Opini  

Maroko dan Dunia Bola yang “Tidak Bulat”

Basri Amin.

Oleh: Basri Amin

The Voice-of HaleHepu

 

Riwayat dunia bola menegaskan bahwa dunia tidak (akan) pernah bulat dalam pencapaian sejarahnya. Ia akan selamanya bergerak mengikuti daya cipta manusia sebagai homo ludens (Huizinga, 1949 [1970], 251 pages).

Dalam hitungan jam, ensiklopedia (pengetahuan) dunia terpandang yang sudah berusia lebih dua abad, Britannica, langsung menambahkan narasi sejarahnya tentang Maroko (Morocco) per 11 Desember 2022 (Brown, 2022). Sebuah pencapaian sejarah yang langsung “abadi” karena pencapaian anak-anak bangsanya. Tidak lama berselang setelah Maroko mengalahkan Portugal dalam Piala Dunia 2022 di Qatar. Unik memang karena, di sisi berbeda, berita dunia tidaklah otomatis mencatat sebuah peristiwa ekonomi dan politik misalnya, setenar bagaimana sebuah peristiwa olah raga menyengat histeria antar bangsa.

Dalil utama di dunia Bola lumayan tegas: semua bisa menjadi sejarah yang tiba-tiba; sebuah sejarah yang sulit ditebak dan yang mudah diberi jaminan. Sejarah bola adalah “sebuah konstruk permainan dan pengetahuan yang tidak pernah memain-mainkan fakta sejarah!”. Pihak yang kalah dan yang menang ditampilkan, diuji, dan ‘dipastikan’ hanya dalam ukuran “waktu perang” yang tidak lama, 2 x 45 menit, penambahan waktu, atau melalui adu-pinalti. Tetapi, hebohnya bisa berdampak luas dan melegenda. Tak jarang banyak “isu liar” yang ikut menyertai dunia bola. Saya sangka, World Cup – Qatar 2022 akan mengalami dinamika seperti ini. Akan ada peta persepsi dan afeksi baru antar benua dan antar bangsa yang akan tercipta setelahnya.

Di dunia bola, selalu berbaur antara kemashuran invidual (pemain/pelatih), latar klub, negara, dan pencapaian nasional (tertentu!) yang mengglobal. Dunia bola, dalam banyak hal, selalu berusaha mengaburkan batas-batas politis, ekonomis, demografis, dan rasial. Tak perlu heran misalnya, bagaimana negara yang (‘hanya’) berpenduduk 4,043,681 juta jiwa (baca: Kroasia) per 11 Desember 2022, mereka terbukti selalu sukses di panggung persepakbolaan dunia. Di ujung lain, negara sehebat Italia (populasi 60,245,455 jiwa), pamor bolanya makin melemah, kendati punya klub-klub hebat bernama besar. Dari Asia sendiri, kita sepertinya cenderung pada kesimpulan tegas bahwa Jepang (populasi 125,534,314 jiwa) dan Republik Korea (populasi 51,376,589 jiwa) telah membanggakan “mewakili” kawasan Asia. Sebagai wakil Afrika dan dunia Arab, kini dilekatkan kepada Maroko dengan penduduk 37,976,290 jiwa (https://www.worldometers.info/world-population). Tetapi harus pula dicatat bahwa migran Maroko di Eropa lumayan besar, sebagaimana dilaporkan oleh Uni Eropa: migran Maroko terbanyak di Perancis, Belanda, Italia, Jerman dan di Spanyol.

Marwah (bola) Maroko –sebagaimana hari-hari ini telah meluas diulas–, umumnya dinyatakan dengan nada-bahasa yang dipuja-puji dan di-cocok-kan dengan banyak keadaan. Termasuk dalam soal-soal praktik ke-agama-an, simpati pencinta bola dunia, ekspresi sosial pemain-pemain Timnas Maroko, “klaim prestasi” yang unik (bangsa Arab/Afrika) dalam menghadapi negara-negara ternama di dunia bola, dst. Di sisi ini, Maroko sudah sukses mewujudkan “mimpinya” di panggung olah raga dunia. Dengan itu, barangkali, ia akan sekaligus memberi pengaruh atas penggambaran masyarakat Barat/Eropa tentang Afrika, dunia Arab, masyarakat Muslim dan prestasi olah raga.

Maroko bukanlah “negeri baru”. Ia telah jatuh-bangun menempa karakter kebangsaannya, hal mana sejak awal beruntung karena ditakdirkan –secara geografis dan demografis—berada di titik persimpangan peradaban dunia, antara Eropa, Arab, Afrika, dan Asia. Perjumpaannya dengan Portugal dan Spanyol merupakan jejak abadi dalam benturan-benturan peradaban manusia di kawasan Meditranea dan sekitarnya. Sejarawan Perancis ternama, Fernand Braudel (1902-1985), dalam buku seminalnya, A History of Civilizations (edisi 1994, 629 pages), menggambarkan Maroko sebagai titik ukur penting bagi peradaban Islam. Braudel menulis tentang geografi Islam dengan menyatakan “Peradaban Islam meluas dari Maroko sampai sampai Sahara Atlantik; dari Dakar sampai Jakarta…” (1987 [1994]: 55).

Maroko hari-hari ini memang melejit citranya karena prestasi bolanya. Sungguh luar biasa. Maroko mengalahkan tiga raksana bola Eropa, Spanyol, Portugal, dan Belgia. Sebelumnya, Maroko mengalahkan Kanada dan bermain imbang dengan Kroasia. Bagi kita yang menyaksikan World Cup – Qatar 2022, kita umumnya terpukau dengan kekuatan (lini) pertahanan mereka, taktik serangan balik, dan kecerdasan Penjaga Gawang-nya (Yassine Bounou. Ia lahir di Kanada dan kini bermain di Inggris). Sesungguhnya, Marokko sudah meng-global sejak awal. Kini pun, dengan melihat beberapa pemain nasionalnya, di antara mereka adalah pemain-pemain terpilih di klub Eropa.

Tetapi, Maroko bukan hanya soal (prestasi) bola! Bukan pula soal identitas Afrika, Islam, atau Arab. Maroko memiliki jejak lain yang tak kalah pentingnya untuk ditambahkan atau sekadar dirujuk oleh masyarakat dunia. Melalui Spektrum singkat ini, ada baiknya kita mengikuti pencapaian negeri ini dalam dunia ilmu-pengetahuan dunia yang mencatatkan keabadiannya yang sangat jauh ke belakang dan akan memberi citra hebat di masa depan.

Kendati Piala Dunia 2022 mengabadikan Maroko dalam sejarah bola –-karena hebatnya pelatih, hebatnya para pemain/permainan, pola score, dst–, sebenarnya jauh sebelum abad ini tiba, Maroko sudah terpandang dalam (penciptaan narasi) “sejarah dunia”. Khazanah (pengetahuan) geografis, permukiman, arsitektur, praktik keagamaan, perniagaan, kebiasaan, wabah penyakit, dst yang hingga kini dibaca di Eropa dan di benua lainnya tentang perjalanan umat manusia, disumbangkan dengan sangat hebat oleh seorang petualang-penulis-Ulama Maroko yang sangat terkenal.

Karya putra terbaik Maroko ini dibaca dan dirujuk oleh sarjana, penguasa dan pembaca di dunia, terutama di Eropa. Siapa dia? Adalah Abu Abdallah Ibnu Battuta, musafir Muslim abad ke-14 dari kota Tangier, Maroko. Terlahir dari keluarga sarjana hukum pada tahun 1340 masehi. Di usia 21 tahun Ibnu Battuta sudah meninggalkan kampung halamannya dan memulai bertualang dan mencatat banyak peristiwa dunia yang penting dan yang sehari-hari tapi bermakna. Tak kurang 44 negara dan ratusan bangsa-bangsa telah ditemuinya sepanjang tiga puluh tahun lebih kariernya sebagai musafir-penulis. Berhasil mengunjungi Afrika Utara, Mesir, Palestina, Suriah, melintasi Arabia Tengah, Teluk Persia, melintasi Laut Hitam, Byzantium (Istambul) sampai mencapai Asia Tengah, hingga berhasil mencapai Cina dan Asia Tenggara.

Hebatnya, Ibu Battuta, menghabiskan waktunya di India selama delapan tahun. Pada tahun 1341, Ibu Battuta dipilih menjadi “Duta Besar” dengan misi diplomatik paling awal antara India dan China (baca: istana Mongolia); gagal di tahun tersebut tapi ia melanjutkan perjalanannya empat tahun kemudian. Dalam jejak Ibnu Battuta inilah, kita di Nusantara, sewajarnya punya jejak keneksi lain dengan Maroko. Bahwa melalui “catatan tangan” Ibnu Battuta, negeri Sumatera terekam secara tertulis di abad ke-14, tepat ketika Ibnu Battuta mengunjungi Sumatera, setelah menyinggahi Benggala dan pantai Burma melalui jalur laut.

Ibnu Battuta, menurut sejarawan Maroko terkenal dari San Diego, Amerika Serikat, Professor Ross Dunn, “Ibnu Battuta melaporkan tempat-tempat yang lebih banyak dari Marco Polo…”. Di Sumatera, Ibnu Battuta bergaul dan bertemu Sultan serta banyak pihak selama beberapa minggu. Ia pun menggambarkan Sumatera dengan sangat naratif.

Ibu Battuta tercatat mengunjungi kerajaan Muslim Granada di Spanyol sekitar tahun 1350, selanjutnya menyelesaikan petualangnya di negara di Sudan dan kawasan Afrika Barat, kemudian tepatnya pada tahun 1355 Ibnu Battuta memilih menetap di kampung halamannya di ibu kota Marokko di masa itu, Kota Fez. Kota ini, jika kita baca hari ini, adalah sebuah kota penting karena diabadikan oleh UNESCO sebagai situs “kota pejalan-kaki tertua” di dunia (?!) sejak 1980. Kota Fez disebut sebagai “kota budaya dan spiritual” Maroko (https://whc.unesco.org/en/list/170/).

Bagi kita di Indonesia, respek kita kepada karya hebat dari Musafir Maroko, Ibnu Battuta, sangatlah bermakna. Tepat ketika penerbit nasional Yayasan Obor Indonesia menerbitkan terjemahan petualangan Ibnu Battuta karya Ross E. Dunn tahun 1994 (594 halaman), dengan pengantar khusus sejarawan senior, Taufik Abdullah (LIPI). Dengan demikian, meskipun Maroko hari-hari ini beritanya memuncak karena histeria Piala Dunia 2022, tapi sesungguhnya negeri Maroko –-yang lebih dikenal dalam khazanah Arab dengan nama Maghribi–, merupakan sebuah negeri yang bersentuhan dengan Nusantara kerena karya-jujur dan mendalam dari seorang Musafirnya bernama Ibu Battuta.

Melalui catatan Ibnu Battuta -–yang sudah diterjemahkan ke dalam banyak bahasa Asing–, dunia seharusnya bisa belajar bahwa dalam dunia pengetahuan, setiap bangsa sesungguhnya adalah “pencipta prestasi” dan pemulia sejarah kemanusiaan. Dengan itulah maka yang lebih utama kita rayakan adalah pencapaian Manusia dan para penyumbang-perjumpaan kebudayaan antar bangsa dan negeri. ***

 

Penulis adalah Partner di Voice-of-HaleHepu;

Surel: basriamin@gmail.com