Opini  

Perempuan, Cinta dan Keadilan Sosial

TRISNA Amrida.

Oleh: Trisna Amrida

Pegiat Sosial

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM. Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Puji syukur kehadirat Allah, Tuhan semesta alam yang mengatur segala ketetapan. Salawat serta salam teriring pada Baginda Rasulullah. Manusia humanis yang telah hadir, memberi nilai juang terhadap hak-hak perempuan. Karena seperti yang telah kita ketahui bersama, sebelum Islam itu datang, kita pernah dipertontonkan sebuah ketidakadilan antara laki-laki dan perempuan.

Perempuan dianggap sebagai sesuatu yang tak ada harganya. Tak ada nilainya. Sampai ketika Islam itu datang, diangkatlah derajat perempuan. Dikembalikan sesuai fitrahnya, bahwa memang tidak ada pembedaan antara laki-laki dan perempuan, dibedakan oleh amal dan perjuangan nilai-nilai kebaikan dihadapan Allah. Semoga kita para perempuan terkhusus yang muslim, tidak mengkhianati perjuangan tersebut dengan tidak menjadi perempuan yang tumbuh dengan prinsip yang teguh, bermartabat dan tentunya memiliki kebermanfaatan yang banyak untuk menanamkan nilai-nilai perjuangan sebagai seorang perempuan.

1. Perempuan

Mengawali ini, saya ingin mengutip sedikit syair oleh seorang sufi yang Mashur, Jalaludin Rumi “Wanita adalah seberkas sinar Tuhan; Dia bukanlah kekasih duniawi, dia berdaya cipta, engkau boleh mengatakan dia bukan ciptaan”. Ataupun oleh Ibnu Arabi menambahkan sekaligus menegaskan bahwa “Bayangan Tuhan yang paling sempurna itu dapat dinikmati oleh mereka yang merenungkan-Nya dalam seorang perempuan. Perempuan adalah perantara paling sempurna untuk mengantarkan seseorang merenungkan Zat Pencipta”.

Dalam hal ini menjelaskan, bahwa betapa perempuan sangat begitu agung. Saking diagungkannya perempuan dikiaskan sebagai “Seberkas sinar Tuhan”. Perempuan menjadi icon bagaimana keindahan itu tidak bisa hanya sekadar didefinisikan. Dalam agama Islam pun, perempuan memiliki sisi yang begitu kompleks. Nilainya begitu berharga. Mulai menjadi seorang anak, istri sampai pada posisi ibu. Inilah satu keistimewaan perempuan yang tentunya tidak bisa disandingkan, apalagi dibanding-bandingkan dengan laki-laki.

Menyadari ini, perempuan perlu kiranya konsisten memiliki prinsip hidup untuk tidak membiarkan dirinya merasa terbelakang, terdiskriminasi, apalagi menggerutu karena terlahir sebagai perempuan. Sungguh, sejatinya perempuan memiliki ruang besar untuk menanamkan nilai-nilai kebaikan.

“Wanita adalah madrasah pertama yang akan memformat generasi. Apa yang diterima anak maka itulah yang akan menentukan perjalanan hidupnya. Maka, wanita adalah orang pertama yang memberi kontribusi dalam kehidupan pemuda dan bangsa” (Hasan Al- Banna).

Menyadari ini, sudah seharusnya kita para perempuan masa kini menjadi tonggak berdirinya kemajuan umat dan bangsa ini. Adapun kualitas perempuan dapat mendukung kualitas bangsa, maka bagi perempuan haruslah meningkatkan kualitas diri kita agar nantinya dapat menciptakan kualitas generasi yang terbaik pula. Memberikan peluang bagi diri untuk belajar, menemukan dan menghidupkan potensi diri sehingga ikut berdaya dan berkarya.

2. Cinta

Perempuan itu tempatnya cinta. Dialah tempat cinta itu mengakar, cinta itu tumbuh, cinta itu berjuang. Begitu istimewa bukan? Keistimewaan itu dapat terbukti dengan bagaimana Allah memperlakukan perempuan. Perempuannlah yang diberi rahim, diberikan hati yang lembut, diberikan kekuatan jiwa yang besar. Dan laki-laki tidak bisa mengelak, apalagi mengimbangi hal itu. Itu dikhususkan untuk perempuan. Laki-laki, diberi peran lain juga oleh Tuhan. Itulah mengapa kalau di dalam Al-Qur’an, saat Allah menjelaskan tentang perempuan, maka Allah lebih banyak menjelaskan tentang hak-hak, sedang laki-laki banyak dijelaskan tentang kewajiban.

Yoyoh Yusrah: “Mendidik satu anak laki-laki sama dengan mendidik 1 laki-laki. Tapi saat kamu mendidik satu anak perempuan sama dengan kamu mendidik satu generasi.” Ini memberikan makna bahwa perempuan memang punya peranan besar terhadap sebuah generasi. Dan tidak boleh dibatasi, dibelakangkan. Apalagi didiskriminasi dalam pengambilan hak dan peran dalam peradaban untuk melahirkan generasi yang tumbuh dengan cinta kebenaran.

3. Keadilan Sosial

Perspektif budaya yang androsentris seolah mengukuhkan bahwa dunia ini adalah dunia maskulin. Sejak dahulu sebelum Islam hadir, dunia seperti dikuasai oleh lelaki. Lelaki bak seorang raja dan  perempuan hamba sahaya. Ironisnya pengukuhan itu dilakukan mengatasnamakan budaya dan perabadaban bahkan agama dan moral. Sejatinya hal ini bertentangan dengan spirit Islam yang dibawa oleh Rasulullah, yaitu mengangkat dan memuliakan perempuan. Atau mungkin di kepercayaan manapun.

Maka kiranya, hal ini perlu kita bedah bersama. Kembali merekonstruksi paradigma terhadap perempuan sehingga hegemoni laki-laki atas perempuan dapat terenyahkan dan terbangun konstruksi sosial budaya yang egaliter dalam kedudukan dan peranan yang sama sebagai makhluk Tuhan; yakni sebagai hamba dan khalifah fil ardh.

Mewujudnya paradigma baru terhadap perempuan dapat dilakukan dengan cara reinterpretasi atas teks-teks suci yang selama ini ditafsirkan dalam budaya maskulinitas yang dianggap bias menuju penafsiran yang egalitarian. Adapun salah satu strategi dalam upaya membangun paradigma tersebut dapat ditempuh melalui jalur pendidikan, yang sejatinya pendidikan senantiasa berorientasi pada suatu perubahan baik cara berfikir dan berperilaku. Bukan hanya itu, ruang-ruang pergerakan perempuan juga harus dimediasi. Dalam karir atau kesempatan berpolitik juga misalnya.

Kemerdekaan negara Indonesia ini tidak  terlepas dari hebatnya perjuangan perempuan. Maka,  ruang-ruang perjuangan untuk perempuan perlu dimediasi. Harus dan terus ada. Jika tidak, maka kitalah generasi pembaharu ini yang perlu memediasi. Untuk terus hadir memperjuangan nilai-nilai kebenaran.

Tentunya, yang menjadi catatan penting dalam hal ini adalah harapan keadilan sosial terhadap perempuan bukan berkisar untuk menggeserkan peran laki-laki. Melainkan peran keduanya beriringan, sejalan dengan potensi masing-masing yang terus dibiarkan terekspos.

Selanjutnya adalah, tentang tidak adanya pembatasan dalam implementasi keselarasan antara agama dan profesionalitas ruang kerjanya. Bagaimana seseorang bisa terus menjalankan kewajiban beragamanya sejalan dengan kewajibannya bernegara. Misalnya, tidak ada diskriminasi bagi mereka yang berjilbab, atau yang izin saat rapat untuk menunaikan shalatnya. Lalu terwujudlah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. (*)

Salam, merdeka!