TERNATE, NUANSA – Komisi II DPRD Provinsi Maluku Utara, menilai Peraturan Gubernur (Pergub) nomor 3 tahun 2023 tentang pembayaran TPP Nakes RSUD Chasan Boesoirie dapat menimbulkan masalah baru.
Ketua Komisi II Deprov Malut, Ishak Naser, mengatakan Pergub tersebut terkesan diskriminatif karena dalam asas pembentukan perundang-undangan tidak terpenuhi. Olehnya itu, pihaknya mengusulkan kepada Gubernur Abdul Gani Kasuba melakukan eksekutif penuh dengan membatalkan Pergub nomor 3 tahun 2023 tersebut.
“Kita menghormati gubernur ya, tapi karena Pergub itu diterapkan nanti menimbulkan problem hukum baru. Sebab, nanti mendiskriminasikan antara dokter ahli utama dengan yang lainnya,” kata Ishak kepada Nuansa Media Grup (NMG), Jumat (17/3).
Terkait utang TPP 15 bulan, diterangkan Ishak, sudah bersepakat untuk TPP selisih yang belum terbayarkan tidak diakui dalam bentuk utang beban, karena menyesuaikan ketentuan kebijakan standar akuntansi pemerintahan.
“Itu diakui kurang bayar. Namun, tetap dibayarkan meskipun belum ada persediaan anggarannya di APBD,” jelasnya
Meski demikian, Politisi Nasdem itu mengaku, ini tentu harus didukung dengan dokumen-dokumen yang diperlukan. Dengan begitu, dapat ditentukan dalam pernyataan standar akuntansi pemerintahan, yaitu diterbitkannya SP2D.
“Dan itu nanti kita lihat, kalau sudah ada nanti dibayarkan. Dalam pembayaran ini perlu diluruskan bisa sekaligus dilakukan cicilan. Kami sudah mendapatkan penjelasan dari Direktur RSUD CB, bahwa tenaga medis baik dokter ahli maupun lainya sudah menerima kalau pemerintah mengambil kebijakan pembayaran secara cicilan,” ujarnya.
“Hanya saja kita harus melihat jumlah cicilan yang wajar. Jangan kemudian cicilan yang tidak manusiawi. Kalau bisa diselesaikan enam bulan kenapa harus menunggu enam tahun,” sambungnya.
Lebih lanjut, ia menambahkan, terkait utang RSUD CB yang selama ini dibebankan BLUD, termasuk pengadaan medis lainnya yang diperlukan dalam rangka mempertahankan standar minimal pelayanan kesehatan RSUD CB, sepanjang didukung dengan penerimaan jasa pelayanan akan dibayarkan BLUD.
“Kalau tidak sanggup, maka itu kewajiban bagi pemerintah untuk dibebankan pada APBD. Tidak ada istilah sharing. Pemerintah punya kewajiban membayar apabila penerimaan dari jasa BLUD tidak mampu memenuhi kewajibannya, wajib hukumnya karena ini pelayanan dasar. Kalau pemerintah tidak mau, bubarkan BLUD-nya,” tegasnya.
“Ini bukan soal take over. Kalau manajemen BLUD tidak mampu memenuhi seluruh kewajibannya, maka secara otomatis pemerintah melaksanakan itu. BLUD ini punya siapa? Punya pemerintah. Untuk siapa? Untuk melayani masyarakat. Jadi jangan terkesan saling melempar tanggung jawab,” pungkasnya. (ano/tan)