Oleh: Amran Tawari
Mahasiswa Program Studi Kehutanan Unkhair
WARISAN kekayaan alam kerap menjadi perbincangan hangat para investor, akademisi dan pegiat lingkungan di bangsa ini. Perbincangan ini memiliki kepentingan tersendiri dengan narasi yang berbeda-beda, ada yang sadar dan tak sadar. Di pihak pro lingkungan menolak keras eksploitasi secara masif, atas nama ekologi, di pihak kontra mengaminkan praktik eksploitasi, atas nama ekonomi dan tak peduli keutuhan ekologi.
Padahal, bila dipikir-pikir, mestinya harus ada keseimbangan dalam kedua perspektif itu, jangan hanya mementingkan soal ekonomi, tetapi mengabaikan soal ekologi yang bakal berdampak bagi kehidupan kita, karena lingkungan hidup tak dapat pisahkan dari kehidupan manusia, flora dan fauna yang hidup di hutan dan biota-biota yang hidup di lautan.
Ihwal kekayaan alam semacam ini, di Maluku Utara pun memiliki potensi sumber daya alam di laut dan hutan yang cukup melimpah: hasil hutan kayu (HHK) yang melimpah, pun hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang cukup untuk keberlansungan hidup. Selain HHK dan HHK, pun flora dan fauna di daerah ini cukup banyak di daerah ini. Dilansir dari LPM Aspirasi (3/32021), bahwa Maluku Utara memiliki 40 jenis burung endemik, 15 antaranya dilindungi pemerintah melalui Undang-undang Nomor 160 Tahun 2018.
Burung-burung ini menjadi aset daerah Provinsi Maluku Utara, yang mesti kita rawat dan lestarikan. Namun, siapa sangka, beberapa burung ini hidup pulau tempat eksploitasi pertambangan. Burung-burung ini menjadi sorotan penting, sebab alih fungsi lahan dan hutan dapat mengancam berkurangnya habit satwa yang melangsungkan hidupnya di hutan. Namun tidak terpungkiri, kekayaan ini bakal dimorek habis para investor, dan kita hanya dapat melongo dan menunggu imbas dari eksploitasi ini.
Misalnya, di Halmahera Tengah, Halmahera Selatan dan Halmahera Timur, menjadi dapur eksploitasi para investor. Beberapa izin usaha pertambangan ini berakibat fatal rusaknnya ekosistem hutan. Tak hanya hilangnya ekosistem hutan, kecerobohan pihak perusahan di hilir kerap kali berakibat fatal hingga ke laut. Hal ini terjadi di Pulau Obi, kecerobohan pihak perusahan tambang mencemari laut, ini berdampak buruk bagi nelayan berkurangnya daerah tangkapan ikan masyarakat pesisir.
Laut yang tercemari oleh limbah membuat ikan menjauh dari tempat tinggal ikan mencari makan, tak hanya ikan, terumbu karang pun ikut tercemar. Tak hanya pertambangan menjadi pelaku utama tercemar dan kotornya laut, tetapi sebagian masyarakat pesisir turut menjadi pelaku tercemarnya laut. Hal ini karena minimnya kesadaran masyarakat pesisir tentang sampah dan laut sehingga masyarakat masih membuang sampah di pesisir pantai.
Perihal pencemaran lingkungan hidup ini, kerap menjadi masalah yang tak ada ujungnya, meskipun kadang menurun, tetapi beberapa tahun ke depan pun angka kerusakan lingkungan hidup. Bila melirik data dari BPS di tahun 2017-2018 angka deforestasi hutan Maluku Utara mencapai 8.903,0, dan tahun 2018-2019 angka deforestasi kawasan hutan mencapai 1.780,7. Sementara tahun 2019-2020 angka deforestasi kawasan hutan Maluku Utara mencapai 1.506,8. Artinya, angka deforestasi dalam kawasan hutan 5 tahun terakhir telah menurun secara drastis dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
Hal ini bersifat dinamis, yang mungkin bakal berubah dan meningkat kembali beberapa tahun kemudian, jika tak dirawat dan diperhatikan kelestariannya. Mestinya masyarakat di sekitar hutan mestinya diberikan hak memanfaatkan potensi, menjaga dan melestarikan hutan yang tersedia. Pemberdayaan masyarakat sekitar hutan harusnya dilakukan dan dibentuk kelompok tani hutan untuk memanfaatkan dan melestarikan hutan, atau membentuk kelompok sadar sampah di pesisir dengan skema yang berbeda dengan melihat kekuatan dan memanfaatkan peluang yang ada, sebagai program pendukung dan memberdayakan masyarakat pesisir. Ini menjadi penting untuk menjaga keasrian hutan, keberlanjutan hidup tetua, karena hutan dan laut adalah celengan terakhir generasi selanjutnya. (*)
“Jaga alam, jaga hutan, yakin dan percaya umur panjang,” kata orang Tobelo Dalam.