Opini  

Pajeko, Wujud Persatuan Masyarakat Desa Saria

Achmad Gani Pelupessy.

Oleh: Achmad Gani Pelupessy

Kader HMI Komisariat FKIP Unkhair Ternate

Entah bagaimana tercapainya persatuan itu, entah bagaimana rupanya persatuan itu, akan tetapi kapal yang membawa kita ke Indonesia merdeka itulah kapal persatuan adanya.” (Ir. Soekarno).

SEUSAI mengilhami pesan bersejarah di atas, rupanya persatuan adalah sebuah ikhtiar yang penting dan sangat prinsipil. Ikhtiar yang dapat membawa manusia menjadi lebih baik dan merdeka. Dengan persatuan, setiap individu dapat bekerja sama untuk mencapai hal-ikhwal yang dicita-citakan.

Sebagai contoh, kemerdekaan Indonesia tidak akan dapat dicapai apabila dahulu masyarakat Indonesia lebih mengutamakan kemerdekaan pribadi atau kemerdekaan untuk sekelompok orang. Indonesia membutuhkan persatuan keseluruhan bangsa-bangsa, organisasi-organisasi, jong-jong, untuk menentang bahkan mengusir penjajah dari tanah air negeri ini. Oleh karena itu, ungkapan Soekarno di atas mencerminkan perjuangan masyarakat Indonesia dengan membentuk persatuan dan kesatuan.

Disamping itu, persatuan sebenarnya adalah keniscayaan. Dimanapun dan kapanpun, seluruh individu akan membentuk persatuan yang bertujuan untuk saling membantu dan tolong-menolong. Hal ini dikarenakan manusia tidak dapat hidup sendiri-sendiri. Sejalan dengan buku yang berjudul “Lentera Kehidupan; Panduan Memahami Tuhan, Alam, dan Manusia”.

Mulyadhi Kartanegara mengatakan bahwa di antara makhluk Tuhan yang ada di muka bumi ini, manusialah yang paling tidak bisa hidup sendiri. Manusia mutlak memerlukan bantuan sesama manusia untuk mempertahankan hidupnya. Tidak seperti hewan yang bisa hidup dengan mengonsumsi makanan seadanya di hutan, manusia perlu memasak dahulu makanannya.

Pada titik inilah keberadaan orang lain menjadi niscaya. Lebih dari pada itu, perihal persatuan ini haruslah serupa dengan konsep Ummah oleh Ali Syaria’ti yakni kumpulan orang, di mana setiap individu sepakat dalam tujuan yang sama dan masing masing saling membantu agar bergerak ke arah tujuan yang diharapkan. Apabila konsepsi Ali Syaria’ti tersebut diaplikasikan dalam persatuan masyarakat, niscaya segala yang diinginkan oleh masyarakat dapat terwujud-nyatakan.

Sehubungan dengan perihal persatuan, hal yang menarik ialah wujud atau rupa dari persatuan tersebut. Apabila Soekarno kebingungan dengan rupa/wujud dari persatuan seperti yang diungkapkan di atas, maka ada sebuah rupa dari persatuan yang dapat ditemukan di Desa Saria, persatuan tersebut yakni Pajeko.

Desa Saria merupakan salah satu desa di bagian Halmahera Barat (Halbar) yang berpotensi menciptakan kemakmuran dari hasil sumber daya yang ada. Sebagai bagian dari kepulauan Halmahera Barat, Desa Saria terbilang sebagai desa yang mungil apabila di bandingkan dengan desa yang lain. Namun, bukan berarti Desa Saria hilang dari jangkauan pengetahuan desa-desa yang lain. Lebih dari itu, Desa Saria justru dapat dikenal di manapun dan oleh siapapun.

Tidak berlebihan, apabila kita menyebut Desa Saria sedemikian rupa, sebab desa yang cukup produktif mengekspor ikan ialah Desa Saria. Aktivitas mengeksporikan tidak hanya berlaku di daerah Halbar semata, melainkan hampir di keseluruhan daerah yang ada di Maluku Utara. Hal ini yang membuat Desa Saria cukup di kenal sebagai desa penghasil ikan terbanyak.

Berkaitan dengan sumber daya alam tersebut, baik ikan atau rempah-rempah (cengkih, pala, kelapa, dan lain-lain) yang tersedia hampir di keseluruhan Maluku Utara misalnya, Hanna Rambe dalam bukunya Aimunadan Sobori menjelaskan bahwa, “entah apa yang di kehendaki pencipta alam semesta, di bola bumi ini, rempah-rempah hanya terdapat di lima pulau kecil tak ada di peta, di wilayah Nusantara sebelah timur. Mengapa pula pulau-pulau kecil itu yang menerima keistimewaan tersebut dari pencipta alam semesta?”.

Kutipan Hanna Rambe dapat mengindikasikan betapa istimewanya Maluku Utara (termasuk Desa Saria) dengan sumber daya alamnya. Baik cengkih, pala, ikan, ke semuanya istimewa dalam pandangan orang-orang di negeri barat. Desa Saria termasuk yang paling beruntung diberikan keistimewaan oleh pencipta alam semesta (istilah Hanna Rambe) melalui kekayaan ikan di dasar laut.

Dengan kekayaan yang melimpah tersebut mengharuskan masyarakat Desa Saria untuk bergotong-royong dalam menjalankan aktivitas menangkap ikan di laut. Prosesi penangkapan ikan dilakukan dengan menggunakan Pajeko, sebuah kapal persatuan yang menampung sekelompok orang yang bersepakat bekerja sama, saling membantu untuk mencapai tujuan yang sama.

Pajeko bukan kapal perang yang menggunakan mesin-mesin khusus dan canggih. Pajeko lebih merupakan kapal nelayan dengan dua mesin untuk menjalankan kapal, serta pada bagian tengahnya menampung sebuah jarring besar yang diperlukan untuk menangkap  ikan. Meskipun bukan kapal perang, Pajeko bisa diumpamakan dengan perang, karena jika sekelompok orang tersebut lengah, maka bisa jadi sia-sia usaha untuk mendapatkan ikan.

Intinya, Pajeko itu tentang kerja sama, tentang persatuan yang inheren. Tidak sekadar itu, Pajeko bagi masyarakat Desa Saria ialah kehidupan. Kesejahteraan dan kemaslahatan hidup sangat bergantung kepada sebuah kapal nelayan ini. Bukan tidak mungkin, dari sektor ekonomi, Pajeko punya peranan strategis. Masyarakat Desa Saria bisa bertahan hidup dan mendapatkan keuntungan materil adalah bersumber dari aktivitas nelayan ini, dan tentunya menggunakan Pajeko sebagai kemudinya.

Di lain sisi, aspek pendidikan dan kebudayaan juga ditentukan oleh Pajeko itu sendiri. Orang tua dapat menyekolahkan anak-anak menggunakan hasil dari aktivitas Pajeko, budaya saling berbagi juga tergantung pada Pajeko. Perihal ini lumrah terjadi, sebab di Desa Saria, salah satu mata pencaharian masyarakat ialah di laut sebagai nelayan. Sehingga, tentunya pada aspek ekonomi, pendidikan, dan kebudayaan sangat bergantung pada Pajeko tersebut.

Oleh karena itu, aktivitas orang-orang harus bersungguh-sungguh ketika berada di Pajeko. Persatuan yang inheren dalam aktivitas ini sangat dibutuhkan. Karena Pajeko bukan sebuah usaha yang mudah. Melainkan dapat dikatakan sebagai pekerjaan yang sulit, yang membutuhkan usaha ekstra, sinergitas yang tinggi, serta kekompakan dalam persatuan. Selain itu, sekelompok orang yang mengikuti Pajeko diperlukan memiliki kemampuan membaca lautan, daya penglihatan yang tajam, juga kemampuan melacak keberadaan ikan-ikan. Hal-hal ini sangat diperlukan untuk kelengkapan atas usaha yang akan dikerjakan. Sebagai sebuah kapal, Pajeko bukanlah kapal yang diceritakan oleh Nh. ini dalam bukunya Pada Sebuah Kapal, bukan pula kapal milik Santiago, seorang lelaki tua di laut Mexico yang dituliskan oleh Ernest Hemingway dalam bukunya The Old Manandthe Sea.

Pajeko adalah kapal yang menampung masyarakat biasa yang berupaya bersatu untuk memenuhi kehidupan. Meskipun hampir sama dengan kapal yang dimaksud dalam bukunya Ernest Hemingway, namun sebenarnya tidak sama. Kesamaan kedua kapal hanya pada segi fungsi, yakni untuk mencari ikan. Berdasarkan bentuk dan persatuan di kapal, keduanya berbeda.

Wujud persatuan pada Pajeko, serupa cerminan persatuan dan persaudaraan masyarakat Desa Saria. Pajeko seperti representasi dari desa sesungguhnya. Di dalamnya terdapat orang yang bertugas mengarahkan kapal, pemantau, penjaring, dan lainnya. Yang apabila di bandingkan punya kemiripan dengan struktur pengurus desa itu sendiri. Orang-orang yang berada di Pajeko punya komitmen yang kuat terhadap tujuan bersama. Mereka secara bersama menyampingkan kepentingan-kepentingan individu. Setiap pembagian hasil juga sama dan seimbang, tidak ada yang di lebih-lebihkan.

Sehingga, jika ditelisik lebih jauh, Pajeko tidak sekadar sebuah kapal biasa. Melainkan sebuah kapal yang memiliki nilai (value). Dalam hal ini, terdapat nilai persatuan/kemasyarakatan (NDP Bab5) juga terdapat nilai keadilan (NDP Bab6). Pada bagian Individu dan Masyarakat dijelaskan bahwa, perbedaan-perbedaan di antara individu merupakan suatu kebaikan.

Kebaikan yang dimaksud agar setiap individu mau untuk saling bekerja sama dan saling melengkapi. Sebab, dasar hidup gotong-royong ialah kesetiakawanan dan kecintaan sesama manusia dalam pengakuan akan adanya persamaan serta kehormatan bagi setiap orang. Penjelasan ini jika dikontekskan dengan kondisi masyarakat yang hendak mengikuti Pajeko, tentu memiliki kesamaan atau keterkaitan. Keterkaitannya terletak pada perbedaan individu yang berusaha untuk bekerja sama.

Begitupun pada bagian Keadilan Sosial dan Keadilan Ekonomi, bahwa setiap orang harus memperoleh bagian yang sama dan wajar. Hal ini pun sama dengan pembagian hasil dalam Pajeko. Pembagian tersebut tidak membedakan antara satu dan yang lainnya. Inilah wajah budaya yang perlu dilestarikan dan dirayakan keistimewaannya. Pajeko adalah budaya masa lampau, masa kini, dan masa akan datang. Pajeko di yakini sebagai budaya Desa Saria yang berwujud keharmonisan, keramahan, persatuan, keadilan, dan kerja keras.

Perwujudan ini yang dirasakan dan didapati oleh sebagian besar pendatang ke Desa Saria. Sikap ramah-tamah dan terbuka menerima pengunjung dari luar membuat hubungan menjadi lebih harmonis, bersatu dan tidak memandang bulu. Sikap hidup seperti ini menunjukkan sebuah peradaban yang sudah di tetapkan sejak dahulu oleh leluhur Desa Saria melalui adat-istiadat dan budaya yang berlaku.

Kendati pun budaya ini sudah terregenerasi ke semua masyarakat Desa Saria, baik yang berusia dewasa ataupun anak anak. Sehingga, dalam aktivitas hidup sehari-hari sangat menampakkan kebudayaan tersebut. Seperti dalam slogan yang diungkapkan menggunakan bahasa daerah, yakni “inoforubu-rubu rame-rame fo maku coho gia fo tagi rame-rame fo hida ngone na gam ena ne“, yang memiliki arti” mari kita sama-sama dan ramai-ramai berpegang tangan, kita sama-sama lihat kampung dan berjalan sama-sama.” Ungkapan ini tidak sekadar ungkapan biasa. Lebih dari itu, ungkapan tersebut merupakan slogan kebesaran masyarakat Desa Saria yang bermakna tentang persatuan dan persaudaraan. Persatuan yang menghendaki seluruh masyarakat Desa Saria untuk beramai-ramai menjaga desa.

Terakhir, ungkapan Soekarno yang berbunyi “Entah bagaimana rupanya persatuan itu, akan tetapi kapal yang membawa Indonesia merdeka itulah kapal persatuan adanya”. Untuk mengidentifikasi rupa atau wujud dari persatuan yang disampaikan oleh Pak Soekarno, tidak berlebihan apabila kita mengatakan Pajeko lebih mirip kapal persatuan yang membawa Indonesia merdeka itu. (*)