TERNATE, NUANSA – Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (Mahupiki) menggelar sosialisasi Undang-undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Kegiatan sosialisasi kali ini bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas Khairun Ternate, yang digelar secara luring dan daring. Secara luring bertempat di Gamalama Ballraom, Sahid Bela Hotel di Kota Ternate, Maluku Utara, Senin (30/1).
Turut hadir dalam kegiatan ini, yakni Forkopimda Provinsi dan Forkopimda di 10 Kabupaten/Kota se-Provinsi Maluku Utara, Pimpinan Perguruan Tinggi se-Provinsi Maluku Utara, kantor/badan/lembaga pemerintah di Provinsi Maluku Utara dan Kota Ternate, akademisi, Non-Government Organization (NGO) kepemudaan, keagamaan, dan organisasi kemahasiswaan.
Kegiatan yang dimoderatori Ajeng Kamaratih ini menghadirkan narasumber yang sangat berkompeten, yakni Plt Dirjen Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham Dr. Dhahana Putra, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada Prof. Dr. Marcus Priyo Gunarto, dan Ketua Senat Akademik Fakultas Hukum Universitas Indonesia Dr. Surastini Fitriasih.
Ketua Panitia, Dr. Amriyanto, mengatakan tujuan diadakan sosialisasi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ini diharapkan pengetahuan dan pemahaman para peserta terkait KUHP baru Indonesia tersebut dapat ditrasformasikan kepada masyarakat secara luas, agar masyarakat mendapatkan pengetahuan dan pemahaman yang baik terhadap keberadaan KUHP Indonesia sebagai magnum opus (mahakarya) bangsa Indonesia.
Ia menjelaskan, KUHP berasal dari “Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WWSNI)” yang merupakan turunan dari Wetbaek van Strafrecht (WvS) dari negara Belanda dan berlaku di Indonesia pada tahun 1918 dan menjadi Peraturan Hukum Pidana melalui UU No. 1 Tahun 1946 yang diberlakukan di Pulau Jawa dan Madura. Selanjutnya diberlakukan secara nasional melalui UU No. 73 Tahun 1958.
Deskripsi singkat tersebut tampak bahwa KUHP merupakan produk hukum Belanda (produk hukum kolonial) yang melalui konkordansi di berlakukan pada wilayah Hindia Belanda (Indonesia). Kehendak dan keinginan kuat anak bangsa untuk memiliki KUHP sendiri mengalami perjalanan yang sangat panjang.
“RKUHP pertama kali disusun pada tahun 1970 yang diketuai oleh Prof. Sudarto, dan berlanjut pada tahun 2004 yang diketuai oleh Prof. Muladi. Akhirnya, pada tahun 2023 melalui UU No. 1 Tahun 2023 Indonesia memiliki KUHP sendiri yang merupakan magnum opus (mahakarya) anak bangsa sendiri,” jelasnya.
Menurut dia, sosialisasi Undang-undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tersebut dilakukan guna memberikan pengetahuan dan pemahaman kepada peserta terkait dengan kehadiran KUHP baru Indonesia.
“Kehadiran KUHP baru Indonesia hari ini menjadi suatu kebanggaan bagi pemikir hukum pidana Indonesia yang betul-betul memahami sejarah konkordansi Hindia Belanda (Indonesia). Mengingat KUHP baru Indonesia hari ini menjadi magnum opus (mahakarya) anak bangsa, karena menjadi produk hukum Indonesia (dibuat dan disusun oleh pakar/ahli hukum pidana Indonesia), yang sudah mengikuti perkembangan dinamika hukum pidana dunia yang berorientasi pada hukum pidana modern yang memberikan jaminan kepastian hukum,” katanya.
Sembari menambahkan, berbagai keutamaan dan keunggulan KUHP baru Indonesia hari ini, yakni melihat keadilan dalam bingkai keadilan korektif, keadilan restoratif, dan keadilan rehabilitative. Selain itu, kehadiran KUHP baru menjadi sacial defence yang menekankan perlindungan masyarakat dan menjaga keseimbangan dan keselarasan hidup di masyarakat, rekodifikasi hukum pidana, tujuan dan pedoman pemidanaan, penentuan sanksi menggunakan modified delphi method, judisial pardon/rechterlijk pardon, pertanggungjawaban pidana korporasi dan peruasan jenis pidana pokok. Keutamaan-keutamaan hukum pidana baru Indonesia tersebut mewarnai lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. (tan)