TERNATE, NUANSA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Provinsi Maluku Utara menutup tahun 2022 dengan catatan yang terbilang kelam. Pasalnya, memeriksa kembali hasil pemeriksaannya sendiri yang sebelumnya telah diberi opini wajar tanpa pengecualian (WTP) dinilai tanpa alasan yang jelas.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Khairun, Abdul Kadir Bubu, mengatakan pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT) memang diberi ruang oleh peraturan perundang-perundangan. Namun frasa “tertentu” di sini meski dijelaskan secara objektif dan terbuka agar tidak terkesan hanya menyasar hal tertentu dengan tujuan tertentu berdasarkan pesanan.
Menurutnya, opini wajar tanpa pengecualian yang diberikan BPK kepada Pemda Provìnsi Maluku Utara merupakan ujung dari rangkaian proses administrasi yang dilakukan oleh BPK sendiri, sehingga memeriksa kembali atas kesimpulan itu sama artinya dengan mencoreng wajah sendiri dan menguatkan kesimpulan publik bahwa lembaga ini memang layak untuk tidak dipercaya, karena aparatur lembaga saja tidak percaya dengan keputusan lembaga tersebut.
“Sekali lagi saya katakan kepada BPK, hentikan saja PDTT dan fokus pada hal-hal penting untuk audit anggaran tahun ini. Dalam kesempatan ini, saya hendak menyampaikan kepada BPK bahwa ada hal yang sangat penting yang mesti didalami betul oleh BPK, yakni praktek pengelolaan dana hibah kepada organisasi masyarakat yang dalam amanatan saya bermasalah besar,” ujar Abdul Kadir kepada Nuansa Media Grup (NMG), Jumat (30/12).
Kata dia, karena sedari perencanaan sudah dikondisikan untuk dipreteli. Boleh jadi sebagian anggota DPRD tidak tahu-menahu soal dana sebesar Rp 26 miliar itu. Namun ada oknum anggota DPRD lain yang tahu betul soal dana hibah ini, bahkan mengarahkan kepada organisasi tertentu yang merupakan relasinya. Caranya terbilang sederhana, yakni oknum anggota DPRD mempercayakan kepada relasinya untuk mengatur organisasi penerima, selanjutnya dilakukan pembagian dengan metode belah semangka.
“Dalam pandangan saya, masalah dana hibah sangat seksi jika dibawa ke ranah hukum. Oleh karena pembuktiannya sangat sederhana dan aparat penegak hukum akan mendapatkan prestasi besar jika dapat membawa masalah ini sampai ke pengadilan, karena ada banyak pihak yang bakal terjerat seperti oknum anggota DPRD Provinsi, ada juga oknum ASN jika sengaja menutup-nutupi informasi dana hibah,” tuturnya.
“Dari informasi yang saya dengar, bahwa sang pengatur berpesan kepada organisasi penerima “jika nanti ada pemeriksaan, akui saja kalian terima 100 persen tanpa potongan”. Bahkan ada yang menjamin tidak ada temuan dari BPK jika ada pemeriksaan nanti,” sambung kandidat Doktor Hukum Administrasi Negara Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta itu.
Abdul Kadir mengimbau kepada aparat pemeriksa dalam hal ini BPK yang bakal memeriksa penggunaan anggaran ini, bahwa modal kwitansi saja tidak cukup untuk membuktikan validitas laporan kegiatan organisasi penerima bansos tersebut, terlebih nilai uang yang diterima juga tidak sedikit, yakni kurang lebih Rp 500 juta setiap organisasi.
“Andai saja saat pemeriksaan tidak ada temuan sekalipun, tetap masalah ini harus dibawa ke proses hukum. Apakah itu melalui polisi, jaksa atau KPK. Karena praktek semacam ini telah berlangsung dari tahun-tahun sebelumnya dan bukti-bukti yang ada saat ini lebih dari cukup sebagai bahan laporan untuk menjerat pihak-pihak yang saya sebutkan. Toh ada mekanisme audit invertigasi yang dapat digunakan untuk mengungkap semuanya,” tutupnya. (tan)