LABUHA, NUANSA – Hasil pemilihan kepala desa (pilkades) Kabupaten Halmahera Selatan tahun 2023 yang diumumkan oleh Bupati Halsel, Usman Sidik, beberapa waktu lalu menuai polemik di sejumlah desa di Halsel, bahkan menyita perhatian publik. Hal itu lantas mendapat sorotan dari berbagai kalangan, termasuk aktivis, akademisi dan elit partai politik. Kali ini akademisi kembali angkat bicara.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Khairun, Abdul Kadir Bubu, menuturkan terkait Bupati yang mengumumkan sendiri hasil penyelesaian sengketa pilkades tanpa prosedur resmi adalah cara liar yang tidak dikenal dalam Undang-undang. Begitu juga memberhentikan sementara panitia penyelesaian sengketa pemilihan kepala desa hanya dengan pernyataan di media massa tanpa surat keputusan, adalah cara paling purba yang sama sekali tidak dikenal dalam hukum administrasi dan pemerintahan modern.
“Pernyataan Bupati di media masa pekan lalu yang memberhentikan sementara panitia penyelesaian sengketa pemilihan kepala desa, oleh karena salah satu personelnya diduga terlibat penyuapan kemudian membentuk tim di luar panitia merupakan cara yang jelas-jelas salah. Kalau salah satu personelnya bermasalah cukup diganti saja, bukan menangguhkan lembaganya, karena itu pengumuman hasil sengketa pemilihan kepala desa oleh Bupati tanpa melalui proses penyelesaian sengketa yang tepat secara prosedural adalah cara paling konyol dan jelas bertentangan dengan Undang-undang,” ujar Abdul Kadir kepada Nuansa Media Grup (NMG), Kamis (19/1).
Ia menerangkan, konstitusional penyelesaian sengketa pemilihan kepala desa secara tegas disebutkan bernama panitia penyelesaian sengketa pemilihan kepala desa, yang model penyelesaian masalahnya melalui sidang ajudikasi dalam menyelesaikan sengketa yang diajukan kepadanya. Karena itu, meskipun dibentuk oleh Bupati dan bertindak untuk atas namanya, tetapi bukan berarti wewenang itu dapat diambil alih sebagaimana dalam wewenang penugasan biasa (mandatori) sebagai atasan kepada bawahan.
Menurutnya, dalam soal penyelesaian sengketa pilkades, hasilnya sangat bergantung pada proses dan prosedur yang dilakukan oleh panitia penyelesaian sengketa dengan model sidang ajudikasi sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundangan-undangan. Karena itu, sejak panitia penyelesaian sengketa dibentuk melalui surat keputusan Bupati, maka sejak itu panitia bekerja secara otonom tanpa intervensi Bupati.
Selain itu, dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang desa pasal 37 secara rinci mengatur pelaksanaan hingga penyelesaian sengketa pemilihan kepala desa. Undang-undang menyebut panitia semisal panitia pemilihan kepala desa, karena kepala desa dipilih secara langsung oleh masyarakat bukan diangkat oleh Bupati. Adapun mekanisme penyelesaian sengketa, Undang-undang mewajibkan kepada Bupati untuk menyelesaikannya dalam kurun maktu 30 hari melalui panitia penyelesaian sengketa.
“Sebutan panitia maknanya agar pejabat yang bentuknya (Bupati) tidak sewenang-wenang menggunakan jabatannya untuk menentukan siapa pemenangnya. Karena pemenangnya telah ditentukan oleh masyarakat dan telah diumumkan panitia pelaksananya, sehingga jika terjadi sengketa maka panitialah yang menilai dan memutuskan. Tentu dengan prosedur penyelesaian sengketa yang tepat dan berkeadilan. Sedangkan wewenang Bupati hanyalah meresmikan dan mengesahkan dalam bentuk surat keputusan dari hasil yang disampaikan kepadanya dałam kurun waktu 30 hari sejak menerima laporan hasil penyelesaian sengketa yang telah diputuskan dan diumumkan panitia penyelesaian sengketa pemilihan kepala desa,” jelasnya.
Lebih lanjut, ia mengatakan sengketa pilkades adalah menyangkut hal yang spesifik terjadi yang dianggap berpengaruh atau setidak-tidak mempengaruhi keterpilihan seorang calon kepala desa menjelang dan saat berlangsungnya pemungutan suara. Oleh sebab itu, jika ada alasan administratif sebagaimana yang berkembang saat ini, seperti ada dugaan cakades terlibat partai politik dan soal lain yang berhubungan dengan syarat calon kepala desa, mestinya telah selesai di pencalonan dan verifikasi administrasi oleh panitia pemilihan kepala desa.
“Kalau masih ada soal-soal semacam itu yang menjadi objek sengketa pilkades, artinya panitia pemilihan kepala desa di semua tingkatan tidak melakukan apa-apa saat pendaftaran. Catatan pentingnya adalah bahwa jabatan kepala desa adalah jabatan yang dipilih bukan diangkat. Karena itu, wewenang Bupati disebutkan jelas mengesahkan bukan mengangkat, sebagaimana ditentukan langsung dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014. Dalam konteks ini, saya mengimbau kepada orang-orang terdidik di sekitar Bupati, hendaknya memberi pertimbangan yang tepat dan masuk akal, agar Bupati tidak menggunakan hasrat kuasanya sendiri yang jelas-jelas di luar nalar peraturan perundang-undangan,” imbuh Dade, sapaan akrab Abdul Kadir Bubu.
Karena itu, sambung Kandidat Doktor Hukum Administrasi Negara Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta ini, DPRD Halsel hendaknya menggunakan hak interpelasi atau angket untuk mempertanyakan tindakan Bupati yang nyatanya menabrak perintah Undang-undang. Selain itu, Dade mengingatkan kepada semua orang terdidik di sekitar Bupati, terutama mereka yang berlabel akademisi bahwa yang disebut prerogatif yang selalu menjadi dalil tindakan oleh Bupati adalah wewenang berbatas yang telah ditentukan penggunaannya oleh peraturan perundang-undangan.
“Karena itu, jika dalil prerogatif yang merupakan wewenang istimewa itu digunakan secara serampangan berdasarkan pada kemauan sendiri, maka tindakan semacam itu adalah tindakan liar yang tidak dikenal dalam hukum pemerintahan modern manapun. Karena itu, para pembantu Bupati yang berlatar belakang akademisi, hendaknya memberi pertimbangan yang akademis dan berdasar, sehingga Bupati tidak semaunya bertindak atas kehendaknya sendiri,” tegas Dade. (rul/tan)