Oleh: Naufandi Hadyan Saleh
Mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa Arab IAIN Ternate
PERGURUAN tinggi merupakan salah satu mercusuar dan role model peradaban manusia berilmu dan beradab. Hal ini dirasa tak berlebihan saat kita berkesempatan melangkahkan kaki menuju ke sebuah kampus atau universitas. Pada ruang yang berisikan jajaran para akademisi dan intelektual (kaum pemuda) tentu menjadikan Perguruan Tinggi hadir dengan orientasi pusat pengkajian ilmu. Mata akan dimanjakan oleh pemandangan diskusi, dialog, adu argumen, uji kreativitas dsb yang menjadi ciri khasnya. Hal ini semakin memantapkan Perguruan Tinggi sebagai tempat yang paling relevan untuk mengasah kemamampuan intelektual seseorang.
Namun realitasnya kini sedikit berbalik haluan dari tempat pengkajian ilmu, berdasarkan data yang disebutkan Komnas Perempuan dalam kurung waktu dari tahun 2015 sampai tahun 2021 tercatat kurang lebih 67 kasus kekerasan yang menimpa kaum perempuan dimana 35 kasus diantaranya terjadi di Peguruan Tinggi. Hal ini menjadikan Perguruan Tinggi sebagai tempat yang paling banyak menyumbang angka kekerasan seksual yang menimpa kaum perempuan. Tentu ini menjadi tamparan keras bagi seluruh elemen yang ada didalamnya tak terkecuali para mahasiswanya. Dari data yang disebutkan juga berita yang diangkat oleh beberapa media massa salah satunya yang diangkat oleh media (IDN Times) dalam beritanya yang berjudul “Sejumlah mahasiswa UNJ mendapat perlakuan pelecehan dari dosennya.” Memuat salah satu kasus pelecehan seksual dengan korban para mahasiswi dan pelakunya adalah seorang dosen. Tentu kasus ini menjadi salah satu dari banyak-nya deretan kasus kekerasan seksual yang terjadi di Perguruan Tinggi yang sebagian besarnya dialami oleh para mahasiswi.
Kasus kekerasan seksual sendiri sudah menjadi bahan diskursus pemerintah khususnya Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) dengan mengeluarkan Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 tentang pencegahan dan penangan kasus kekerasan seksual di lingkungan Perguruan Tinggi. Dalam upaya mereflesikan Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP) yang jatuh pada tanggal 25 November 2022 penulis ingin menghadirkan tanya serta gagasan untuk menyikapi permasalahan ini. Bagaimana langkah serta upaya dari mahasiswa sebagai salah satu pihak yang diharapkan memiliki peran yang paling vital untuk menanggulangi ataupun sedikit menekan angka kekerasan seksual yang terjadi di Perguruan Tinggi? Berikut adalah beberapa upaya mahasiswa yang coba dicurahkan untuk menekan angka kekerasan seksual pada perempuan khususnya di ruang lingkup Perguruan Tinggi sekaligus dalam rangka mereflesikan Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP).
- Rutin mengadakan sosialiasi tentang kekerasan seksual
Sebagai sosok-sosok yang mengemban tanggung jawab moril, perubahan peradaban, dan juga pengontrol realitas sosial tentunya memaksa mahasiswa untuk senantiasa berada pada garda terdepan untuk memijaki setiap permasalahan yang ada. Kekerasan seksual sejatinya masih menjadi hal yang tabuh bagi kalangan masyarakat. Banyak dari kalangan masyarakat yang masih awam akan pengetahuan tentang kekerasan seksual. Sebagian masyarakat masih mengira bahwa yang dimaksud dengan kekerasan seksual adalah upaya perlakuan fisik yang dialami oleh seseorang ketika sedang mendapati hubungan seksual. Tentu ini merupakan penafsiran yang tidak salah hanya saja tidak mencakup makna kekerasan seksual secara menyeluruh.
Menurut Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) kekerasan seksual dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa jenis. Kurang lebih ada (empat) jenis kekerasan seksual diantaranya; kekerasan verbal, kekerasan non fisik, kekerasan fisik, dan kekerasan daring atau melalui teknologi informasi dan komunikasi.
Dari pembagian klasifikasi diatas dapat disimpulkan bahwa kekerasan seksual merupakan sebuah studi kasus yang cakupannya luas. Hal ini memungkiri adanya pengetahuan serta wawasan yang mendalam dalam upaya mencegah dan menanggulanginya. Seseorang yang tidak dibekali akan pengetahuan dan edukasi yang cukup bisa jadi menjadi salah satu korban kekerasan seksual tanpa sadar jikalau, ia hanya mengira bahwa kekerasan seksual hanya sebatas pada tindakan fisik semata.
Kita lihat contoh kasus pada perlakuan Catcalling, Catcalling merupakan nuansa seksual dalam ucapan, komentar, siulan, atau pujian, kadang-kadang disertai kedipan mata. Korban merasa dilecehkan, tak nyaman, terganggu, bahkan terteror. (Rainy Hutabarat). Catcalling merupakan salah satu contoh bentuk tindak kekerasan seksual berjeniskan verbal (kekerasan psikis).
Tentunya dari beberapa pemaparan diatas dapat diketahui salah satu upaya pencegahan yang bisa dilakukan oleh mahasiswa untuk menekan akan kekerasan seksual adalah dengan rutin mengadakan sosialiasi serta edukasi kepada masyarakat pada umumnya maupun antar sesama rekan mahasiswa. Hal ini bisa termanifestasikan lewat kegiatan-kegiatan pemberdayaan bersama masyarakat seperti Merdeka belajar maupun Kuliah Kerja Nyata (KKN).
- Membentuk aliansi perlindungan kekerasan seksual
Dari beberapa hasil wawancara yang dilakukan kepada korban kekerasan seksual, sebagian besar dari mereka mengatakan bahwa ada ketakutan dan tekanan yang begitu tinggi untuk bisa mengaku ataupun menyampaikan bahwa ia telah menjadi korban kekerasan seksual.
para korban yang diwawancarai adalah mereka dari kalangan mahasiswi yang rata-rata menjadi korban kekerasan seksual dari para dosennya. Tentu motifnya rata-rata hampir sama, yakni akan diancam nilai maupun kehidupan pribadinya. Miris untuk mendengar hal-hal seperti ini apalagi ini dilakukan oleh para akademisi yang tentunya diharapkan memberikan contoh dan teladan.
Pemaparan singkat diatas setidaknya menghasilkan sebuah tanya. Jikalau yang terangkat oleh media adalah deretan kasus yang hadir karena keberanian korban untuk bisa melaporkan kasus yang menimpanya, lalu bagaimana dengan mereka yang tidak memiliki keberanian untuk melaporkan apa yang dialaminya? Jelas ini menjadi satu bentuk keterpanggilan moril segenap dari para mahasiswa untuk hadir dan mengulurkan bantuan juga perlindungan kepada mereka para korban yang tidak berani speak up (angkat bicara).
Hadirnya Aliansi Perlindungan Kekerasan Seksual yang dibentuk oleh para mahasiswa jelas akan sangat membantu para korban kekerasan seksual yang ada di Perguruan Tinggi. Setidaknya para korban-korban ini akan mengetahui kemana mereka harus mengadukan apa yang mereka alami juga mereka akan mendapatkan jaminan perlindungan dari gangguan pihak manapun. Sehingga memungkiri adanya perasaan aman dan nyaman saat hendak melaporkan.
Nantinya aliansi ini juga bisa bermitra ataupun berkerja sama dengan LBH (Lembaga Bantuan Hukum), Komisi Nasional (Komnas) Perempuan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan juga Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) untuk sama-sama menanggulangi kekerasan seksual yang terjadi Perguruan Tinggi.
Dengan adanya sinergitas dan juga kerja sama yang terjalin antara mahasiswa, lembaga bantuan hukum, dan pemerintah tentu sangat membantu untuk mengidentifikasi kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi di Perguruan Tinggi.
- Aktif mengangkat berita kekerasan seksual Perguruan Tinggi di media massa.
Di era sekarang kecepatan mencari dan menerima informasi begitu masif. Manusia yang hidup zaman ini diberi kemudahan dengan hadirnya teknologi dan informasi. Jelas hadirnya teknologi dan informasi memberikan banyak sekali dampak positif bagi pekerjaan maupun kehidupan manusia. Dikutip dari data yang dikeluarkan oleh Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) Muhammad Arif, saat Indonesia Digital Outlook 2022, di The Westin, Jakarta, Sayas (9/6/2022) mengungkapkan, bahwa terdapat 77 persen penduduk Indonesia sudah mengakses internet. Hal ini membuktikan bahwa sebagian besar kehidupan manusia di era sekarang selalu membutuhkan adanya jejaring internet.
Manusia di era sekarang membutuhkan jejaring internet untuk memudahkan mereka dalam berkomunikasi, mencari informasi, dan menerima informasi. Meningkatnya jumlah penduduk Internet di Indonesia juga berimbas pada meningkatnya angka pengguna media sosial (Medsos). Menurut Laporan We Are Social yang mengatakan bahwa jumlah pengguna aktif media sosial di Indonesia terhitung dari bulan Januari 2022 meningkat sebesar 12,35% dari tahun sebelumnya. Angka pengguna aktif medsos pada awal 2022 adalah menginjaki angka 191 juta orang sedangkan pada 2021 sebesar 170 juta orang. Dengan begitu total populasi 273.5 juta lebih hal itu membuat hampir dari setengah penduduk Indonesia telah menjadi pengguna aktif di media sosial.
Angka 273.5 juta populasi penduduk Indonesia yang aktif menjadi pengguna media sosial merupakan angka yang fantastis, tak mengherankan memang jika ada sebuah informasi yang diangkat ke media begitu dengan cepat viral dan dikonsumsi oleh masyarakat umum. Tentunya potensi ini harus diarahkan pada sesuatu yang mendatangkan manfaat. Salah satunya adalah dengan masif mengangkat pemberitaan tindak kekerasan seksual di sebuah Perguruan Tinggi.
Mahasiswa yang dalam hal ini memiliki salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) berupa lembaga pers mahasiswa dapat memanfatkan momen ini sebagai momentum untuk mencegah dan menangani adanya tindak kekerasan seksual di Perguruan Tinggi. Dengan aktif-nya para mahasiswa yang tergabung dalam lembaga pers mahasiswa untuk selalu mengangkat berita-berita seperti ini tentu sangat mengefektifkan kinerja pihak-pihak yang bergerak dalam penangan kekerasan seksual di Perguruan Tinggi. Barangkali tantangan yang mungkin ditemukan adalah sebuah sikap yang dikeluarkan oleh pihak kampus yang sering kali tidak sejalan dengan apa yang telah direncanakan sebelumnya. Dimana sering ditemui adanya sikap menahan dan mencegah agar kasus kekerasan seksual tidak tercium maupun terangkat oleh media dan kampus cenderung lebih mencari jalan damai dengan mempertemukan kedua belah pihak. Hal itu dilakukan semata-mata untuk menjaga nama baik sebuah kampus atau universitas.
Tentu cara tersebut bukanlah sebuah sikap yang relevan untuk dilakukan. Sebab rasa trauma yang dialami korban tidak dapat disembuhkan hanya dengan bersalaman ataupun membayar uang tuntutan. Padahal justru jika tujuannya untuk menjaga nama baik kampus ataupun universitas maka cara yang paling ampuh adalah dengan gencar memberitakan berita kekerasan seksual ke media. Ini juga merupakan langkah Detteren Efect (Efek Jera) agar kedepannya tidak ada lagi pelaku kekerasan seksual yang tumbuh di lingkungan Perguruan Tinggi. Bahkan bisa dikatakan kampus yang berani mengangkat tindak kasus kekerasan seksual yang terjadi dilingkungannya adalah kampus yang sedang berusaha menjaga nama baiknya. (*)