TERNATE, NUANSA – Pernyataan Kuntu Daud yang menyamakan aksi tenaga kesehatan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Chasan Boesoirie seperti komunis, masih menjadi permbicaraan menarik di tengah-tengah publik. Kini, Ketua DPRD Provinsi Maluku Utara tersebut telah dipolisikan tenaga kesehatan, akibatnya pernyatan secara terbuka itu.
Dosen Fakultas Hukum Unkhair, Abdul Kadir Bubu angkat bicara menyikapi pernyataan Kuntu Daud tersebut. menurutnya, ancaman dan pelabelan adalah cara-cara kolonial dan rezim fasis untuk membungkam suara kritis, sekaligus cara untuk menghindari tanggung jawab. Pengandaian tenaga kesehatan yang melakukan protes seperti komunis, sebagaimana disampaikan Ketua DPRD Provinsi, tidak ubahnya seperti cara kolonial terhadap pribumi yang kritis.
“Terlebih hal itu diucapkan oleh Ketua DPRD yang fungsinya sebagai agregator dań artikulator kepentingan rakyat. Kuntu Daud dalam soal ini menjungkir balikkan slogan partai tempat dia bernaung yakni PDIP sebagai partai Wong Cilik. Oleh karena tindakan personalnya yang konyol itu. Pengandaian komunis kepada tenaga kesehatan yang protes atas hak mereka yang terabaikan juga mereduksi kepantasan Kuntu Daud sebagai Ketua DPRD Provinsi Maluku Utara,” tegasnya.
Menurutnya, dalam undang-undang nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Dearah, yang disebut pemerintah dearah adalah Gubernur bersama dengan DPRD dan dibantu oleh perangkat daerah. Atas dasar itu, semestinya masalah TTP tenaga kesehatan haruslah dipecahkan secara bersama antara Gubernur dengan DPRD sehingga tidak berlarut-larut seperti saat ini. Pemerintah dalam soal semacam ini dianggap mampu membayar sehingga caranya mesti dipecahkan secara bersama dan bertanggungjwab juga bersama.
Abdul Kadir Bubu mengatakan, sikap gubernur menebar ancaman yang diikuti Sekda adalah representasi dari sikap pemerintah daerah yang tidak pantas, karena tidak didahului dengan pemenuhan kewajiban, sementara sikap Kuntu Daud selaku Ketua DPRD yang memberikan pengandaian seperti komunis kepada tenaga kesehatan yang protes adalah sikap pribadi sehingga yang patut bertanggungjawab adalah pribadinya sendiri dengan cara mengundurkan diri dari Ketua DPRD atau dimundurkan oleh partainya atau Badan kehormatan agar tidak menimbulkan masalah berikutnya.
Lanjutnya, polemik tentang TTP tenaga kesehatan adalah permasalahan gagal bayar oleh pemerintah Provinsi Maluku Utara yang sudah tertunggak selama 15 bulan. Disebut gagal bayar karena pembayaran TTP bagi tenaga kesehatan berkualifikasi wajib bagi pemerintah provinsi dan menuntut pembayaran adalah hak bagi tenaga kesehatan oleh karena meraka telah melaksanakan tugas diluar yang diwajibkan sehingga pembayaran atas apa yang mereka kerjakan itu disebut TTP bukan gaji.
Dalam hüküm, apa yang menjadi hak itu menimbulkan kewajiban bagi pihak lain untuk memenuhinya. TTP adalah hak bagi tenaga kesehatan dan pemerintah dilekati kewajiban untuk memenuhinya oleh sebab itu mesti dicarikan jalannya apapun bentuknya untuk memenuhi hak-hak tenaga kesehatan tersebut. “Dalam konteks ini saya berpandangan bahwa gagal bayar pemerintah provinsi atas TTP tenaga kesehatan hingga 15 bulan adalah pemicu yang menimbulkan reaksi protes atas sikap pemerintah tersebut. Sederhananya gagal bayar adalah aksi dan protes nakes hanyalah reaksi dari aksi Pemerintah Provinsi itu,” jelasnya.
Dengan demikian, ia menambahkan, langkah pemerintah dalam hal ini Gubernur yang menebar ancaman tanpa didahului dengan pemenuhan hak para tenaga kesehatan yang protes adalah tindakan yang tidak tepat. Bahwa ancaman hingga hukuman selalu beriringan dengan kewajiban tanpa pemenuhan kewajiban kemudian menebar ancaman sama artinya dengan mempertontonkan kebobrokan dan kepongahan. Tiada hukuman tanpa kewajiban. (rii)