Opini  

Egoisme dan Moralitas Pemimpin Publik

Fahri Aufat

Oleh: Fahri Aufat

Pegiat PILAS

FIFIAN Adeningsih Mus adalah perempuan pertama yang menjabat sebagai kepala daerah di Kabupaten Kepulauan Sula, Provinsi Maluku Utara. Di masa kepemimpinannya, kita perlu mempertanyakan keputusannya terkait pengrusakan patung hewan di Istana Daerah diantaranya patung gajah dan jerapah. Sekalipun patung tersebut dari segi kultural, tidak menunjukkan karakteristik kebudayaan tempatan. Akan tetapi, patung itu memiliki nilai estetik yang harus dirawat.

Alasan mendasar penghancuran patung tersebut, adalah, kehadirannya membatasi masyarakat keluar masuk Istana Daerah. Suatu alasan yang menurut saya tidak logis sama sekali. Jika memang soal pembatasan akses masuk keluar—sementara mobil dinas dan bus keluar masuk dengan bebas—tak menghalangi aktivitas apapun.
Saya kira keputusan Bupati Sula, Fifian Adeningsih Mus memperlihatkan watak egoisme dan sebenarnya tidak memahami makna sebuah seni. Kebijakan pengrusakan artefak tersebut, adalah bentuk penghapusan jejak pembangunan rezim sebelumnya. Watak egoisme begitu melekat kuat pada Bupati Sula, dan ini teramat membayakan. Sebab, tidak ada rasa menghargai nilai-nilai peradaban.

Tak hanya itu, sebuah taman wisata pun yang di bangun oleh Hendrata Thes, tepatnya di pelabuhan Sanana tak terurus, fasilitas rusak parah. Kolam dan toilet di taman tersebut, baunya sangat menggangu dan ini akan sangat berpengaruh terhadap kesehatan masyarakat. Padahal taman tersebut, posisinya cukup strategis karena berada di pusat kota, di depan pelabuhan kapal. Banyak masyarakat, penumpang kapal tujuan Ternate, Ambon, Taliabu dan Manado bersantai sambil menunggu keberangkatan kapal—ruang perjumpaan.

Banyak fakta sejarah menunjukkan artefak kebudayaan dibiarkan rusak dan bahkan dihancurkan akibat rasa ketidaksukaan rezim baru terhadap kebijakan rezim sebelumya. Kebijakan rezim Orde Baru Orde Lama misalnya, dan watak ini masih melekat kuat terhadap pemimpin daerah sekarang ini. Cita-cita demokrasi egalitarian justru melahirkan pemimpin bernalar jongkok, egois dan pragmatis.

Misi besarnya, yakni “Sula Bahagia” pun harus dipertanyakan. Secara kuantitatif, berapa persen masyarakat Sula kategori bahagia? Seberapa banyak tingkat kualitas dan harapan hidup masyarakat mengalami peningkatan? Atau bahagia dimaksud adalah seperti yang dirasakan masyarakat di Kecamatan Sula Besi Barat, Desa Kabau, yang pada beberapa bulan lalu sebuah mobil penumpang terbalik—banyak korban luka-luka dan bahkan ada pula meninggal dunia akibat infrastruktur jalan hingga kini belum juga dibangun. Mungkin ini yang maksud Fifian Adeningsih Mus (Bupati Sula) dalam misi besarnya: “Sula Bahagia”.

Jalan poros penghubung Kecamatan Sula Besi Barat dengan Kecamatan Sanana sudah berulang kali memakan korban jiwa. Tetapi, pemerintah daerah justru lebih fokus mengurusi kegiatan seremonial. Bahkan saat ini Bupati Sula menghabis anggaran milyaran rupiah berangkat ke Spanyol. Masyarakat kemudian bertanya-tanya, apa motivasi keberangkatannya di Spanyol.

Padahal ketimpangan pembangunan begitu melebar—pembagian kue pembangunan pun dapat dikatakan belum dinikmati oleh masyarakat secara adil dan merata. Sehinga menurut Jhonathan Haughton & Shahidur R. Khandker, “ketimpangan sosial adalah bentuk-bentuk ketidakadilan yang terjadi dalam proses pembangunan”. Hak menikmati harapan dan kualitas pembangunan oleh masyarakat adalah hisapan jempol belaka.

Oleh karena itu, seharusnya pemerintah Kabupaten Kepulauan Sula melihat dan melakukan pengkajian terkait kondisi sosial, budaya dan ekonomi masyarakat sehigga pembangunan benar-benar dapat mengubah kehidupan masyarakat. Sehingga menurut Mansour Fakih (2001:10) “umumnya orang beranggapan bahwa pembangunan adalah kata benda netral yang maksudnya adalah satu kata yang digunakan untuk menjelaskan proses dan usaha yang meningkatkan kehidupan ekonomi, politik, budaya, insfrastruktur masyarakat dan lain sebagainya”. Dengan begitu pembangunan disejajarkan dengan perubahan kualitas dan harapan hidup masyarakat.

Pemerintah Kabupaten Kepulaun Sula, Fifian Adeningsih Mus, perlu memahami benar substansi kata bahagia dalam konteks pembangunan. Bahagia salah satu tujuan hidup manusia dalam menjalani kehidupan duniawi dalam konteks hubungan sosial-budaya, ekonomi dan politik. Sehingga kebahagian adalah perkara etika, karena menjadi tujuan hidup yang lebih baik oleh setiap orang.

Maka, substansi kebahagian adalah soal prinsip moral yakni menghargai, menghormati hak asasi manusia—hak untuk menikmati pembangunan yang layak dan seadil-adilnya. Thomas Aquinas mengatakan, bahwa keutamaan kebahagian bukan hanya prestasi, melainkan perbuatan/tindakan yang dilakukan berulangkali sehingga menjadi kebiasaan atau budaya moralitas publik (Riyanto, 2013). (*)