Opini  

Tahun Demokrasi dan Gelombang Kepentingan

Amin Sadek.

Oleh: Amin Sadek, S.H

Pegiat Hukum dan Politik

Pertama-tama kita tidak perlu percaya pada janji-janji. Dunia ini penuh dengan janji: Janji tentang kekayaan, keselamatan abadi, cinta tak terbatas. Ada orang-orang yang berpikir mereka bisa menjanjikan apa saja, ada yang percaya begitu saja pada apapun yang bisa menjamin masa depan yang lebih baik. Orang-orang yang membuat janji yang tak dapat ditepati akhirnya merasa tak berdaya dan frustasi, dan nasib yang sama juga menanti orang-orang yang percaya pada janji-janji seperti itu.” (Paulo Coelho dalam novel The Devil and Miss Prym)

AWAL tahun 2023 saat ini kita diperhadapkan dengan isu-isu demokrasi yang ditandai Pemilu 14 Februari 2024 mendatang, hal ini menjadi tantangan  masyarakat yang telah memenuhi syarat sebagai warga negara Indonesia genap berusia 17 tahun terdaftar sebagai pemilih di Daftar Pemilih Tetap (DPT).

Demokrasi adalah panggung kepentingan, setiap tahun Pemilu sebagian orang berambisi mempertahankan kedudukan, dan ini tersistematis. Baik itu pada pemilihan umum untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden maupun anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), serta untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), hingga pada pemilihan kepala Daerah. Olehnya, kita tidak bisa memahami pemilu hanya wacana atau demokrasi hanya isu. Menariknya para kelompok yang berkepentigan dengan kekuatan Incumbent atau petahana justru menjadi gelombang kepentingan yang berindikasi pada menurunnya indeks demokrasi di tingkat lokal hingga Nasional, dan ini bahaya Demokrasi.

Kran demokrasi membuka ruang yang begitu bebas, sehingga siapa saja bisa menjadi terbaik termasuk Incumbent atau Petahana yang buruk kinerja. Keadaan serupa juga akan terjadi politik dengan berbagai macam cara, harus di upayakan demi terwujud keinginan serta nafsu memenangkan pemilu. Selain itu, politisi yang belum mapan juga mesti jadi pertimbagan khusus demi terwujud pemimpin yang baik.

Idealnya ketika kedaulatan diserahkan, dengan harapan harus amanah, tahun demokrasi 2024 butuh pembaharuan bukan butuh Petahana yang buruk kenerja, atau sebaliknya politisi pemula yang hanya bisa berjanji besok akan lebih baik, lebih buruk lagi politisi minim pengalaman. Dengan demikian, kehadiran demokrasi terbuka luas itu, siapa saja bisa menjadi terbaik tanpa tolak ukur khusus yang tegas.

Apalagi saat ini gelombang kepentingan yang menjadi sasaran kelompok-kelompok tertentu. Permasalahan lainnya ialah buruknya kualitas kepemimpinan dan tentu tidak akan berimplikasi pada upaya pembaharuan, serta 2024 akan melahirkan pemimpin hanya kepentingan kelompok. Hal itu, bisa kita lihat lemahnya UU Republik Indonesia No 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum khusus pada Bab VI Pengusulan, Penetapan Pasangan Calon Presiden dan Pengusulan, penetapan pencalonan Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, sekaligus pengusulan, penetapan bakal calon di Pemilu kepala daerah.

Sebagaimana secara eksplisit dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 BAB VI tentang pengusulan bakal calon presiden, tata cara penentuan, verifikasi sampai pada penentuan bakal calon Legislatif. Hal itu, pasal demi pasal tidak memberikan kejelasan tegas, demokrasi adalah kedaulatan Rakyat maka seluru kelompok kepentingan terarah secara benar dan pasti, jika sebaliknya! batal, sebab demokrasi sasaran kepentingannya Masyarakat.

Keabsahan Pemimpin Demokrasi

Undang-Undang Dasar Negara Repoblik Indonesia 1945, Pasal 1 ayat (2). Kedaulatan berada di tangan Rakyat dan di laksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Di susul ayat (3). Negara Indonesia adalah Negara Hukum. ini menjadi dasar seluru perihal Demokrasi, bahwa demokrasi basisnya hukum. Keberagaman saran dan pendapat dimuliakan, semua gerakan kepentingan atas dasar hukum dan itu hanya untuk kepentingan orang banyak. Di tahun Demokrasi Kita harus menyadari perihal bagaimana memilih, orang yang tidak baik sangat berpotensi memimpin, sebaliknya yang baik berpeluang jatuh. Dilain sisi kita juga sadar, bahwa semua tugas-tugas kesejahteraan Rakyat dan perubahan, baik itu dari aspek ekonomi, sosial, budaya, atau sesuatu yang kita cita-citakan  terwujud sempurna hanya bisa di realisasikan melalui kekuasaan politik. Sebab itu, pemimpin harus amanah.

Kedaulatan yang diserahkan oleh Rakyat. Baik itu, kepada pemimpin secara demokratis atau diwakilkan melalui pemilihan umum itu, tidaklah dipahami secara sempit, para pemimpin yang telah diserahkan kedaulatan oleh rakyat juga banyak yang tidak ingin tahu setelah kedaulatan dipegang oleh suatu otoritas tertentu atau pihak yang memilikinya.

Banyak juga bersenang-senang, gembira, setelah sah kedaulatan berpindah tangan melalui Pemilu. Hal itu, dapat di lihat pada pemimpin hanya mengarahkan kemewahan pribadi, rumah mewah, kelompok tertentu atau orang yang di kenal dekat lebih terkesan tinggi kedudukannya, bisa jadi kelompok tertentu saja, tanpa menyadari rakyat banyak yang memberikan kedaulatan.

Kebijakan publik hanya dimanfaatkan oleh sekelompok tertentu, ekonomi rakyat, budaya, kesehatan bahkan pendidikan yang berhubungan dengan kebijakan publik mulai hilang pelan-pelan hingga tahun kekuasaan tersisa satu tahun. Bila demikian! Apa yang di lakukan kalau bukan gelombang kepentingan. Berbagai cara dilakukan politik demi rebut kembali jabatan, termasuk berbohong dihadapan publik (Kompas: “Janji Politik, Janji yang Tak Perlu Dipercayai”). Misal, tidak ada sungai jembatan pasti dibangun bila terpilih lagi 2024 mendatang, sekolah anak keluarga kurang mampu di janjikan, semua kesehatan biaya murah, bahkan rumah ibadah dibangun kembali demi menjadi publik figur.

Kepentingan Masyarakat Dalam Pemilu

Partisipasi Masyarakat dalam Pemilu sangat menentukan arah perubahan suatu Daerah. Hal itu menjadi lebih tegas, apabila partisipasi Masyarakat tidak boleh terpengaruh dengan gelombang kepentingan kelompok tertentu. Kondisi yang lebih buruk lagi, pemilih tidak didasari pengetahuan dasar tentang bagaimana mengukur kemampuan orang bisa diserahkan tanggungjawab kedaulatan melalui Pemilu.

Menyerahkan kedaulatan melalui pemilu kepada seseorang atau sekelompok orang merupakan hal yang tidak hanya dengan modal hayalan saja. Lebih fatal lagi, tipe masyarakat yang sangat mudah terpengaruh oleh politik uang (money politic). Gelombang kepentingan politik uang, biasanya berasal dari kelompok kepentingan inkamben atau petahana, hal ini di harapkan kepada masyarakat sebagai pemegang kedaulatan agar tidak tergiur oleh pengaruh-pengaruh yang berefek buruk Demokrasi. Menentukan pilihan di satu hari pemilu itu, mengarahkan arah pembangunan, ekonomi, sosial, budaya, dan kesejatraan selama lima tahun lamanya. Hal itu, harus lebih teliti dan konsisten dalam menghadapi tahun Demokrasi 2024 mendatang.

Memilih pemimpin haruslah pemimpin yang baik, pemimpin yang tidak bermasalah, pemimpin berkompotesi. Rekam jejak (traderecord) seogianya dilihat secara baik dari segi pendidikan, organisasi, dan kepemimpinan untuk inkamben atau petahana. Setidaknya ada potensi masalah menjadi rujukan untuk diteliti. Terlepas dari hal itu, menurut penulis jadilah pemilih yang tidak mudah dimobilisasi oleh janji politik. Tentukan pilihan terbaik dengan mengedepankan Visi misi menjadi pemimpin terbaik. (*)