JAILOLO, NUANSA – Penanganan kasus jual beli lahan oleh Pemerintah Kabupaten Halmahera Barat yang dihibahkan ke Dinas Pendidikan dan kebudayaan (Disdikbud) kelihatannya tidak ada progres. Karena itu, keseriusan Kejaksaan Negeri (Kejari) Halbar dalam menangani kasus tersebut dipertanyakan.
Praktisi hukum Maluku Utara, Ahmad Rumasukun, mengatakan jika mencermati proses penanganan perkara dugaan tindak pidana korupsi pengadaan lahan pada tahun anggaran 2021 yang dihibahkan ke Disdikbud untuk pembangunan kantor cabang UPTD pendidikan, maka hal yang perlu dipahami dan dijelaskan ke publik adalah mengenai tujuan dari suatu penyidikan.
Anggota DPD Perkumpulan Penasihat dan Konsultan Hukum Indonesia (PERHAKHI) Malut itu menuturkan, tindakan penyidikan oleh Kejari Halbar tidak boleh diulur-ulur tanpa adanya alasan hukum yang logis dan adil. Karena hal demikian sangat berpengaruh pada kepastian hukum acara dan opini publik.
“Sebagaimana yang tertuang dalam pasal 1 angka 5, bahwa yang dimaksud dengan penyidikan adalah serangkaian tindakan dari penyidik untuk mengumpulkan bukti dan seterusnya, guna menemukan tersangka dari tindak pidana tersebut,” ujarnya kepada Nuansa Media Grup (NMG), Jumat (17/2).
Menurut dia, dengan pengertian dan kaitannya dengan serangkaian tindakan penyelidikan oleh Kejari Halbar, maka sudah seharusnya kasus a quo telah mendapatkan titik terang dalam hal ini adanya penetapan tersangka dari dugaan tindak pidana dimaksud, karena sebelumnya telah dilakukan serangkaian tindakan pemeriksaan (penyelidikan), di mana kesimpulan dari pemeriksaan tersebut adalah peristiwa ini merupakan tindak pidana.
“Itu artinya dalam tenggang waktu yang tidak terlalu lama, menurut hukum acara mestinya tindak pidana tersebut sudah harus ada tersangkanya,” cetusnya.
Ia juga menambahkan, untuk memahami lebih lanjut mengenai norma hukum penetapan tersangka, maka dipandang perlu untuk dibaca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 21/PUU-XII/2014 Juncto Peraturan Mahkamah Agung (PERMA 4/2016) tentang larangan peninjauan kembali putusan praperadilan yang pokoknya menegaskan bahwa sepanjang penyidik telah memiliki dua alat bukti yang cukup, maka penetapan tersangka tersebut sah.
“Jika dua norma hukum di atas dikaitkan secara konsisten dengan tindakan penyidikan oleh Kejari Halbar, maka sangat tidak masuk akal apabila belum ada tersangka dalam kasus a quo, padahal kasus a quo tindakan penyidikannya sudah cukup lama,” tuturnya.
“Lantas ada apa dengan Kejari Halbar? Pertanyaan ini perlu dijawab secara jujur dan logis oleh Kejari Halbar, karena bagaimana pun publik akan menaruh curiga atas proses penyidikan yang demikian. Publik ingin memastikan akhir dari tindakan penyidikan dalam kasus a quo,” sambungnya.
Karena itu, Kejari Halbar sebagai bagian dari negara terkualifikasi sebagai public rehctpersoon atau badan hukum publik yang memastikan terlaksananya kepentingan umum berdasarkan tugas dan tanggung jawab yang distribusikan oleh peraturan perundang-undangan.
Dengan kata lain, kejaksaan adalah satu dan tidak terpisahkan dengan bidang tugas dan kewenangan selaku penyidik dalam perkara-perkara tertentu tidak dapat terpisahkan dengan kedudukan dan jabatannya dalam lembaga kejaksaan. Lebih jelasnya, lihat pasal 2 ayat (3) UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
Lebih detail, ia menerangkan, berdasarkan bidang tugas dan kewenangan kejaksaan selaku penyidik sebagaimana tersebut di atas dan dikaitkan dengan tenggang waktu penyidikan dalam perkara a quo, maka sangat tidak logis jika sampai saat ini Kejari Halbar belum mengantongi hasil audit kerugian keuangan negara dari BPKP.
“Kalau misalkan hasil audit dari lembaga yang berwenang belum ada karena alasan hukum yang kuat dan patut, maka hal ini perlu disampaikan ke publik sebagai upaya pertanggungjawaban sekaligus transparansi atas penanganan perkara dugaan tindak pidana, supaya publik juga tahu dan dapat memahami tentang kendala-kendala penyidikan,” imbuhnya.
Kata dia, publik saat ini sangat menaruh percaya kepada Kejari Halbar sebagai bagian dari penggerak dan sekaligus penentu penegakan hukum dengan beragam perangkat dan komponen peraturan perundang-undangan yang telah ada saat ini, maka sikap menempatkan hukum yang adil terhadap setiap orang dalam proses hukum adalah impian besar publik.
“Publik juga cukup banyak mendengar, melihat dan merasakan keluh kesah masyarakat terhadap penegakkan hukum kita yang semakin hari semakin sangat memprihatinkan, maka kami pun tidak ingin bila ada predikat buruk publik ke Kejari Halbar sebagai institusi penegak hukum yang turut berperan mewujudkan ketidakadilan dengan berbagai pendekatan yang menyimpang dalam kasus a quo,” tuturnya.
“Kami berharap Kejari Halbar sungguh-sungguh dan profesional menempatkan hukum acara sebagai skala prioritas dengan berpegang teguh pada prinsip hukum acara yang cepat, sederhana dan biaya ringan, sehingga kasus a quo secepatnya mendapatkan kepastian dan keadilan hukum dalam penanganannya,” tambahnya sembari berharap.
Diketahui, lahan seluas 3.760 meter persegi yang dibeli oleh Pemkab Halbar dari pemilik seorang anggota DPRD Halbar Riswan Hi Kadam yang bakal dihibahkan ke Pemprov Malut untuk pembangunan kantor UPTD pendidikan. Apalagi pembelian lahan tersebut menggunakan APBD dengan pagu anggaran kurang lebih Rp543.061.952.
Sebelumnya juga, belakangan penyidik kejaksaan dalam perkara kasus dugaan korupsi yang ditemukan adanya indikasi mark up dan penggelembungan nilai harga yang dibeli oleh Pemkab Halbar, pihak Kejari telah memeriksa lebih dari 10 saksi, termasuk pemilik lahan Wakil Ketua II DPRD Halbar, Riswan Hi. Kadam, Sekda Halbar Syahril Abdul Rajak, Kepala BPKAD Halbar Chuzaemah Jauhar dan juga mantan Kabag Pemerintahan Halbar Demianus Sidete. (adi/tan)