)