Opini  

Kabar Dari Desa: Perihal Pentingnya Peningkatan Kapasitas Pemerintah Desa

Zulkifly A. Idris.

Oleh: Zulkifly A. Idris

Penggiat Pemberdayaan Masyarakat

HADIRNYA Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, telah membawa angin segar bagi pembangunan di desa. Undang-undang ini telah mengubah dan mendorong masyarakat desa untuk lebih agresif membangun desanya. Rekognisi terkait desa  melalui UU Desa menjadi berkah karena terbukanya peluang, penataan dan tata kelola desa secara mandiri yang diakui oleh negara/pemerintah.

Melalui Undang-Undang Desa pula, kewenangan membangun desa dengan prakarsa sendiri menjadi cukup luas, dibanding dengan tahun-tahun sebelumnya. Kewenangan dimaksud  meliputi penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan adat istiadat desa.

Kewenangan yang luas ini tentu perlu dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh pemerintah desa dan masyarakatnya untuk membangun. Dengan semangat desa membangun yang memposisikan desa sebagai subjek dari pembangunan, memberi kesempatan yang luas bagi desa utuk menyusun perencanaan dan pembangunan secara mandiri.

Guna mewujudkan cita-cita sebagaimana harapan hadirnya Undang-Undang Desa ini, yakni meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan melalui pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana desa, pengembangan potensi ekonomi lokal serta pemanfaatan sumber daya alam, maka pemerintah juga telah menggelontorkan anggaran APBN yang cukup besar. Tak hanya melalui APBN, dana desa juga bersumber dari APBD, Pendapatan Asli Desa, Retribusi Daerah, serta hibah dan sumbangan dari pihak swasta.

Banyaknya sumber pendapatan yang dapat diperoleh setiap desa ini menunjukkan keseriusan pemerintah untuk memberi kesempatan kepada desa untuk membangun. Selain itu, hal ini juga memberi gambaran bahwa keterbatasan anggaran tidak lagi menjadi masalah besar dalam membangun desa. Faktanya, banyak desa belum bisa keluar dari garis kemiskinan serta belum mandiri meski banyak dana APBN telah digelontorkan oleh pemerintah.

Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT) sebagaimana dinukil kontan.co.id, (12/07/2022) sudah  menetapkan ada 6.283 desa mandiri sepanjang tahun 2015-2022. Jumlah ini bertambah 6.064 desa mandiri dari sebelumnya di 2015 hanya 174 desa. Kemudian desa maju juga bertambah 16.641 desa, dari tahun 2015 hanya 3.608 menjadi 20.249 desa.  Meski demikian, trend positif ini belum sebanding dengan besarnya jumlah dana yang digelontorkan pemerintah.

Hal ini tentu menunjukkah bahwa terdapat permasalahan mendasar yang dialami oleh desa sehingga banyak desa belum mampu mencapai kemandirian. Salah satu faktor yang menyebabkan banyak desa belum dapat berkembang secara baik adalah tingkat pendidikan dan keterampilan sumberdaya manusia yang rendah, termasuk kapasitas pemerintah desa yang belum kuat terutama pada beberapa aspek seperti pengelolaan manajemen keuangan desa, kemampuan membangun kemitraan, Kemampuan berinovasi, Pemahaman terhadap regulasi, akses terhadap teknologi informasi dan komunikasi, serta jenis ketrampilan lain yang dibutuhkan, yang sesuai dengan peran pemerintah desa.

Berdasarkan kondisi ini, maka diperlukan kegiatan peningkatan kapasitas bagi pemerintah desa dengan tujuan meningkatkan keterampilan, pengetahuan, serta rekonstruksi pola pikir yang sesuai dengan paradigma pembangunan desa yang lebih maju. Sejalan dengan ini, priotas penggunaan dana desa harus difokuskan untuk peningkatan kapasitas pemerintah desa, disamping pemulihan ekonomi dan percepatan penghapusan kemiskinan ekstrem dengan tetap memperhatikan permasalahan yang masih mengemuka seperti penanganan gizi buruk, pelaksanaan padat karya tunai, dan pengembangan ekonomi Desa. Dengan demikian, kesejahtraan masyaakan diharapkan dapat tercapai, disaat yang sama kapasitas pemerintah desa juga terus meningkat.

Jenis Peningkatan Kapasitas

Peningkatan kapasitas pemerintah desa perlu disesuaikan dengan karakteristik masalah yang dihadapi serta harus berbasis tipologi desa. Hal ini mengingat setiap desa memiliki karakteristik masalah dan tipologi yang berbeda. Beberapa jenis pelatihan bisa sama metode dan materinya terutama yang bersifat given dari pusat, seperti masalah  regulasi tentang desa dan keuangan desa, maupun yang bersifat kebijakan dari kementrian dan lembaga pemerintah yang perannya berhubungan langsung dengan pembangunan desa.

Meski demikian, lokalitas permasalahan dan tipologi setiap desa yang berbeda harus mendapatkan perhatian terutama dalam penyusunan perencanaan pelatihan. Tipologi desa pertanian, misalnya, tentu akan memiliki kebutuhan peningkatan kapasitas yang berbeda dengan desa wisata, desa lingkar pertambangan, atau desa sentra perikanan. Karena itu, guna memperoleh output yang tepat sesuai dengan tujuan, setiap perencanaan  pelatihan perlu didahului dengan proses Training Need Analysis (TNA).

Training Need Analysis ini dilakukan dengan tujuan: 1) Memastikan bahwa pelatihan memang merupakan salah satu solusi untuk memperbaiki atau meningkatkan kinerja pemerintah desa, 2) Memastikan bahwa para peserta pelatihan benar-benar orang yang tepat untuk mengikuti pelatihan, 3) Memastikan bahwa kompetensi yang diajarkan selama pelatihan benar-benar sesuai dengan tugas pokor setiap aparatur desa, 4) Mengidentifikasi bahwa jenis pelatihan dan metode yang dipilih sesuai dengan materi pelatihan yang selaras dengan kebutuhan dan tipologi desa, 5) Memastikan bahwa belum baiknya kinerja pemerintah desa memang disebabkan oleh kurangnya pengetahuan, keterampilan dan sikap-sikap kerja, bukan oleh alasan-alasan lain yang tidak bisa diselesaikan melalui peningkatan kapasitas.

Berikutnya, Training Need Analysis ini juga dimaksudkan untuk memperoleh beberapa hal yang bermanfaat  diantaranya menghasilkan program pelatihan yang disusun sesuai dengan kebutuhan kelembagaan, jabatan dan individu aparatur desa, serta sebagai dasar penyusunan program peningkatan kapasitas pemerintah desa dan masyarakat sesuai dengan karakteristik masalah yang dihadapi desa.

Manfaat lain yang bisa didapat dari kegiatan TNA adalah memperoleh gambaran data kualitatif maupun kuantitatif terkait status kapasitas yang dimiliki oleh pemerintah desa dan aparatur desa. Hal ini penting karena kapasitas kepala desa dan aparaturnya pada setiap desa sangat berbeda dan beragam, dengan latar belakang pendidikan yang juga berbeda.

Metode Peningkatan Kapasitas

Setiap pemerintah desa, memiliki status kapasitas yang berbeda. Desa dengan kapasitas pemerintahan yang baik karena aparaturnya berkualifikasi pendidikan yang memadai serta akses informasi dan komunikasi yang baik, tentu memiliki status kapasitas dalam pengelolaan pemerintahan yang lebih baik. Namun demikian, tidak semua desa memiliki pemerintahan dan aparatur yang berkualifikasi pendidikan memadai. Karena itu, rancangan kegiatan peningkatan kapasitas harus memungkinkan seluruh aparatur desa, anggota Badan permusyaPwaratan Desa (BPD), maupun anggota lembaga  kemasyarakatan dilibatkan sebagai peserta belajar  dalam kegiatan peningkatan kapasitas. Hal ini mengingat banyaknya permasalahan di internal desa sendiri, maupun regulasi tentang desa yang juga cukup banyak mulai dari Undang-Undang Desa serta family tree regulasi soal desa dari kementrian dan lembaga terkait, seperti Kemetrian Desa, Kementrian Keuangan, serta Kementrian Dalam Negeri.

Banyaknya pelibatan peserta belajar, memunggkinkan adanya kesempatan berbagi pengalaman, pengetahuan dan pemecahan masalah bersama oleh banyak orang di desa. Dengan begitu, setiap orang dapat berbagi peran memajukan desa dengan berbagai potensinya. Selanjutnya, metode peningkatan kapasitas juga dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan, mulai dari diseminasi informasi atau kebijakan baru, Focus Group Discussion (FGD), Webinar bagi desa dengan akses teknologi komunikasi yang baik, On the Job Training (OJT), Coaching Clining maupun pelatihan reguler dalam bentuk bimbingan teknis (Bimtek), sertifikiasi tenaga kerja profesional,  dan Diklat yang dilaksanakan secara berkala sesuai dengan kemampuan penganggaran setiap desa dengan beragam permasalahannya.

Meskipun begitu, menyadari terbatasnya anggaran dalam pembangunan desa terutama dalam kegiatan peningkatan kapasitas, maka pilihan metode  peningkatan kapasitas yang mudah untuk dilakukan dapat menjadi pilihan, yakni seperti Coaching clinic , On The Job Training (OJT) serta diseminasi kebijakan baru dari pemerintah melaui sosialisasi massal, FGD, dan sebagainya. Kegiatan peningkatan kapasitas dengan biaya yang murah dapat terus dilakuakan dengan prinsip ‘learning by doing’. Proses dan tahapannya bisa dimulai dengan membentuk komunitas belajar internal di tingkat desa dengan kurikulum yang disusun sesuai kebutuhan, serta jadwal yang bersifat reguler.

Metode peningkatan kapasitas berbiaya murah ini dapat memastikan proses pembelajaran remedial juga terjadi. Dengan begitu, tingkat pemahaman semua pemerintah desa dan aparutur desa yang menjadi peserta belajar dapat terus dipantau secara terukur.

Selanjutnya, dengan merancang model peningkatan kapasitas yang tepat berbasis karakteristik, permasalahan dan tipologi desa, maka diharapkan kapasitas pengetahuan dan keterampilan pengelolaan pemerintahan dan pembangunan desa oleh kepala desa dan aparaturnya dapat meningkat. Konsekuensi logisnya, kemandirian desa dan kesejahteraan masyarakat, sebagaimana isyarat Undang-Undang Desa, perlahan tapi pasti dapat tercapai. (*)