Opini  

Tafsiran Toleransi, Natal dalam Pandangan Cak Nur Antara Keimanan dan Kemanusiaan 

Rusmin Hasan.

Oleh: Rusmin Hasan

Kader Nurcholish Madjid Socety

“Kita berbeda dalam keimanan tetapi satu dalam kemanusiaan”. (Imam Ali Bin Abi Thalib)

SETIAP memasuki akhir bulan, tepatnya 25 Desember atau kerap kita menyebut sebagai kelahiran Nabi Isa as atau Yesus Kristus selalu menuai kontroversi. Saya menyebut sebagai debat tahunan. Kenapa? Karena wacana kelahiran Nabi Isa atau dalam prespektif Kristen mereka menyebut sebagai kelahiranan Tuhan Yesus Kristus menjadi isu yang menarik tentang boleh tidaknya mengucapkan “Selamat Natal”.

Bagi agama Islam kepada saudara/i kita yang umat Kristen, wacana ini sering kali menjadi gaduh bagi umat beragama di Indonesia khususnya sebagian umat Islam. Alhasil, membuat polarisasi antar umat beragama di Indonesia yang berimplikasi pada timbulnya tendensi sosial horisontal pada paradigama umat beragama. Polarisasi tersebut, hemat saya berdampak pada munculnya dua kutub yang berbeda di kalangan umat Islam. Pertama, kutub yang berisi orang-orang yang meyakini bahwa mengucapkan “Selamat Natal” kepada umat Kristen itu dibolehkan, dan kutub kedua, ialah meyakini bahwa mengucapkannya suatu perbuatan yang maksiat.

Bahkan nyaris mereka beranggapan bahwa syirik, karena dianggap mengamini Yesus Kristus lahir pada tanggal tersebut dan meyakini Ketuhanannya. Begitulah, gambaran unik di setiap akhir bulan Desember setiap tahun bagi umat beragama di Indonesia. Sehingga, melalui dasar pikir problem di atas, tulisan ini menginspirasi saya secara pribadi untuk menguraikan pandangan yang syarat makna substantif, rasional dan berkemajuan dari sosok reformis kemanusiaan sejati. Ia adalah Nurcholish Madjid atau kerap biasa disapa Cak Nur. Sosok inspirasi, Guru kita semua.

Apa Itu Natal? Saya memulai dengan pertanyaan filosofis tersebut, untuk kita menelisik benang merah dari akar sejarah Natal dan problematikanya, sehingga tidak salah penafsiran memahaminya, dan meminimalisir terjadinya gesekan antar sesama agama.

Akar Historis istilah Natal atau biasa disebut kelahiran Yesus. Banyak sumber ilmiah yang telah diungkapkan sebagai bahas rujukannya, di antaranya beberapa penelitian ilmiah dan pencetus yang sangat penting yang harus dicatat dan diketahui ialah Clement Of Alexandria (150-210) yang meneliti beberapa pendapat dan akhirnya merekomendasikan hari kelahiran Yesus Kristus (Natal) seyogyanya jatuh pada 17 November. Sedangkan sejarawan merekomendasi Natal jatuh pada tanggal 25 Desember.

Dalam kitab (De pascha Computus) yang ditulis oleh; Pseudo Cyprian pada abad ke-3 memilih tanggal 28 Maret sebagai hari Natal atau tiga hari setelah penciptaan yang diperkirakan setara dengan tanggal 25 Maret. Bagi orang Kristen, Mesir dan Timur Tengah memilih tanggal 6 Januari dan pada abad ke-4 telah ditulis Himne Kelahiran Yesus 6 Januari oleh Ephrem Of Edessa. Seorang Pemuka Gereja Siria. Gereja Ortodox Timur (Rusia) memilih tanggal 7 Januari karena penggunaan kalender Julian yang berisi 13 hari dengan kalender Gregoria.

Sedangkan ketetapan tanggal 25 sebagai hari Natal pada umumnya atas perspektif sejarah dan budaya atas upaya akulturasi Kristen terhadap paganisme Romawi dan tercatat bahwa tahun 354 diperingati hari ulang tahun para martin (orang-orang suci yang telah meninggal) disepakati dimulai pada 25 Desember sebagai kelahiran Yesus Kristus. Diperkirakan sekitar tahun 361 melalui khotbahnya, Uskup Optatus mengajarkan ajar hari kelahiran Yesus ialah 25 Desember. Pada tanggal tersebut tidak hanya diperingati bagi agama Kristen, Namun dapat menjadi sakrama atau upacara keagamaan, sehingga dari situlah diyakini bahwa tanggal 25 Desember ialah hari kelahiran Yesus Kristus dalam prespektif agama Kristen.

Tafsir Teologis Natal

Meminjam pikiran dari John Drane dalam Memahami Perjanjian Baru: Pengantar Histors Teologis (2005). Ia menuliskan bahwa kelahiran Yesus Kristus yang ditulis dalam kitab Matius 1;18-2:23 dan Lukas 2:1-21. Ia mengungkapkan cerita dalam kitab ini, tidak mempunyai paralel tetapi mempunyai waktu yang berkesinambungan dan kelahiran Yesus. Masing-masing menceritakan kejadian yang sama dengan sudut pandangan yang berbeda. Injil Matius dari sudut pandangan Rasul Matius yang dikenal seorang pemungut pajak menceritakan perihal kedatangan orang majus yang mencari dan menyembah raja yang baru lahir serta mempersembahan hadiah yang mahal.

Sedangkan Injil Lukas dalam sudut pandangan Lukas yang dikenal seorang dokter menceritakan kisah ini dengan lebih detail. Termasuk adanya malaikat dan kedatangan gembala domba yang menyembah bayi Yesus dipalungan. Secara lebih kronologis, Injil Lukas tidak menuliskan mengenai orang Majus dari Timur. Tetapi menceritakan kelahiran Yohanes Pembaptis yang terjadi sekitar 6 bulan sebelum kelahiran Yesus. Termasuk wujud dari penampakan Malaikat Gabriel yang menyampaikan terlebih dahulu kepada Zakria, Ayah dari Yohanes Pembaptis. Yesus dikatakan sebagai Putra Tuhan yang jika digaungkan dalam perspektif Islam tentu akan sepadan dengan konsep Ketuhanan Yang Maha Esa, Zat Tunggal. Tidak beranak dan tidak dipernakan.

Natal Dalam Tafsiran Kosmologi Islam

Secara kosmologi Islam, Nabi Isa as ialah putra Maryam yang kelahirannya langsung dari proses Ruh Ilahiah tanpa proses pembuahan seksualitas. Maka secara ontologi kelahiran Isa as atau dalam prespektif agama Kristen sebagai Yesus (Natal) merupakan kelahiran yang berhubungan langsung dengan Ruh Tuhan secara spritual mengandung dimensi sakral. Alqur’an mengungkapkan seperti penciptaan Adam as yang tersirat dalam Al-Qur’an. Berbunyi: “ Sesungguhnya kelahiran Nabi Isa as. Dalam Al-Qur’an seperti penciptaan Isa bagi Allah, Seperti (penciptaan) Adam. Dia menciptakaannya dari tanah, kemudian Dia berkata kepadanya. “Jadilah”. Maka jadilah sesuatu itu. (Q.S Ali-Imran :59).

Kita sadari bahwa keoententikan Al-Qur’an kita tidak permasalahkan Adam as yang hadir di muka bumi ini tanpa proses kelahiran secara biologis (Ayah dan Ibu). Demikian seyogyanya, hal pula Nabi Isa yang lahir dari rahim suci Maryam tanpa proses pembuahan dari seorang ayah. Maka digambaran secara imajinasi atau Tuhan dalam imajinasi. Meminjam bahasa dari Yuval Noah Harari dalam karya; “Sapiens”. Ia mengatakan bahwa Tuhan dan agama hanyalah sebuah “Imaganed Reality”. Sebuah realitas yang muncul melalui imajinasi. Pada nyatanya ada maka disebut realitas. Tapi Dia ada yang dibuat oleh imajinasi. Dalam konteks Tuhan (Allah SWT) dan Tuhan (Yesus) dengan demikian kita bisa pahaminya.

Walaupun pada sisi lain, saya kurang sependapat kalau Yesus dan Allah itu disebut sama. Karena secara kosmik Nabi Isa sa atau Yesus dikaitkan dengan Allah SWT itu bentuk dari kesalahan logis bernalar atau fallacy. Namun, pada dimensi kemanusiaan Nabi Isa atau disebut Yesus disifatkan dengan sifat Tuhan adalah kekasih Allah SWT membawa ajaran agama fitrah. Jadi kita harus memahami merefleksikan kelahiran Yesus adalah sebagai Manusia (Isa sa). Kelahirannya membawa manifestasi sifat Allah SWT yaitu sifat eksistensi-Nya Allah sebagai yang Maha Pengasih. Sebagaimana yang termaktub dalam lafaz “Bismillaahirrahmaanirahiim”. Dengan menyebut nama Allah SWT Yang Maha Pengasih dan Penyayang.

Disini, menjadi jelas bahwa mengucapkan Natal kepada sudara/i Kristen ialah sangat biasa atau dibolehkan bahkan sebagian besar Ulama juga memperbolehkannya. Karena bagi perspektif kita muslim memperingati hari Natal ialah memperingati kelahiran manusia suci (Isa as). Jadi mengucapkan “Selamat Natal” dalam konteks kelahiran Isa sa bukan meyakini secara ke-Tuhananya. Sehingga Natal harus kita letakan dalam makna kemanusiaan sebagai kelahiran manusia (Isa sa) ialah manifestasi kekasih Allah SWT, pembawa risalah agama universal. Sesuai yang tergambar dalam Qur’an yang berbunyi: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Fitrah); sesuai Fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut Fitrah itu. Tidak ada perubahan pada penciptaan Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya (Q.S Ar: Rum;30).

Tafsiran Toleransi, Natal dalam Pandangan Cak Nur Antara Keimanan dan Kemanusiaan

Nama Nurcholish Madjid atau kerap disapa Cak Nur Tentu tidak asing lagi dalam telinga kita, khususnya dikalangan Intelektual muslim Indonesia sejak Era 70-an sampai sekarang yang memberi sumbangsi pencerahan dan kemajuan bagi semangat ke-Islaman, ke-Indonesiaan, ke-Manusiaan serta ke-Modernan sebagai pemantik kritik dan mencerahkan bagi kita semua diakhir-akhir ini. Cak Nur dimasukan dalam jajaran kaum tua modernis Islam seperti; Prof HM. Rasjidi maupun Mohammad Natsir, Gusdur, Buya Syafii Maarif dan segenerasinya yang dikenal sebagai puncak poros intelektual dalam kajian dan tema-tema pemikiran yang diusung di Indonesia.

Ia dikenal sebagai reformis Islam dan Indonesia bahkan dunia. Kenapa demikian? karena buah pikiran-pikiran mercesuarnya mampu menyinari alam raya laksana cahaya Api Islam yang selalu konstektual sepanjangan peradaban. Cak Nur lahir dan besar di Desa Mojoanyar, Jombang tepatnya pada tanggal 17 Maret 1939. Ia merupakan sosok ayah sekaligus pemikir hebat yang dalam hidupnya sangat sederhana, cerdas, terbuka dan rendah hati sekaligus memegang prinsip dan teguh dalam bersikap. Ibu Omi sapaan akrab istri tercinta Cak Nur mengungkapkan, secara jelas bahwa selama hidupnya ia mendampingi Cak Nur, mengenal sosoknya sangat sederhana, penyabar. Ia tak perna mendapati suaminya marah atau sekadar mengkomplen makanan yang disajikan diatas meja.

Mba Omi juga mengatakan bahwa Cak Nur juga sosok yang peduli dengan tetangganya sejawat agama kristen. Setiap Natal Cak Nur sering bersilaturahim ke tetangganya untuk mengucapkan Selamat Natal. Kalau Cak Nur berhalangan atau di luar kota, ia menitipkan salam dan menyuru istrinya membawa kado Natal buat sahabat-sahabat Kristennya. Sebab bagi Cak Nur perayaan Natal ialah perayaan hari besar. Baginya Natal ialah kebahagiaan. Karena itu, “jika tetangga berbahagia, kita juga harus berbahagia,” begitulah ungkap Mba Omi nama. Istri Cak Nur, bernama lengkap Omi Komaria Madjid dalam catatan hidupnya yang ia dedikasi dalam karyanya; “Hidupku Bersama Cak Nur (2015)”. Dalam karyanya tersebut, ia menceritakan secara gamblang sisi keunikan Cak Nur, romastisme, perjuangan dan semua lika-liku semasa bersama suami tercintanya.

Bagi saya, secara pribad nama Cak Nur sangat familiar sejak saya memutuskan untuk bergabung dengan kawan-kawan ideologis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Tondano Badko Sulawesi Utara- Gorontalo semasa masih mengembara dan bergelut di dunia akademis. Sejak tahun 2014 mengikuti Basic Training LK-I HMI di Masjid Al-Haq kampung baru Tondano Sulawesi Utara dan sampai mengikuti tahapan proses Intermediate Training tingkat nasional atau LK-II di-HMI Jakarta Pusat Utara 2017.

Waktu itu, ketua cabangnya dipimpin oleh Kakanda Adim Rajak. Kerap, saya menyapanya dengan sapaan akrab Kanda Dimpo. Disela-sela forum intelektual tersebut, hadir juga Kakanda Budhy Munawarahman sebagai salah satu narasumbernya. Kanda Budhy, begitulah saya menyapanya. Ia adalah staf khusus Cak Nur semasa hidupnya bahkan saya menyebut beliau murid kesayangannya Nurcholish Madjid yang intens dan komitmen. Sampai hari ini mengembangkan, membumikan sekaligus merekonstruksi buah pemikiran mercesuarnya sang guru bangsa Cak Nur dan ada juga rekan-rekan sejawatnya seperti; Kang Nafiz, Yudi latif, Fachrurozi Majid, Udah Elza, Peldi Taher dan beberapa Intelektual muslim Indonesia yang akrab secara ideologis, intelektual bahkan emosional dengan Cak Nur yang telah dengan sabar, tekun dan gigih serta dengan penuh tanggung jawab untuk senantiasa mewarisi sikap, pola pikir, laku serta pandangan dan pemikiran almarhum Cak Nur. Hemat saya, kita patut mengucapkan banyak terima kasih kepada mereka atas jasa kepiawaian merekalah kita masih merasakan dekat dengan Cak Nur hingga hari ini terlebih khusunya kader HMI Se-Indonesia. Terima kasih atas jasa-sajanya para mentor-mentor hebat yang selalu dan tak bosan-bosan menginspirasi kita semua.

Nurcholish Madjid (Cak Nur) dalam karyanya yang sangat monumental; Islam Dokrin dan peradaban (1992). Acapkali ia menyebut bahwa manusia ialah manifestasi Tuhan di muka bumi, ada nilai-nilai Ke-Tuhanan dalam diri manusia. Baik melalui analogi putra maupun anak, dan yang menjadi inti ialah manusia. Ia tegaskan bahwa tidak serta merta Yesus Kristus sebagai Putra Tuhan dimaknai hanya pada wilayah tertentu semisalnya aspek tekstual semata, melainkan juga harus dimaknai secara mendalam melalui proses penelaan secara kritis. Kalau ada yang melarang mengucapkan “Natal” dengan dalil-dalil agama secara sempit tanpa melihat dimensi Nabi Isa sa sebagai manusia suci pembawa agama fitrah (kemanusiaan), maka ia telah menisbihkan keuniversalitas Islam sebagai agama kemanusiaan, kesetaraann, cinta, perdamaiaan dan agama peradaban.

Cak Nur membangun kerangka prualisme agama dan semangat toleransi berdasarkan pondasi Ketauhidan yang inklusif dan mendalam dengan argumentasi paham ke-Tuhanan Yang Maha Esa dan etika antara sesama dengan memberikan isterpretasi terhadap ayat Qur’an secara telaah kritis dan kontekstual dengan nafas zaman. Ia sering mengutip; “Inna Diina Inda Allah Al-Islam”. Dengan sikap tunduk yang benar dan diakui Yang Maha Benar Yakni Allah. Ialah sikap pasrah hanyalah kepada kebenaran itu. Ia tegaskan bahwa pada dasarnya semua agama itu sama. Walaupun memiliki jalan yang berbeda-beda. Namun, tujungannya sama dan satu (setara).

Dari cara berfikir itulah, ia menggali, mengembangkan dan memperkenalkan visi Islam Indonesia ke tingkat Internasional bahkan dunia. Inilah yang ia sebut sebagai Islam Agama Universal (Rahmatan Lil’Alamin) yang harus menempatkan kita setara dalam kemanusiaan. Karena dengan itulah kita telah menempatkan semua agama mempunyai hak dan Status yang sama. Tidak lagi lagi perbedaan apalagi tendensi sosial- horisontal antar sesama manusia. Karena kita setara maka menjadi keniscayaan Universal saling menjaga, menghormati dan menjunjung tinggi perbedaan (Toleransi). Seirama dengan apa yang dipesankan Buya Syafii Maarif bahwa semangat Ke-Islaman harus senafas dengan Ke-Indonesiaan dan Ke-Manusiaan. Itulah, Islam yang benar, damai, Islam yang kontruktif dan Islam yang dapat mengayomi bangsa ini. Tanpa membeda-bedakan suku, agama, dan lainnya. (Buya Syafii Maarif).

Ingat, Konsepsi Prualisme dan toleransi yang dikonsepkan oleh Cak Nur bukan hanya sekedar mengayu dalam gagasan semata akan tetapi saya menyebut sebagai kompas Candradimuka. Karena itulah, ia telah aktualisasi secara rill dalam nafas pola pikir, laku maupun sikap kesehariaannya dalam berhubungan dengan sahabat-sahabat agama kristennya, hindu, budha dan lainnya. Itulah kenapa, saya menyebut bahwa anak muda indonesia hari ini kita harus belajar pada sosok yang saya sebut sebagai Resonansi sekaligus Reformen Kemanusiaan sejati yang menyinari Api Islam, Keindonesiaan dan Kemanusiaan sekaligus Kemodernan bagi kita semua. Cak Nur adalah guru dan teladanan kita semua, guru semua anak bangsa. “Selamat Marayakan Natal bagi sudara/i kristiani. Semoga, damai suka cita meryertai kita semua dalam semangat kebangsaan, meretas jalan keadilan. (*)