Oleh: Rifan Basahona
Mahasiswa PBA IAIN Ternate/Ketua Umum KAMMI Komisariat IAIN Ternate
DI era sekarang dunia telah terpolarisasi, dikarenakan semakin masifnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang cukup luar biasa. Tentu dibalik itu terdapat berbagai macam kontradiksi-kontradiksi, baik yang bersifat positif maupun negatif, segala sektor kehidupan umat manusia telah diwarnai dengan pembaharuan-pembaharuan yang berdampak langsung pada pembangunan Bangsa.
Namun jikalau dilihat lagi secara saksama, terdapat sebuah jurang kehancuran yang sangat luar biasa dan hal ini telah merambas hingga ke seluruh penjuru dunia dan Indonesia termasuk salah satu di antaranya.
Dewasa ini terlihat bahwa, terjadi berbagai macam ketimpangan yang melanda umat manusia hari ini dan itu disebabkan oleh ulah dari manusia itu sendiri, kenapa? Karena manusia yang menjadi fungsi kontrol dari segala bentuk makhluk yang ada di alam semesta ini. Dalam Al-Qur’an Allah SWT menegaskan bahwa “Dan kami tidak mengutuskan engkau wahai (Muhammad) melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh umat” (QS. Al-Anbiya, Ayat 107).
Ayat ini telah memberikan penjelasan kepada kita bahwa ada tugas yang mulia yang diembankan kepada setiap individu maupun kelompok manusia untuk menjadi fungsi kontrol bagi segenap yang ada di muka bumi ini, sehingga kita dibarengi oleh beberapa potensi maupun kelebihan yang lebih tinggi dari pada makhluk yang lain.
Indonesia sebagai salah satu Negara yang dikategorikan sebagai Negara berkembang memiliki setumpuk masalah yang menguras pikiran bagi orang-orang yang memiliki kesadaran akan hal itu. Berbagai macam problematika telah menjamur dan subur di Bangsa ini, baik dalam sektor ekonomi, politik, lingkungan maupun pendidikan itu sendiri.
Bangsa ini telah berada pada titik kulminasi untuk menentukan nasibnya di masa yang akan datang, apakah memburuk atau membaik. Distribusi ekonomi yang tidak merata terhadap seluruh sektor masyarakat terutama masyarakat kelas bawah menyebabkan angka kemiskinan yang makin hari makin meningkat, politik kita yang disusupi dengan berbagai macam kepentingan golongan tertentu melahirkan pemimpin-pemimpin pragmatis individualistik yang puncaknya bukan soal dari rakyat untuk rakyat, tapi dari rakyat untuk pemimpin dan membahagiakan para kapitalis dan oligarki. Maraknya korupsi di berbagai macam instansi, persoalan perampasan ruang hidup, masalah kesehatan, merosotnya budaya lokal, hilangnya moralitas para generasi diakibatkan tempat perjudian, miras, prostitusi yang bebas aktif.
Pengaruh gadget, narkoba, dan lain sebagainya telah memicu lahirnya perbuatan imoral yang melanda generasi muda saat ini, seiring berjalanya waktu beranda media sosial baik online maupun cetak telah dipenuhi oleh berita kekerasan seksual, dan perbuatan imoral yang lain yang menyusupi dan merusaki generasi muda kita saat ini.
Ironinya perbuatan seperti itu juga marak terjadi di lembaga-lembaga yang diharapkan melahirkan generasi-generasi yang baik. Sebut saja di kampus, sekolah dan lain sebagainya. Dari gambaran singkat di atas dapat ditarik sebuah benang merahnya bahwa bangsa kita saat ini tidak baik-baik saja. Bangsa kita telah mengalami dekadensi dalam segala sektor, dan jika dilihat lebih jauh faktor penyebabnya adalah moralitas yang rapuh.
Sedikit meminjam perkataan dari Pam Schiller dan Tamera Bryant bahwa “jika kita meninggalkan pelajaran tentang nilai moral yang kebanyakan sudah berubah, kita sebagai suatu Negara, berisiko kehilangan sepotong kedamaian dari budaya kita”. Apalagi persoalan ini terjadi kepada kaum muda yang notabenenya adalah iron stock (cadangan masa depan). Generasi muda saat ini yang kemudian akan menakhodai bangsa ini kedepan, bagaimana bisa jikalau pemuda hari ini telah berada dalam jurang kehancuran, bagaimana nasib bangsa ini kedepan nanti.
Dari setumpuk masalah yang terjadi di atas, penulis dengan segala kekurangannya ingin memberikan sedikit dedikasi sebagai salah satu respons atau kepedulian terhadap Bangsa ini dengan sedikit pandangan yang akan dituangkan dalam tulisan ini. Mungkin kata yang disampaikan oleh Nelson Mandela, bisa mewakili bahwa “pendidikan merupakan senjata paling ampuh dalam merubah dunia”.
Pendidikan memegang peran penting dalam setiap sektor kehidupan baik ekonomi, sosial, maupun politik, karena pendidikan merupakan alat produksi untuk melahirkan manusia-manusia cerdas yang akan menakhodai bangsa ini kedepan, mungkin sebagai salah satu representasinya Negara Jepang telah membuktikan hal itu. Kembali pada sejarah kelam ketika Kota Nagasaki dan Hiroshima diluluhlantakan oleh bom nuklir dari sekutu Amerika serikat pada tanggal 6 dan 9 Agustus 1945.
Pada saat itu yang pertama kali ditanya oleh Kaisar Hirohito adalah berapa banyak guru yang masih ada, bukan berapa banyak pemimpin, polisi, tentara dan mobil-mobil dan senjata perang yang masih ada, sehingga beberapa tahun kedepan sampai hari ini Jepang telah menjadi salah satu Negara yang sangat maju di seantero dunia saat ini. Olehnya itu pendidikan merupakan ruh dari suatu Bangsa. Bangsa itu menjadi terbelakang dan tidaknya tergantung pada pendidikanya.
Pendidikan merupakan basis struktural sebuah Negara, pendidikanlah yang membentuk watak dan kepribadian setiap individu maupun kelompok yang ada dalam Negara terutama pemimpinya. Dengan demikian pendidikan tidak hanya fokus dalam peningkatan intelektual, akan tetapi aspek moralitas pun harus menjadi sentuhan dan perhatian yang khusus. Dua aspek ini harus koheren dalam proses edukasinya.
Moralitas sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki arti sopan santun, segala sesuatu yang berhubungan dengan etika atau adat sopan santun. Secara etimologi kata moral berasal dari bahasa latin “mores” kemudian diterjemahkan menjadi “aturan kesusilaan”. Moral secara sederhana dapat diartikan sebagai perbuatan atau tingkah laku seseorang individu dalam berinteraksi dengan orang lain.
Apabila perbuatan yang dilakukan sesuai dengan nilai-nilai yang ada pada masyarakat tersebut maka dia disebut sebagai orang yang bermoral, begitu pun sebaliknya. Moral adalah suatu nilai absolut yang lahir dari budaya atau agama dari suatu rumpun masyarakat tertentu lewat pendidikan-pendikan yang ada. Frans Magnis Suseno, menyebut moral itu mengacu pada baik buruknya manusia sebagai manusia, sehingga bidang moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia.
Tentu manusia dalam melaksanakan hidup dan kehidupanya semua memiliki keinginan yang sama, yakni mencapai suatu puncak yang dinamakan dengan kebahagiaan baik secara tutur katanya maupun tingkah lakunya. Segala sesuatu yang dilakukan di tengah-tengah suatu masyarakat tidak membawa dampak negatif bagi masyarakat tersebut. Terutama dalam konteks menjalankan sebuah Bangsa ataupun Negara, karena ini berada dalam konteks yang lebih besar yang di dalamnya terdapat atau terhimpun secara kolektif berbagai macam kepentingan manusia, maka basisnya adalah kita harus menjunjung tinggi nilai-nilai moralitas yang ada. Dalam meningkatkan nila-nilai moralitas yang ada, perlunya ada suatu wadah yang menjadi tempat untuk mengembangkannya di antaranya adalah pendidikan.
Dalam UU SISDIKNAS No 20 Tahun 2003 pasal 3 yang berbunyi tujuan pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik supaya menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertangung jawab.
Dalam UU ini telah jelas bahwa tujuan pendidikan kita adalah menciptakan generasi yang memiliki moralitas yang tinggi namun pertanyaanya apakah demikian? Kalau demikian, berbagai macam ketimpangan yang ada di atas tidak akan terjadi untuk perlu adanya usaha-usaha struktural untuk mengubah hal yang demikian, dan hal itu hanya dapat kita ubah melalui pendidikan.
Moralitas bangsa ini sudah harus ditanamkan sejak dini mungkin, yakni lewat instansi pendidikan baik formal, non formal dan informal. Survei indikator politik Indonesia mengungkapkan sebanyak 82,3 % anak muda menilai bahwa diperlukan pendidikan moral masuk pelajaran sejak sekolah dasar. Indikatot ini dilakukan survei pada 4-10 Maret 2021 kepada 1.200 responden berusia 17-21 tahun.
Pendidikan moral sebagai jembatan penyeimbang bagi seorang manusia, kepentingannya adalah agar seorang peserta didik bisa mengikuti dan memegang dengan teguh segala bentuk prinsip-prinsip yang baik dalam kehidupanya, dan hal ini untuk mendukung kelanggengan kehidupan seperti kejujuran, kebenaran, rasa simpati yang tinggi dan lain sebagainya.
Terasa tidak asing lagi bahwa fondasi dari bangunan suatu masyarakat adalah individu yang berperi kehidupan sesuai dengan nilai-nilai moralitas yang baik. Semakin tinggi moralitas seseorang akan berpengaruh bagi bangunan masyarakat yang kuat juga, karena itulah sejak dini sudah seharusnya dirumuskan dalam hidupnya agar bisa terbawa-bawa hingga dewasa.
Bangsa ini harus dibangun di atas prinsip-prinsip moral agar dapat melahirkan sumberdaya manusia yang ideal dengan melibatkan segala komponen baik guru pemerintah, orang tua dan lebih pentingnya lagi moralitas itu dibangun di atas nilai-nilai agama karena sebenarnya berbagai macam kerusakan yang ada terjadi bukan karena kegagalan dari agama dalam membangun masyarakat yang bermoral, akan tetapi kegagalan umat memahami pesan moral agama dan kegagalan mengamalkan ajaranya dalam kehidupan sehari-hari. (*)