LABUHA, NUANSA – Sengketa pemilihan kepala desa (Pilkades) di Halmahera Selatan menuai polemik, bahkan terus mendapat sorotan publik. Apalagi Bupati Halsel, Usman Sidik, pernah melontarkan pernyataan bahwa peraturan daerah (Perda) nomor 7 tahun 2015 terbilang lemah.
Meski masalah tersebut terus mencuat, rupanya orang nomor satu di Pemkab Halsel itu terkesan tidak menggubris aduan sebagian masyarakat Halsel. Karena itu, publik kembali mempertanyakan fungsi pengawasan DPRD Halsel.
Akademisi Universitas Khairun, Abdul Kadir Bubu, mengatakan bahwa dalam keadaan semacam ini, mestinya 30 anggota DPRD Halsel sudah layak menyatakan pendapat. Bukankah tindakan pejabat tata usaha negara selalu berdasarkan pada peraturan perundang-undangan? Sementara tindakan bupati jelas-jelas keliru dan menyalahkan Perda-nya.
“Yang menarik dari semua ini adalah DPRD Halsel sangat menikmati kedaan ini, sehingga diam seribu bahasa. DPRD Halsel seharusnya menyatakan pendapat atas tindakan bupati ini, bukan malah menikmati keadaan seperti itu dan diam seribu bahasa,” ujar Abdul Kadir kepada Nuansa Media Grup (NMG), Senin (30/1).
Menurut Dade, sapaan karibnya, selama gejolak masyarakat terkait hasil pilkades, DPRD justru mengurung diri dalam artian tidak berani berbicara apalagi mengambil sikap secara kelembagaan. Yang dalam poin ini dapat diduga bahwa 30 anggota DPRD telah tersandera kepentingan oleh Bupati Usman.
Di sisi lain, Dade menilai bupati tidak tuntas memahami secara objektif dalam membaca Perda nomor 7 tahun 2015 tentang tata cara pencalonan, pemilihan, pengesahan, pengangkatan dan pemberhentian kepala desa.
Dosen Fakultas Hukum Unkhair itu lantas mengibaratkan bupati seperti menepuk air didulang terpercik muka sendiri.
“Begitulah kira-kira kata yang tepat untuk Bupati Halsel dalam hal ini penyelesaian sengketa pilkades Halsel tahun 2023,” katanya.
Dade menuturkan, jika membaca secara saksama Perda Nomor 7 tahun 2015 tentang tata cara pencalonan, pemilihan, pengesahan, pengangkatan dan pemberhentian kepala desa secara spesifik, tidak ditemukan sebutan tim penyelesaian sengketa pilkades.
Justru yang ada hanyalah tim pengawas, sebagaimana termaktub dalam Bab VII dengan tugas dan fungsinya sangat luas, yakni mengawasi proses hingga memutuskan sengketa jika ada pengaduan.
Sebutan tim penyelesaian sengketa pilkades justru diatur dalam Peraturan Bupati nomor 10 tahun 2022 tentang petunjuk dan tatacara pemilihan kepala desa sebagaimana termaktub dalam Bab XI.
“Mungkin Bupati Usman terlalu sibuk, sehingga tidak membaca Perda dengan baik dan tuntas. Termasuk Peraturan Bupati yang dia tandatangani sendiri, sehingga perlu dibacakan oleh para pembantu dan staf ahli di sekelilingnya agar Bupati tidak asal bicara untuk melegitimasi tindakannya yang salah itu,” cetusnya.
“Bupati mendalilkan bahwa apa yang dilakukannya berdasarkan atas keputusan tim penyelesaian sengketa bentukannya. Pertanyaan mendasarnya adalah apakah tim itu telah menjalankan prosedur penyelesaian sengketa dengan baik dan terbuka,” sambungnya dengan nada tanya.
Ia lantas mempertanyakan mengapa bukan tim penyelesaian sengketa yang mengumumkan hasilnya, tetapi justru bupati yang mengumumkan hasilnya.
Masih menurut Dade, ada calon kades yang menang dinyatakan kalah dan ada yang dipending yang oleh bupati menyebutkannya sebagai diskresi.
Dalam Perda nomor 7 tahun 2015 tentang tata cara Pencalonan, Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan pemberhentian kepala desa dalam pasal 68 ayat (6), proses penyelesaian sengketa tidak menghalangi tahapan pelaksanaan pilkades sampai dengan pelaksanaan pelantikan kepala desa terpilih.
Dalam konteks ini, ia menegaskan bahwa norma ini menutup ruang diskresi bupati untuk bertindak lain selain yang sudah ditentukan dalam Perda maupun Peraturan Bupati. Dengan demikian maka tindakan bupati yang menangguhkan proses pelantikan yang disebutnya “pending”.
Karena itu, diskresi-nya merupakan pernyataan yang tidak berdasar. Dalam soal pilkades langsung sebagaimana di Halsel, seorang bupati hanya menjalankan norma yang sudah ditentukan dalam peraturan perudang-undangan.
“Tidak boleh lain dari itu, yang dalam hukum administrasi negara disebut sebagai wewenang terikat. Sementar diskresi adalah wewenang bebas yang digunakan dengan dasar pertimbangan situasi karena tidak ada norma atau norma yang ada tidak memadai,” tuturnya.
“Bupati dalam soal kepala desa, diskresi hanya dapat dipergunakan dalam hal pengangkatan penjabat kepala desa, karena wewenang itu melekat pada anda (bupati). Ada nama-nama yang diusulkan, sehingga anda menggunakan hak untuk menentukan. Karena itu substansi diskresi dalam hukum administrasi negara adalah wewenang terbatas karena sudah dibatasi oleh peraturan perundang-undangan,” imbuhnya.
Lebih detail, Dade menerangkan dalam hal pilkades langsung, undang-undang menyebutkan bahwa bupati menetapkan (bukan memilih) hasil pilkades melalui keputusan bupati. Menetapkan maknanya bahwa kemenangannya telah ditentukan oleh masyarakat dan telah diumumkan oleh panitia pelaksana.
“Jika ada sengketa, maka sudah diproses dengan prosedur yang baik dan terbuka serta sudah dibacakan hasilnya oleh tim penyelesaian sengketa yang disebut tim pengawas itu, sehingga bupati hanya menerima laporan sekaligus menetapkankan hasil itu dalam bentuk surat keputusan,” pungkasnya kandidat doktor hukum administrasi negara Universitas Islam Indonesia Yogyakarta itu. (rul/tan).