Oleh: Mulkin Apal
Himpunan Pelajar Mahasiswa Kabau (HPMK)
DESA Kabau dapat dikategorikan sebagai desa tertua dan terbelakang. Kurang lebih 19 Tahun dimekarkan sebagai pusat Kecamatan Sula Besi Barat, Kabupaten Kepulauan Sula. Tentu diusia itu, sudah selayaknya mengalami pemajuan relatif baik—diantaranya infastruktur jalan, ekonomi, pendidikan dan lainnya. Faktanya, justru terbalik atau pembangunan jauh dari kata maju.
Pekerjaan yang mereka geluti diantaranya nelayan dan petani. Baik petani kopra, cengkih dan pala. Sedangkan nelayan masih kategori tradisional. Potensi tersebut belum dikelola dengan baik sehingga pendapatan mereka pun hanya untuk penuhi kebutuhan subsistensi. Hal ini dikarenakan infrastruktur jalan dan akses pasar sebagai putaran ekonomi teramat memprihatinkan.
Belum lagi harga kopra yang merupakan motor penggerak utama harganya jatuh dipasaran dan, sementara harga sembako terus bergerak naik. Akibatnya banyak masyarakat jatuh dalam kubangan kemiskinan. Begitu pun nelayan, kenaikan bahan bakar minyak (BBM) berakibat buruk pendapatan mereka.
Desa ini pun banyak sarjana dan tak ada peluang kerja akibatnya mereka hidup tanpa kepastian. Sehingga banyak memilih merantau di perkotaan untuk merubah hidup lebih baik. Adapula yang memilih bertahan di desa dan menjadi petani sebagai siasat bertahan hidup. Misalnya petani bulanan dan menanam cengkih maupun pala demi kebutuhan jangka panjang. Masyarakat desa Kabau teridentifikasi masih begitu kuat mengandalkan budaya gotong-royong sebagai usaha menjaga keberlangungan hidup.
Gotong-royong menurut, Ir. Bung Karno adalah prinsip dinamis, bahkan lebih dinamis dari kekeluargaan. Gotong-royong menggambarkan, suatu usaha bersama dan saling membantu demi kepentingan bersama. Dalam artian budaya gotong-royong dijadikan sumber kekuatan baik ekonomi dan relasi keberlangsungan hidup. Sedangkan budaya menurut Koenjtaraningrat, adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar (2015:114).
Dengan begitu, budaya gotong-royong merupakan sistem gagasan yang diciptakan melalui tindakan manusia belajar tatkala bersentuhan dengan kehidupan dan menjadi identitas kolektif. Ikatan kolektif tak semata sebagai sistem gagasan akan tetapi mendorong anggota masyarakat saling membantu satu sama lain.
Budaya gotong-royong dalam konteks masyarakat Kabau terbilang masih relatif kuat sebagai sistem tindakan. Sebenarnya bukan hanya orang Kabau, tetapi praktik gotong-royong masih berlaku di masyarakat Sula secara umum. Mereka saling membantu baik dalam upacara perkawinan, pendidikan, kematian dan lain sebagainya. Bantuan dalam bentuk tenaga kerja dan materi berupa uang serta kebutuhan lainnya untuk menekan beban suadara lainnya yang sedang dilanda kesulitan.
Bentuk pemberian ini semacam tali pengikat yang sifatnya berkesinambungan. Mereka yang menerima bantuan suatu kelak akan melakukan hal serupa untuk anggota saudara lainnya yang membantunya dan begitu seterus—seperti bola salju. Saya mengambil konteksnya di desa Kabau. Sebab, masyarakat desa Kabau hingga saat ini masih memberlakukan budaya tersebut. Sistem gagasan dan tindakan kolektif ini bila ditinjau dari sudut kemajuan, yakni teknologi digital/komunikasi informasi—maka, sistem gagasan dan tindakan kolektif ini perlu dikembangkan dalam perspektif kemajuan saat ini.
Sistem gagasan ini pun terlihat pada ritual-ritual kebudayaan seperti tarian, silat, cakalele adalah bentuk praktik-praktik budaya terus dilestarikan oleh generasi sebelumnya. Namun, dalam perkembangan dunia begitu pesat ini berbagai bentuk praktik kebudayaan makin surut dan rapuh dalam pusaran jaman. Ini bukan lagi fakta baru, sebab, cukup banyak bukti menunjukkan praktik budaya tak lagi dipelajari dan dikembangkan oleh generasi kekinian termasuk di masyarakat Kabau.
Perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan kekinian bukannya masyarakat bergerak maju baik dalam proses penciptaan, produksi dan meningkatkan kehidupan baik ekonomi, sosial-budaya dan di berbagai sektor kehidupan. Kemajuan pesat ini justru menciptakan ketundukan, penghambaan pada logika dominasi dan kekuasaan.
Logika ini dapat kita temukan dalam implementasi pembangunan oleh pemerintah daerah diantaranya mempromosikan tempat-tempat wisata untuk menarik investasi/modal besar-besaran oleh pengusaha asing misalnya Festival Tanjung Waka yang diselenggarakan pada Maret 2022 oleh Pemda Sula, Fifian Adeningsih Mus. Pada titik selubung tertentu logika kekuasaan kapital memainkan perannya dalam proses penguasaan ruang kapital yang menurut David Harvey sebagai “pengancuran ruang dalam waktu”. Di mana ruang komunal, publik (tempat wisata) diprivatisasi; dikontrol, diawasi dan dikendalikan oleh segelintir orang, penguasa dan kapital.
Fakta ini pun dapat dicermati dalam kasus agraria yakni kebijakan sertifikasi tanah di pedesaan. Lewat program pembuatan sertifikat tanah oleh dinas pertanahan merupakan bentuk penghancuran ruang budaya kolektif—dimana logika penguasa dan kapital memaksakan kehendak atas nama pembangunan. Pembangunan diselubungi ideologi liberitarian dan ini sangat kontradiktif dengan budaya masyarakat pedesaan.
Bahkan tidak berhenti sampai di situ. Sekarang ini pemerintah pusat hingga daerah dan bahkan kalangan aktivis pun gencar melakukan sosialiasi tentang digitalisasi. Kita semacam dipaksa untuk mengikuti kemajuan, tetapi tidak didukung dengan infrastruktur (digital) dan kapasitas memadai. Sehingga yang terjadi adalah menciptakan kekayaan untuk segelintir orang dan kemiskinan untuk banyak orang—budaya kolektif kemudian tenggelam dan retak pada titik ini.
Pada jaman serba maju ini, kita bahkan tak memahami batas milik publik dan privat akibatnya kita semacam kehilangan identitas diri maupun kolektif dan produktivitas. Masyarakat desa dipaksa memasuki kehidupan yang tak diketahui, dipahaminya dan mereka bahkan kehilangan jati diri. Sehingga, yang ada, adalah pemujaan pada produk relasi kuasa.
Yang diperlukan sekarang ini adalah bagaimana kita mengembangkan sistem gagasan dan tindakan kolektif, budaya komunal sebagai penyangga kehidupan bermasyarakat agar tidak terjebak dalam logika “penghancuran” tatanan sosial-budaya, ekonomi dan politik kita. Nila kemanusiaan, harkat, martabat manusia dan prinsip moral kolektif adalah substansi sebagai kebermaknaan hidup.
Adapun kehidupan nelayan dan petani seperti penjelasan di awal, yakni persoalan infrastruktur jalan, kenaikan harga BBM, sembako di satu sisi, dan sisi lain harga komoditas pertanian jatuh di pasaran. Semua ini adalah akibat pemerintah terus-menerus menerapkan ideologi pembangunan liberal dan tidak memihak pada konteks kehidupan sosial-budaya dan ekonomi masyarakat. Yang diutama adalah pertumbuhan ekonomi dan menguntung para elit lokal.
Fakta ini bisa kita cermati dari rezim ke rezim yakni Ahmad Hidayat Mus, Hendrata Thes dan saat ini di pimpin oleh Fifian Adeningsih Mus. Dari periode ke periode Kepulauan Sula di pimpin oleh orang-orang memiliki latar belakang pengusaha dan sudah barang tentu, ini akan sangat berpengaruh terhadap kebijakan pembangunan—yakni berorientasi ekonomi-politik—bisnis.
Keberangkatan bupati Sula, Fifian Adeningsih Mus di Spanyol tentu saja kaitan eratnya dengan masalah ini. Pada konteks ini pembangunan tak lagi berorientasi pada dinamika budaya kolektif—justru kepentingan penguasa dan kapital. Desa Kabau yang menurut masyarakat tempatan sebagai desa adat kelak dirombak dan tenggelam dalam budaya privatisasi. Sehingga, Mangunwijaya mengatakan pembangunan adalah penggusuran terhadap masyarakat. Dan masyarakat Kabau, Kecamatan Sula Besi Barat, adalah bagian dari orang-orang tergusur akibat pembangunan berorientasi bisnis. (*)