Opini  

Harita Group dan Modus Kejahatan Korporasi Modern

Oleh: Igrissa Majid

Founder Indonesia Anti Corruption Network

SELASA pagi, waktu sudah menunjukkan pukul 03:15 WIB, sembari persiapan salat subuh saya menikmati sebatang cerutu di sebuah kedai kopi 24 jam di bilangan Jakarta Timur. Beberapa menit kemudian, di Handphone tiba-tiba muncul sebuah pesan Whatsapp berisikan video dari senior saya, Saudara Irman Saleh, CEO Nuansa Media Grup.

Dalam video tersebut, Saudara Irman mengkritisi terkait data pencapaian Harita Group, sebuah perusahaan yang melakukan aktivitas eksplorasi tambang bijih nikel di Pulau Obi, Halmahera Selatan. Di hadapan perwakilan perusahaan, Wakil Ketua HIPMI Malut ini mempertanyakan kualitas data yang dipresentasikan karena tidak berkorelasi dengan keadaan sosial di lapangan.

Fakta tentang Harita Group

Sekilas tentang pemaparan Saudara Irman, saya menduga bahwa dirinya ingin mengatakan Harita Group bukan entitas ilmiah yang memiliki ilmuwan mumpuni di bidangnya, sehingga basis datanya hanya berisikan pengklaiman semata. Karena yang disampaikan tentang pencapaian dan dampak positif dari perusahaan justru terbalik. Faktanya, terjadi pencemaran lingkungan, masalah stunting, dan ketidakberdayaan pengusaha lokal, serta beberapa aspek lainnya yang tidak menjadi perhatian bagi perusahaan.

Karena itu, data yang disampaikan dapat diklasifikasi sebagai bentuk kebohongan yang sengaja untuk mengangkat citra korporasi demi reputasinya dalam dunia bisnis. Padahal mestinya pencapaian bisnis korporasi berskala jumbo harus objektif dengan kemajuan ekonomi, kesehatan, dan pendidikan masyarakat Pulau Obi. Tidak boleh membiarkan kerugian sosial yang berkepenjangan.

Fakta menarik lainnya adalah laporan Jaringan Advokasi Tambang, 2023, yang sempat menggemparkan jagad maya. Bahwa ada ancaman terhadap ekologis dan sosial dalam investasi tambang pengolahan bijih nikel di Pulau Obi. Menurut catatan Jatam, bahwa yang selama ini mengganggu kehidupan masyarakat adalah proses pengolahan bahan tambang yang sangat kotor.

Dilansir dari beberapa sumber kredibel, bahwa jejak Harita Gorup di Pulau Obi beroperasi sudah sejak lama. Aktivitasnya memang menghancur mumur beberapa spot di wilayah daratan, pesisir, dan laut. Lahan-lahan warga dicaplok, tanaman perkebunan luluh lantah, sumber air tercemar, udara berdebu dan timbul polusi yang membahayakan, air laut berubah kecoklatan, bahkan biota laut pun tercemar logam berat.

Karena itu, dari pemaparan Saudara Irman, saya pikir memang wajar kalau sekarang banyak data yang diragukan masyarakat. Apalagi menyangkut tabir kejahatan korporasi yang sengaja dibungkus dengan pencapaian-pencapaian fantastis. Zaman sekarang, hiburan itu tidak hanya menonton konser artis kondang di atas panggung, tetapi kejahatan korporasi pun sudah menjadi drama berkesinambungan yang dinikmati masyarakat lewat berbagai pemberitaan media. Jadinya, kita harus kritis, terlebih soal fenomena kejahatan korporasi yang bersifat terselubung, apalagi kejahatan itu justru dilakukan terang-benderang.

Modus Kejahatan Korporasi Modern

Fenomena kejahatan korporasi sepintas membawa kita pada abad merkantilisme (1498-1763), yang sengaja menciptakan pola bisnis tidak berimbang. Kejahatan yang dilakukan berbentuk pengerukan sumber daya alam, dan kemiskinan sistematis dan ketertinggalan bagi penduduk. Demikian halnya dengan pola bisnis di abad perluasan kapitalisme (1763-1883). Pada fase ini, semua sektor bisnis dikuasai oleh korporasi dengan level/grade besar. Terjadi sistem monopolistik dan ketidakterbukaan, serta pengabaian moralitas sosial.

Tapi efek sistem kapitalisme ini bersifat jangka panjang dan berhasil masuk di semua negara hingga sekarang. Misalnya, kapitalisme yang tumbuh berkembang dan menjajah negara berkembang, seperti Indonesia, dan menciptakan kekayaan yang berlimpah ruah di negara maju. Setelah dua fase ini, kemudian muncul babak baru seperti abad Korporasi Multinasional yang oleh sebagian sarjana menganggap batasannya hanya 1980-an. Padahal, memasuki era globalisasi, mencuatnya korporasi bersifat multinasional cukup banyak dan berkepentingan langsung dengan negara. Di sinilah, kejahatan korporasi pun mulai menyebar ke berbagai negara.

Kembali pada kasus Harita Group yang sedang ramai disoroti saat ini, sebagaimana dikritik yang disampaikan Saudara Irman di atas. Dalam perspektif hukum, pada prinsipnya kejahatan korporasi juga mencakup endangering the public welfare. Artinya, ada unsur yang membahayakan kesejahteraan dan keselamatan masyarakat.

Umumnya bentuk kejahatan korporasi juga memicu ketegangan horisontal, di mana posisi warga tersekat dalam bentuk kelompok pro dan kontra, mulai dari tokoh  masyarakat, pemuda dan tokoh agama. Masalah Harita Group saat ini telah memunculkan fenomena tersebut, di mana beberapa pihak dengan terbuka mendukung beroperasinya Harita Group. Secara apriori membuat klaim seolah-olah kehadiran Harita Group bebas dari segala tindakan kejahatan bagi lingkungan dan masyarakat Pulau Obi.

Menariknya, banyak pendapat hukum yang keliru dengan mengacu pada adagium hukum: universitas delinquere non potest (badan hukum tidak dapat melakukan tindak pidana). Padahal, korporasi sudah mengalami evolusi sebagai entitas atau sebagai subyek hukum yang memiliki hak dan kewajiban, dan dapat dimintakan pertanggungjawaban. Dalam Black Dictionary, edisi 15 (1979), Henry Campbell memberikan pengertian bahwa pertanggungjawaban itu menjadi kewajiban bagi setiap korporasi jika berdampak negatif atau kerugian besar bagi masyarakat luas.

Adapun bentuk kejahatan korporasi modern di bidang ekstraktif banyak macamnya. Khususnya yang berkaitan langsung dengan masyarakat lingkar tambang adalah praktik greenwashing dan greenwishing. Dua Modus ini kurang lebih sama bahayanya, karena dilakukan untuk mengelabui masyarakat berupa kegiatan-kegiatan untuk memoles citra atau portofolio perusahaan, sehingga masyarakat merasa terkesan dan meyakini perusahaan tersebut merupakan korporasi yang bersih dari pengklaiman palsu. Lantas, bagaimana dengan “boroknya” Harita Group yang menuai pro kontra di tengah masyarakat? Bebas bagi pembaca untuk menyimpulkan. (*)