Oleh: Nursalima Yoisangaji
Mahasiswi Hukum Keluarga Islam IAIN Ternate
GENDER adalah suatu keniscayaan perbedaan yang transparan antara laki-laki dan perempuan yang ditinjau dari sisi perilaku. Gender juga dapat diartikan sebagai keadaan individu yang lahir secara biologis sebagai laki-laki maupun perempuan yang kemudian memperoleh perincian sosial sebagai laki-laki dan perempuan dengan peralatan maskulinitas dan feminitas sehingga sering didukung oleh unsur-unsur atau aturan dan lebel di masyarakat yang bertalian.
Dalam bahasa yang mempersempit, gender dapat diartikan sebagai suatu konstruksi sosial atas seks, gender sendiri sebagai bagian yang dikonstruksikan atau ditata dalam tatanan masyarakat secara eksplisit bagi laki-laki dan perempuan.
Indonesia merupakan Negara yang agama plural selalu diperhadapkan dengan kebutuhan adanya rekonstruksi hukum Islam, hingga mencerdasi eksistensi hukum Islam agar senantiasa berfungsi. Dalam berbagai tantangan yang cukup lama, hukum Islam di Indonesia dihiasi dengan perspektif dan keimanan dari umat Islam sebagai perwujudan yang berkiblat kongkrit untuk ditaati dan tidak perlu digugat, karena pola ini menjadi sebuah teologi umat Islam.
Dalam setiap periode ini, hukum keluarga Islam (KHI) mengalami pembaharuan dan rehabilitasi. Dalam aspek historis, hukum Islam sudah lama menjadi hukum positif yang berlaku di Indonesia. Sejak pada zaman penjajahan sampai sekarang hukum keluarga yang bersumber dari hukum Islam sudah diikuti dan sampai kapanpun akan hidup di tengah-tengah mayoritas rakyat Indonesia.
Hukum keluarga mempunyai posisi yang sangat penting dalam Islam. Hukum keluarga dianggap sebagai inti syari’ah. Hal ini berkaitan dengan asumsi umat Islam yang memandang hukum keluarga sebagai pintu gerbang untuk masuk lebih dalam ke dalam agama Islam, pada dasarnya sesuatu itu tidak akan terbentuk karena tidak adanya sesuatu hal yang mendasarinya seperti halnya hukum keluarga Islam tidak akan pernah ada tanpa adanya sesuatu yang melatarbelakanginya.
Hukum keluarga Islam sangatlah penting bagi umat Islam dalam berkehidupan dengan aturan-aturan yang telah tersirat sebagai pedoman umat muslim untuk mengatur manusia dalam bertingkah laku dan bernegara, permasalahan tentang keluarga dan lain sebagainya yang tidak bisa disamakan dengan agama lainnya atau non muslim. Sehingga masyarakat menginginkan adanya hukum keluarga Islam yang berlaku, khusus dalam melihat perkembangan zaman yang semakin berkembang dibutuhkan metode-metode untuk kemaslahatan setiap insan.
Jauh dari perdebatan apakah ketidaksamaan laki-laki dan perempuan yang tidak dapat terhindarkan berimplikasi pada perbedaan hak dan kewajiban yang berkaitan erat dengan persoalan-persoalan kekeluargaan.
Sebuah tanda dan indikasi mengenai tatanan yang penuh hikmah dan efisien dari alam semesta, serta bukti gamblang perihal fakta bahwa proses penciptaan tidak disandarkan pada kebetulan semata-mata alam tidak melewati tahapan-tahapannya dengan mata yang buta. Ini menunjukan bukti nyata yang mencerahkan tentang realitas bahwa fenomena alam semesta tidak dapat dijabarkan tanpa merujuk kepada prinsip fundamental .
Maraknya wacana gender akhir-akhir ini sebagi reaksi atas realitas ketimpangan gender yang telah melahirkan ketidakadilan dalam aspek kekeluargaan berupa marginalisasi, subordinasi, diskriminasi bahkan kekerasan yang selama ini mempunyai nilai berkembang sebagai sikap yang berpihak pada suatu jenis lain. Dengan sikap menyuarakan pentingnya pembaharuan terhadap berbagai aturan hukum yang dinilai bias gender.
Realitas terjadi antara perbedaan laki-laki dan perempuan yang masih banyak menyimpan masalah baik dari segi substansi maupun praktek peran yang diemban dan implementasi di masyarakat, kondisi masyarakat sangat mempengaruhi pola hubungan antara laki-laki dan perempuan. Antara generasi muda dan tua, relasi suami istri dalam masyarakat perkotaan berbeda dengan pedesaan.
Seperti yang kita ketahui bahwa di dalam kekeluargaan antara laki-laki dan perempuan atau suami istri memiliki peranan, fungsi, hak dan kewajiban masing-masing yang telah diatur dalam berkeluarga, sama halnya dengan hak-hak antara seorang anak perempuan dan laki-laki dalam pembagian harta waris. Untuk warisan dalam hukum keluarga Islam, anak laki-laki bagiannya lebih besar dibandingkan dengan anak perempuan dari pewaris. Sekitar dua kali lipat lebih besar bagiannya. Namun bila anak laki-laki itu anak tunggal, maka sebagiannya menjadi setengah dari jumlah warisan pewaris (ayahnya).
Dalam berbagai literatur dan aturan yang dibuat dengan dalih atau alasan bahwa sebab tanggung jawab anak-laki lebih banyak dibandingkan anak perempuan. Di antaranya laki-laki ketika menikah ia akan menafkahi dirinya, anak-anaknya, istrinya dan kerabat yang berada di bawah tanggung jawabanya. Sedangkan anak perempuan tidak, setelah ia menikah status ekonominya di tanggung penuh oleh suaminya.
Sehingga hal ini sebagai tinjaun warisan tinggi dan rendah untuk anak-laki dan perempuan. Secara normatif apapun yang telah menjadi ketetntuan Tuhan dalam hal ini hukum Islam yang termuat dalam aturan-aturan hidup manusia, semuanya tidak dapat di tantang atau dimodifikasi. Namun fakta empris yang mematahkan setiap aturan hukum yang segenap menjadi dasar, bahwa saat ini tidak ada pengaplikasian paten yang bersandarkan pada hukumnya, dan kehidupannya sangat menarik jarak dengan pedoman-pedoman yang ada.
Hal ini senada dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal bahwa “perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan warahma. Dan untuk mewujudkan tujuan tersebut diperlukan komitmen suami istri untuk menjalankan hak dan kewajiban masing-masing. Suami menjalankan kewajibannya sebagai suami sekaligus kepala rumah tangga dan istri menjalankan kewajibannya sekaligus ibu rumah tangga, sehingga akan terciptanya suatu suasana yang harmonis jika semua kewajiban dapat dijalankan.
Tentu timbal baliknya dengan terlaksananya semua kewajiban, maka hak-hak sebagian suami atau istri pun akan terpenuhi dengan sendirinya, sehingga ketentraman sakinah yang berlandaskan kasih sayang dalam menjalani suatu bahtera rumah tangga sebagai suatu tujuan perkawinan akan mudah terwujud. Karena pada dasarnya kewajiban suami juga merupakan hak istri, sehingga jika berbicara tentang kewajiban suami terhadap istri, maka bisa juga berarti sesuatu yang lahir dari istri atas suami.
Dengan tidak terpenuhinya suatu tanggung jawab sehingga dapat memicu terhadap masalah-masalah yang besar, terutama ketidakharmonisan rumah tangga suami istri yang mengakibatkan pada perceraian di dalam kehidupan berumah tangga. Dalam kehidupan saat ini, terdapat banyak suami yang tidak memenuhi tugas dan tanggung jawabnya sebagai kepala rumah tangga, sikap suami yang tidak bekerja, berkegiatan tanpa tujuan, dan pada akhirnya istrilah yang banting tulang dan merangkap tugas dan tanggung jawab dari seorang suami untuk mencukupi kebutuhan keluarga.
Tatkala seorang istri yang telah bekerja di luar masih harus bekerja kembali di dalam rumah, sedangkan suami tidak berinisiatif sedikit pun untuk membantu dan meringankan beban istri yang begitu besar karena merasa semua pekerjaan rumah sepenuhnya adalah tanggung jawab istri. Jika istri tidak melakukannya maka dianggap sebagai istri durhaka. Namun sayangnya masyarakat secara mutlak telah terkonstruk dengan pikiran-pikiran yang tidak lagi perpihak kepada perempuan.
Alih-alih dalam masalah tersebut sehingga tak heran banyak kedok seorang laki-laki dalam menutupi berbagai kesalahannya dan menimbulkan berbagai motif masalah. Dalam kelebihan/keunggulan yang dimaksud adalah betapa besarnya tanggung jawab seorang suami, harus bertanggung jawab dalam hal menafkahi dan kesejateraan istri beserta anak-anak, dan juga memberikan perlindungan, tidak ada sikap otoriter ataupun merasa superior sehingga melakukan komunikasi satu arah bagaikan budak dengan tuannya yang semuanya berbentuk perintah, dalam masyarakat yang maju, dan beradab.
Maka dari itu, menjadi penting untuk menciptakan keluarga yang kuat dan harmonis, sebab jika keluarga kuat, maka Negara juga kuat. akibat dari pernikahan muncullah hak dan kewajiban suami istri, ada yang bersifat materi, yakni suami berkewajiban menafkahi serta menyiapkan sandang, pangan, papan dan hal lainnya yang menjadi kebutuhan istri, dan yang bukan materi yaitu perhatian dan kasih sayang. Dengan tidak terealisasinya tugas dan tangung jawabnya seorang suami, maka alasan-alasan di dalamnya terutama melakukan poligami sebagai penyelesaian masalah.
Perihal jika dilihat masih banyak narasi yang salah mengenai poligami ini. Poligami dianggap sebagai jalan pintas untuk mencari kesejateraan, kemakmuran, dan kesuksesan dalam hidup. Padahal, poligami sendiri harus dilaksanakan dengan penuh hati-hati dengan mempertimbangkan ilmu dan komitmen yang kuat. Jika ditinjau poligami dalam Islam sebagai solusi bagi kondisi darurat. Namun saat ini banyak kelompok maupun individu yang salah kaprah dan tidak betul-betul memahami esensi dari poligami itu sendiri. Jelas bahwa poligami memberikan dampak buruk bagi keutuhan sebuah rumah keluarga terutama perempuan.
Ada beberapa alasan menyimpang dari pemikiran yang terjadi saat ini, di antaranya anggapan bahwa melakukan poligami bukan karena mengikuti apa yang dilakukan Nabi Muhammad dan menggangap itu termasuk sunah rasul yang harus diikuti, padahal jelas beliau melakukan poligami bukan karena dengan alasan biologis seperti yang kebanyakan terjadi saat ini. Selain itu, alasan lain juga karena jumlah perempuan lebih banyak dari laki-laki sehingga masih ada beberapa kelompok yang menjadikan alasan ini untuk melakukan poligami.
Pada hakikatnya, berdasarkan ketentuan Undang-Undang tentang perkawinan, salah satu asas perkawinan adalah monogami, bahwa di dalam suatu perkawinan seseorang pria hanya bisa mempunyai seorang istri dan begitu pula sebaliknya. Namun, sesuai dengan ketentuan syari’at Islam, Negara memberikan ruang untuk dapat menjalankan poligami, tentunya dengan persyaratan yang ketat.
Persyaratan tersebut mencakup bahwa poligami hanya boleh dilakukan apabila istri tidak dapat melahirkan keturunan, serta yang terpenting berpoligami. Diatur pula bahwa dalam menjalankan poligami suami sudah harus meminta izin dari istrinya. Namun implementasi dari pada poligami saat ini bukannlah untuk menjalankan sunah rasul, melainkan hanya untuk meluapkan syahwatnya, secara nyata bahwa poligami yang terjadi bukan karena alasan seorang perempuan tidak dapat memberikan keturunan namun kepincangan akal sehat yang membawa setiap laki-laki untuk berpoligami dengan sengaja berdalihkan mengikuti sunnah rasul.
Melaksanakan poligami namun tidak tanpa izin dari seorang istri yang sah, menjadikan setiap pernikahan dan memaknai laki-laki sebagai kepala rumah tangga yang berarti memiliki otoriter dalam segala hal.
Hukum Islam telah mengatur kehidupan manusia secara komplit dengan baik dan benar bagi laki-laki maupun perempuan, sehingga dalam aturan hukum Islam tidak ada lagi yang namanya ketimpangan atau bias gender namun penerapan atau praktek dari pada nilai-nilai itu saja yang selalu pincang.
Untuk menggapai tujuannya dan merawat kodratnya, mesin atau alat peralatan dahsyat alam semesta mewujudkan desain hebat reproduksi. Dari pabriknya, perempuan dari spesies yang sama dan laki-laki dari spesies yang sama pula dicipta ulang tiada henti. Pasalnya, kerja sama dua jenis kelamin ini agar bisa salin membantu dalam pekerjaan, maka diletakkanlah fondasi bagi persatuan dan kesatuan kedua jenis kelamin ini. Pengaturan sudah sedemikian rupa sehingga rasa percaya diri dan upaya untuk menjelmakan kepentingannya yang bersifat alamiah pada setiap makhluk hidup diubah menjadi pelayanan, kerja sama, kesabaran, dan pengorbanan diri. (*)