Oleh: Rifan Basahona
Mahasiswa PBA IAIN Ternate/Ketua Komisariat KAMMI IAIN Ternate
“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, Ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah, Menulis adalah bekerja untuk keabadian”. (Pramoedya Ananta Toer)
SABDA sejarah telah membuktikan bahwa kaum intelektual memiliki peran penting bagi lahirnya berbagai macam peradaban dunia. Mulai dari zaman Yunani kuno hingga hari ini telah kita saksikan bahwa tradisi-tradisi intelektual telah membuka kran kegemilangan dunia baik dunia Timur maupun dunia Barat.
Ilmu pengetahuan mengalir bagaikan air dan mengubah seluruh agenda-agenda umat manusia, peradaban-peradaban besar mulai hadir dengan berbagai macam kecanggihan yang tidak bisa dielakan, manusia telah meninggalkan zaman primitif, tradisional dan menuju pada zaman yang kita kenal dengan era five point zero (5.0) yang penuh dengan berbagai macam kecanggihan teknollogi yang memudahkan hubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lain.
Kontribusi kaum intelektual masa lalu yang terus gigih dalam mempertahankannya lewat trdis-tradisi seperti diskusi-diskusi, kajian-kajian ilmiah dan penerjemah buku-buku ilmu pengetahuan yang tidak pernah terhentikan sehingga ilmu pengetahuan terus berkembang pesat di seantero dunia saat ini. Setiap zaman terus lahir para ilmuan-ilmuan jenius yang melahirkan berbagai macam karya-karya besar dengan berbagai konteks permasalahan yang terjadi, baik sosial, politik, ekonomi, kesehatan, agama, budaya, dan lain sebagainya. Rasanya tidak salah kalau dikatakan bahwa peradaban dibangun lewat pena atau tulisan.
Secara historis, dapat kita saksikan bahwa berbagai macam peradaban lahir dari kegiatan aktivitas tulis menulis. Bangsa Yunani dikenal sebagai salah satu peradaban yang maju pada saatnya karena jejak-jejak tulisan yang dihasilkan oleh para intelektualnya. Demikian juga dengan perdaban-peradaban lain seperti Mesir, Babilonia, Cina hingga Romawi, mereka diakui sebagai peradaban dunia, semua itu karena hasil tulis menulis para intelektualnya.
Dalam peradaban Islam pun tidak kalah penting, coba kita melihat ke belakang bahwa para ulama-ulama kita yang menjadi arsitek kejayaan Islam masa lalu adalah para penulis yang ulung. Dan sampai saat ini karya-karya mereka telah dijadikan sebagai rujukan dari berbagai macam disiplin ilmu pengetahuan.
Dulu, dunia Islam berjaya dan meningalkan peradaban Eropa. Namun peradaban itu mengalami dekadensi setelah perang, dari sisnilah terjadi berbagai macam dinamika kehidupan yang berkepanjangan. Salah satu dinamika atau penyebab mundurnya perdaban Islam juga karaena akibat dari hilangnya tradisi-tradisi membaca dan menulis, padahal tradisi tersebut yang menjadi cahaya kegemilangan peradaban Islam di masa itu.
Dalam sejarah bangsa kita pun tidak pernah alpa dengan tradisi-tradisi demikian, seperti yang kita kenal bahwa ulama-ulama Nusantara seperti Hadratu Syaikh Hasyim Asy’ari pendiri Nahdlatul Ulama (NU) yang menulis sekitar 12 karyanya yang membahas hal-hal yang strategis terutama masalah akidah, Buya Hamka yang telah menyelesaikan berpuluh-puluh buku dan menulis tafsir Al-Azhar yang berkaitan dengan hukum Islam, dan masih banyak ulama-ulama lain yang melakukan hal yang sama.
Hal itu terus berlangsung bahkan berjalan hingga sekarang. Di zaman kolonial Belanda, para founding father, sebagai mana Hos Cokro Aminoto yang menulis berbagai macam buku salah satu di antaranya Sosialime dalam Islam, Ir. Soekarno yang menulis buku salah satu di antaranya Nasionalisme Islamisme, Marxsisme, Muhammad Hatta yang menulis buku salah satu di antaranya Alam Pikiran Yunani dan berbagai macam buku-buku lain yang itu semua menjadi sumbangsi besar bagi kemerdakan bangsa ini dari belenggu penjajahan kolonialisme.
Di era modern saat ini sebagaimana kita kenal Kiai Ali Mustafa Yakup seorang imam masjid Istiqlal Jakarta yang selama hidupnya menulis sekitar 45 judul buku, ia memiliki motivasi kuat agar dakwahnya bisa terus dimanfaatkan orang sepanjang zaman. Beliau terinspirasi oleh sebuah syair yang masyhur, yang mengatakan bahwa “yang kalian tulis akan kekal sepanjang masa, sedangkan penulisnya akan hancur dikandung tanah”.
Persoalan ini juga telah diterangkan secara eksplisit dalam al-Qur’an Surah al-alaq ayat 4, Allah SWT, mengatakan bahwa “Allah telah mengajarkan manusia dengan pena” ayat ini sebagai salah satu ayat yang pertama kali Allah turunkan oleh Nabi Muhammad SAW, untuk berdakwah. Hal ini telah memberikan penjelasan kepada kita bahwa dengan mengawali sebuah dakwah Rasulullah SAW, memulai dengan seruan dan ajakan untuk membaca dan menulis. Kenapa harus demikian, untuk menjadi pelajaran bagi kita secara bersama, kita bisa mengetahui sejarah umat manusia dari awal hingga hari ini.
Belajar dari masa lalu sejarah sesungguhnya bisa menjadi pembelajaran bagi kita sekalian untuk menjadi dirinya sendiri mencapai sebuah puncak kebahagiaan. Dan sejarah jika tidak digambarkan dalam tulisan, maka akan menjadi sebuah dongeng. No document no history. tulisan telah menjadi refleksi eksistensi manusia di dunia. Dengan tulisan manusia beralih dari zaman sejarah, peradaban berkembang semakin cepat karena munusia kemudian menggoreskan huruf-huruf mulai dari dinding, daun, kertas, sampai yang tersimpan secara digital. Dengan tulisan, persoalan masa lalu dapat diketahui dan bisa diubah.
Kegiatan menulis juga menjadi salah satu cara untuk kita dikenang sepanjang masa, kalupun anda orang yang sukses, akan tetapi tidak pernah menulis dan tidak ada yang mengabadikan kesuksesan anda dalam buku, maka kesuksesan tersebut hanyalah milik anda ataupun keluarga anda sendiri dan itu akan hilang ditelan waktu. Akan tetap jikalau hal itu anda tuliskan maka anda akan dikenang sepanjang masa walaupun anda sudah tidak lagi berada di atas dunia, sebagaimana dikemukakan oleh salah satu penulis Helvy Tiana Rosa bahwa “ketika sebuah karya selesai ditulis, maka pengarang tak mati, ia baru saja memperpanjang umurnya lagi.
Menulis merupakan salah satu bentuk budaya intelektual yang dicapai manusia dalam peradaban masyarakat klasik, karena masyarakat kemudian merasakan bahwa komunikasi lisan tidak lagi memadi di dalam kehidupan mereka sehari-hari. Dengan demikin timbullah ide-ide sederhana untuk melambangkan setiap apa yang mereka ucapkan, dan bukan hanya sekadar itu, menulis juga sebagai salah satu kegiatan untuk memberikan edukasi permanen kepada khalayak luas tentang berbagai macam problem yang terjadi.
Menulis sejatinya adalah upaya seorang individu untuk merawat ingatan atau pengetahuannya agar tidak mudah ia melupakan apa yang sudah ia pelajari. Karena dengan menulis, secara sengaja ia telah mepertahankan eksistensinya untuk terus dikenang sepanjang masa sebagaimana sebuah pepatah bahwa “dengan membaca anda akan mengenal dunia dan dengan menulis anda akan dikenal dunia”. Seno Gumira Ajidarma, dalam bukunya yang berjudul “Ketika Jurnalisme Di Bungkam Sastra Harus Bicara” mengatakan bahwa belajar menulis adalah belajar menangkap momen kehidupan dengan penghayatan paling total yang paling mungkin dilakukan manusia.
Dengan gambaran di atas, tentu meberikan indikasi bahwa output dari tulis menulis para intelektuallah yang mewarnai kehidupan umat manusia di dunia hari ini. Ilmuan-ilmuan yang menemukan kecanggihan teknologi hari ini karena mereka belajar dari hasil tulisan-tulisan para intelektual terdahulu. Kalau ilmu-ilmu intelektual terdahulu tidak ditulis dalam buku-buku, maka bisa jadi kecanggihan yang dinikmati hari ini tidak terjadi.
Tentu kita ketahui secara bersama bahwa ilmu pengetahuan hari ini sangat penting bagi kita secara individu maupun masyarakat secara umuu. Maka harus dijaga dan terus diwarisi dengan pena atau tulisan-tulisan. Kita sekarang telah berada di zaman yang mungkin sangat muda untuk melakukan hal demikian para ulama dan kaum intelektual terdahulu telah menulis berjilid-jilid kitab dengan menggunakan tulisan tangan, namun mereka mampu untuk melakukanya apalagi kita yang hidup di era yang kata Budi Hardiman “aku klik maka aku ada” sebagai salah satu judul bukunya, mungkin akan terasa lebih mudah untuk melakukanya.
Sebagai seorang intelektual maupun mahasiswa, kita memiliki tanggung jawab besar baik secara akademisi, organisatoris, maupun sosial. Sebagaimana termaktub dalam tridarma perguruan tinggi yakni “pendidikan, penelitian dan pengabdian”. Kita dituntun untuk terus respons terkait dengan berbagai macam problem sosial yang terjadi. Dengan demikian, kita harus memiliki ragam metode dalam menyelesaikan persoalan tersebut di antaranya adalah dengan menulis. Sebagai kegiatan pengembangan diri tulis menulis juga bisa kita jadikan sebagai instrumen untuk memecahkan masalah yang ada. (*)
(Pena adalah instrumen edukasi permanen terhadap pikiran).
By: Rifan Basahona.