Hukum  

DPPPA Malut Perkuat Penanganan Hukum bagi Korban Kekerasan Perempuan dan Anak

Foto bersama dalam rakor APH se-Malut.

TERNATE, NUANSA – Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) Provinsi Maluku Utara menggelar rapat koordinasi Aparat Penegak Hukum (APH) 10 kabupaten/kota se-Malut. Rakor bertajuk “Penanganan terhadap Perempuan dan Anak yang Berhadapan dengan Hukum” itu berlangsung di Ball Room Bela Hotel Ternate, Selasa (7/3).

Kegiatan Rakoor APH ini dihadiri oleh Deputi Perlindungan Hak Perempuan Kementerian PPPA-RI, Asdep Perlindungan Khusus Anak Kememterian PPPA-RI, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Maluku Utara dan instansi terkait lain.

Foto bersama dalam rakor APH se-Malut.

Kepala Dinas PPPA Malut, Musrifah Alhadar, mengatakan kegiatan ini bertujuan untuk mejawab tuntutan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2023 tentang tindak pidana kekerasan yang menuntut layanan terkoordinasi, terintegrasi dan lintas fungsi bagi semua pihak, baik lembaga penegak hukum, maupun lembaga masyarakat UPTD PPA untuk menangani, melindungi dan memberikan layanan kepada perempuan dan anak yang menjadi korban.

Musrifah menuturkan, pelayanan kepada perempuan dan anak korban kekerasan pada akhir tahun 2020, Pemerintah Provinsi Maluku Utara telah membentuk sebuah unit pelayanan teknis atau yang disebut unit pelaksana teknis daerah perlindungan perempuan dan anak (UPTD PPA).

“Untuk UPTD PPA 10 kabupaten/kota di Provinsi Maluku Utara baru Halbar, Halsel, Tikep, Ternate dan Halut sudah ada rekomendasi dan saat ini sementara diproses. Sehingga melalui rakoor ini hasil yang ingin kami capai adalah adanya kesepakatan bersama dalam penangan/pelayanan hukum perempuan dan anak korban kekerasan secara terkoordinasi, terintegrasi dan lebih komprehensif dan memberikan efek jera kepada pelaku,” katanya.

Menurut dia, Rakoor kali ini merupakan fasilitasi pertemuan bagi aparat penegak hukum se-Provinsi Maluku Utara dan berbagai stakeholder yang terlibat dalam penanganan perempuan dan anak korban kekerasan yang terdiri dari berbagai unsur, di antaranya kepolisian, kejaksaan, pengadilan, PERADI, Kanwil Hukum dan Ham.

Sementara, Wakil Gubernur Malut, M. Al Yasin Ali menyampaikan, fenomena eksploitasi dan kekerasan terhadap perempuan dan anak di Indonesia sering menjadi sorotan media. Apalagi berbagai pihak mensinyalir bahwa faktor ekonomi, sosial, dan budaya merupakan penyebab utama terjadinya situasi tersebut.

Selain itu, ditinjau dari perspektif hukum, fenomena ini dapat diduga muncul karena minimnya ketentuan-ketentuan yang memuat perlindungan hukum yang tertuang di dalam peraturan perundang-undangan, tidak konsistennya implementasi terhadap peraturan tersebut oleh pemerintah, atau kurang seriusnya proses penegakan hukum ketika terjadi kasus-kasus eksploitasi dan kekerasan terhadap perempuan dan anak.

“Dalam sistem peradilan pidana terpadu, Jaksa memegang peran penting untuk mengawal dan memastikan pernenuhan akses keadilan bagi perempuan dan anak. Pemenuhan akses keadilan bagi perempuan dan anak dalam penanganan perkara pidana dilakukan secara proporsional dengan memperhatikan peran dan kedudukannya dalam perkara pidana, asas nondiskriminasi, asas pelindungan, perkembangan tindak pidana dan hukum acara pidana, termasuk penyalahgunaan ataupun pemanfaatan teknologi informasi, konvensi internasional, serta aspek hukum lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” tutupnya. (ano/tan)