Opini  

Warisan Waktu

Basri Amin.

Oleh: Basri Amin

Parner di Voice-of-HaleHepu

TRADISI Barat sebenarnya tidak sejak awal menandai “awal tahun” dengan bulan Januari. Jauh ke belakang, sebelum penamaan Masehi dilakukan, tradisi Romawi justru memulai kesadaran dan praktik kewaktuannya pada bulan Maret. Itulah bulan yang dipilih sebagai awal kalender mereka karena mengikuti “kalender pertanian” yang membentuk penghidupan awal mereka. Ada apa dengan Maret? Di bulan itulah “musim Semi’ (Spring) bermula.

Di negara-negara yang mengenal beberapa musim, warganya sangat menantikan musim Semi. Di musim ini, udara terasa lebih segar, sepoi-sepoi. Tumbuhan mulai menumbuhkan tunas-tunas daun baru –setelah periode musim gugur; saat tumbuhan menggugurkan daunnya—; suhu keseharian rata-rata 60% hawa panas dan 40% hawa dingin; binatang muncul dan keluar dari tempat persembunyiannya; hewan mulai bereproduksi dan berkembangbiak; tumbuhan berbunga dan bermekaran; burung-burung kembali dari tempat migrasi; sayur dan buah-buahan mulai tumbuh segar dan siap dipanen.

Dalam tradisi Romawi, Maret identik dengan ‘Martius”. Dialah yang dianggap sebagai (penguasa) “pelindung cocok-tanam” dan pengatur penghidupan alam ternak. Setelah itu, nama waktu dinamai dengan (bulan) April, dicocokkan dengan tradisi mereka tentang “Ketuhanan Cinta-Kasih Sayang”. Kata April itu sendiri berasal dari tradisi-bahasa Latin, yang oleh orang Romawi dilekatkan pada (planet) Venus. Dipinjam sekian lama dari tradisi Yunani, April sama dengan Aphro. Selanjutnya, digunakanlah bulan Mei (May) yang tak terpisah dengan konsepsi Yunani tentang “Dewi Kesuburan”, dari kata-kata klasik Maius atau Maia, hal mana selanjutnya dipinjam oleh orang Perancis lama dengan sebutan Mai, kemudian terpakai oleh bahasa Inggris lama dengan May (Mei).

Yang unik adalah bulan JUNI, berasal dari mitologi Latin lama, Junius atau Juno, sebuah nama bagi “Ratu Pengatur Surga” dan sebagai Pelindung “dunia perempuan”. Untuk nama-nama bulan selanjutnya, proses sejarah (politik) Romawi mulai memberi pengaruh. Bulan JULI misalnya, identik dengan pengabadian kaisar bernama Julius Caesar sebagai penghargaan kepadanya. Begitulah berikutnya, nama Agustus dipilih untuk mengabadikan August Caesar, penguasa kekaisaran Romawi yang pertama. Kata “Agustus” sendiri diartikan sebagai “sesuatu yang dimuliakan-diagungkan…”.

Pada awalnya, menurut kesadaran (perhitungan) kewaktuan Romawi, penyebutan (bulan) Juli (quintus) dipakai untuk menyatakan bulan yang ke-lima dan Agustus (sextus) untuk yang ke-enam. Hal ini terus dipakai secara berjenjang, yakni September (septem) untuk urutan ke-tujuh, Oktober (octo) untuk ke-delapan, November (novem) untuk bulan ke-sembilan. Terakhir, Desember (decem) untuk bulan ke-sepuluh.

Kehadiran (bulan) Januari dan Februari justru nanti diciptakan di periode selanjutnya. Ia tidak menjadi nama bulan awal sejak pertama. Kehadirannya bertujuan “melengkapi” jumlah dua belas bulan dalam setahun. Januari diambil dari penghargaan orang Romawi atas mitologi mereka sendiri, yakni Januarius. Sebuah nama ini diabadikan sebagai “Dewa Penjaga Pintu Gerbang” dan “Dewa Permulaan” dalam tradisi-anutan sekian abad. Nama Februarius (Februari) diabadikan untuk merayakan sebuah “acara pemurnian” dalam tradisi Romawi.

Melalui peran Kaisar Romawi, Julius Caesar, kalender Romawi direvisi dan memaksa penggunaan rujukan mitologis dan penegasan tentang “365” hari dalam setahun. Tergantikanlah bulan Maret oleh Januari sebagai permulaan tahun. Sejak itu, “1 Januari” menjadi Penanda waktu dan berfungsi sebagai acuan teknis (pengetahuan) masyarakat manusia dalam merancang/mengerjakan sesuatu. Januari sebagai simbol mitologis “dua wajah dewa Janus” yang menandai dua pandangan mata yang mampu melihat “kepergian” bagi yang lama dan “kedatangan” bagi (sesuatu) yang baru (Linda & Flavell, 2006:156-157).

Antara yang lama dan yang baru; antara yang kita capai dan yang kita ancangkan, selamanya akan berubah seiring (kesadaran) kita sendiri dalam menegaskan nilai-nilai anutan dan harapan-harapan yang kita rumuskan. Di setiap kategori waktu yang kita sebut, tidaklah otomatis mengantarkan kita kepada kesadaran tertentu. Di dalam setiap (rangkaian) waktu yang terjangkau oleh nalar dan naluri kita, yang butuh kita cermati dan hayati lebih lanjut adalah tentang “permulaan yang banyak” (Zerubavel, 2003). Karena itu, kita harus punya siasat hidup dan berdaya-tolak jika berada dalam keadaan yang terkondisikan atau merasa terdikte oleh kuasa tertentu yang pongah menguasai waktu dan kesadaran kita yang otentik. (*)

Penulis adalah Parner di Voice-of-HaleHepu

Email: basriamin@gmail.com