Oleh: Ayhu Zaara
“Hai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal satu sama lain, Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah ialah yang paling bertakwa di antara kamu…” (QS. Al-Hujurat: 13).
MESKI islam telah jelas mengatakan bahwa laki-laki dan perempuan adalah mitra kerja yang saling melengkapi dalam membangun peradaban, namun masih saja ada praktik-praktik patriarki yang menganggap perempuan sebagai makhluk inferior dan bahkan mendiskriminasi perempuan. Diskriminasi ini terjadi dalam beberapa praktik keagamaan yang diinterpretasikan secara patriarkal. Seolah mendapat legitimasi teologis dari paham agama yang bias gender, perempuan hingga kini masih saja terpinggirkan dari hak-haknya bahkan dalam beragama. Padahal, kesetaraan dan keadilan merupakan prinsip fundamental dalam islam, tak terkecuali terhadap perempuan.
Hegemoni paham dan kultur agama yang patrarki ini, salah satunya disebabkan oleh institusi dan tafsir agama yang bias gender dan tidak ramah perempuan. Hal ini terjadi karena tafsir agama yang dipegang oleh institusi agama cenderung memberikan pandangan yang memperkuat peran dan posisi laki-laki dalam masyarakat, sementara peran dan posisi perempuan dianggap lebih rendah atau tidak sejajar (second sex).
Sebagai contoh, beberapa tafsir agama mengajarkan bahwa laki-laki memiliki hak yang lebih besar dibandingkan perempuan dalam berbagai aspek kehidupan, seperti hak waris, hak atas posisi keimaman, dan lain sebagainya. Tafsir seperti ini kemudian menjadi alasan bagi institusi agama dan penganutnya untuk memperkuat hegemoni paham dan kultur patriarki. Pengalaman serta kontribusi perempuan terhadap agama bahkan tidak mendapatkan tempat dalam sejarah dan wacana agama. Perempuan dianggap memiliki intelektualitas dan kemampuan rasional yang lebih rendah dari laki-laki. Dalam tafsir al-Qurtubi misalnya, dikatakan bahwa laki-laki memiliki kelebihan akal, managerial, kejiwaan dan naluri, yang tidak dimiliki oleh perempuan. Tak sampai di situ, masih banyak lagi ahli tafsir lain seperti Ibn Kasir, Fakhruddin al-Razi atau Sayyid Qutb yang mengukuhkan superioritas laki-laki dengan legitimasi tekstual dalil-dalil dari al-Quran maupun Hadis (Studi [lmu-ilmu AI-Qur’an dan Hadis:2009).
Kesetaraan merupakan prinsip yang penting dalam Islam, dan dapat ditemukan dalam banyak prinsip fikih. Fikih adalah studi tentang hukum Islam, yang mencakup aturan-aturan dalam kehidupan sehari-hari umat Muslim, termasuk masalah perempuan. Namun, interpretasi fikih lebih banyak dipengaruhi oleh budaya patriarki yang mengutamakan kepentingan laki-laki dan mengabaikan hak-hak perempuan. Sehingganya diperlukan upaya untuk mereformasi tafsir agama agar lebih inklusif dan memperhatikan perspektif gender yang lebih luas dan adil. Perlunya sebuah pendekatan fikih yang ramah perempuan untuk memahami agama secara egaliter atau seimbang.
Pendekatan kontekstualisasi fikih perempuan mengambil perspektif yang berbeda dari mayoritas ulama laki-laki yang mendominasi tradisi fikih Islam. Dalam pendekatan fikih perempuan, para ulama perempuan berusaha untuk memahami dan menginterpretasikan hukum-hukum Islam dengan memperhatikan pengalaman dan kebutuhan perempuan. Dalam pandangan fikih ini, perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki dalam agama, termasuk hak untuk belajar, beribadah, hak dalam perkawinan, warisan dan berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat. Juga menganggap bahwa perempuan memiliki potensi untuk menjadi ulama dan dapat berkontribusi dalam pengembangan fikih.
Kontekstualisasi fikih perempuan adalah salah satu langkah penting untuk mengubah metode tafsir agama yang patriarkal. Metode tafsir agama yang didominasi laki-laki selama ini kurang memperhatikan pengalaman dan perspektif perempuan dalam menginterpretasikan hukum-hukum agama.
Dalam konteks ini, fikih perempuan memperkuat pandangan bahwa perempuan dan laki-laki memiliki peran yang sama dalam agama dan memiliki hak yang sama dalam memahami dan mengimplementasikan ajaran agama. Hal ini dapat dilakukan dengan mengambil metode tafsir yang lebih inklusif, seperti memperhatikan pengalaman dan kebutuhan perempuan dalam konteks sosial dan budaya yang berbeda.
Untuk itu, dalam rangka mengembangkan pendekatan fikih perempuan yang kontekstual, dibutuhkan kerja sama dari berbagai pihak, termasuk para ulama, akademisi, dan aktivis perempuan. Melalui kerja sama tersebut, diharapkan dapat tercipta pemahaman yang lebih komprehensif dan inklusif tentang hukum Islam yang berkaitan dengan perempuan. Menempatkan perempuan sebagai subjek dalam pembahasan fikih, dan bukan objek. Hal ini berarti perempuan harus diakui sebagai individu yang memiliki kebebasan dan kemampuan untuk memahami dan menerapkan ajaran agama. (*)
“Karena memerangi pemikiran patriarki harus dilakukan secara holistik, yang mencakup pendidikan, sosialisasi, dan pemberdayaan perempuan di berbagai bidang kehidupan, termasuk di dalam lingkup agama”.