Opini  

Pembentukan Budaya Literasi Ilmu Pengetahuan: Apresiasi atas Kegiatan “Bacan Membaca”

Agus SB.

Oleh: Agus SB

Dosen Tetap (Bidang Antropologi) IAIN Ternate

SEMUA kita yang menjalani hari-hari dalam abad ke-21 ini menyaksikan atau mengalami kenyataan, dengan separuh kesadaran atau sepenuhnya tak sadar, bahwa segala aspek kehidupan kita (sosial budaya-ekonomi-politik-agama), dan lingkungan alam fisik yang kita huni, tengah dalam proses perubahan dengan kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Pada satu sisi, lingkungan alam fisikal berada dalam guncangan “perubahan iklim” akibat aktivitas manusia sendiri (antroposen) dengan umpan-balik negatifnya. Pada sisi lain, dunia kehidupan sehari-hari
kita ditelanjangi (terekspos) oleh fenomena globalisasi dunia yang dapat dikenali dalam lima aspek yang saling terkait: pertama, ethnoscapes yang dihasilkan oleh arus manusia: turis, imigran, pengungsi, para eksil dan pekerja asing. Kedua, technoscape, dimana mesin dan aliran korporasi yang diproduksi oleh multinasional, perusahaan nasional dan instansi pemerintah. Ketiga, finanscapes, dihasilkan oleh aliran uang yang cepat di pasar mata uang dan bursa saham.

Keempat, mediascapes, repertoar gambar dan informasi diproduksi dan didistribusikan oleh surat kabar, majalah, televisi, film, (dan internet, pen). Kelima, ideoscapes, aliran citra-citra yang berasosiasi dengan ideologi negara atau gerakan kontra-negara seperti kebebasan, kesejahteraan, hak azasi, dan sebagainya (Arjun Appadurai, dparafrase Mike Featerstone, 1990:p.6-7).

Kesemua aspek globalisasi mengantarkan informasi, pengetahuan, norma (etika-etiket, baik-buruk, boleh-tidak boleh, indah-tidak indah, cantik-tidak cantik), nilai-nilai dan kepercayaan baru, gaya hidup baru, bahkan cara hidup baru, yang bersesuaian atau sebaliknya, dengan budaya tempatan dan ajaran agama yang kita anut. Dua fenomena dunia global di atas dapat dilihat sebagai cobaan episode kedua, sementara
episode pertama telah terjadi dan dialami leluhur kita beberapa abad yang lalu. Espisode pertama ini oleh Stuart Hall dipandang sebagai waktu dimulainya zaman modern, yakni sejak abad ke-15 yang merupakan fase ekspansi emperium maritim Eropa.

Mereka mengeksplorasi dunia-dunia baru, menjumpai masyarakat dan peradaban baru yang berbeda dengan Eropa, dan memanfaatkan mereka untuk kepentingan Eropa melalui perdagangan, penaklukan, dan kolonisasi (1992.pp. 1-16). Sejarah tidak berulang. Tetapi pola-pola sejarah dapat berulang. Meskipun bukan kesalahan pada mereka sendiri, namun fakta dimana ketiadaan literasi ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) dari para leluhur kita di masa lalu telah menyusahkan kehidupan mereka berabad-abad lamanya sebelum Indonesia dilahirkan.

Generasi kita saat ini, dengan kemampuan literasi iptek yang masih tergolong rendah, boleh jadi akan mengulangi kesusahan yang telah dirasakan para pendahulu kita; tidak berdaya menghadapi “perubahan iklim” dengan segala konsekuensinya, dan kita pun dapat terperangkap dan lumpuh dalam sebuah dunia tanpa batas dan batasan akibat globalisasi dengan segala konsekuensinya seperti di atas.

Agar dapat bertahan hidup, tidak bulan-bulanan menjadi obyek dominasi bangsa-bangsa lain, agar tidak menjadi konsumen aktif (sekaligus pasif) dari produksi barang konsumsi dari bangsa-bangsa lain, dan dapat berkontribusi terhadap kehidupan bangsa lain dan peradaban dunia, dibutuhkan kerja keras memboboti diri dan bangsa dengan cara mengaprorisasi dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, menjadikannya sebagai bagian dari budaya literasi kita.

Dengan cara itu, kita dan totalitas bangsa ini dapat “tegak leher” di hadapan bangsa-bangsa lain yang terlebih dahulu menikmati hasil ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam konteks inilah, semangat kegiatan “Bacan Membaca” menemukan urgensi dan relevansinya. Kegiatan itu menjadi bermakna ketika dihasratkan untuk menjadikan ‘literasi ilmu pengetahuan’ sebagai bagian dari budaya sendiri, dan akhirnya eksis sebagai “tradisi literasi”. Tetapi tradisi atau budaya literasi ini harus diciptakan, dibentuk.

Budaya literasi ilmu pengetahuan

Istilah ‘literasi’ (dari kata Latin litteratus) diartikan sebagai kemampuan membaca, berhitung dan menulis. Dalam perkembangannya, kata itu mengalami perluasan makna yang luar biasa ke dalam berbagai domain kehidupan manusia; literasi budaya, literasi seni dan sastera, literasi komputer, dan literasi politik. Pemaknaan dan perluasan cakupan bidang literasi ini menandakan adanya desakan kepada setiap individu dan masyarakat agar mampu menguasai literasi sesuai bidang aktivitas hidup dan pekerjaannya.

Dengan perkataan lain, kebutuhan dan tuntutan dari beragam bidang kehidupan dan pekerjaan sehari-hari saat ini menuntut penguasaan literasi iptek. Dalam cara ini, ‘penguasaan literasi’ telah menjadi standar moral yang mengharuskan kepada setiap orang dan masyarakat. Individu atau masyarakat yang tidak memenuhi tuntutan kebutuhan tersebut digolongkan sebagai kelompok dengan tingkat literasi rendah.

Kata “literasi” yang telah diperluas ke dalam bidang-bidang kehidupan dan pekerjaan di atas pada dasarnya berintikan “literasi ilmu pengetahuan”. Pranata ilmu pengetahuan menyediakan kemungkinan bagi manusia untuk mengembangkan dan memajukan setiap bidang pekerjaan dan kehidupannya secara kualitatif dan kuantitatif. Akibatnya, bersama lembaga pendidikan formal yang mengasuhnya, ilmu pengetahuan sebagai sebuah institusi atau pranata universal menjadi sesuatu yang tak dapat lagi dielakkan oleh setiap masyarakat di dunia.

Maka, setiap orang pada masa kini harus memiliki kemampuan minimal dapat membaca-memahami-menghitung-menulis huruf dan angka. Dengan cara itu, tiga pengertian literasi yang dikemukakan Rüdiger C. Laugksch (2000:p.81-82) mungkin dapat direngkuh; literasi (melek)
sebagai terpelajar, literasi (melek) sebagai kompetensi, dan literasi (melek) agar minimal dapat berfungsi di dalam masyarakat. Dengan cara itu pula, seseorang mungkin saja mencapai pengertian pada masa Cicero dimana literasi berarti ‘orang yang terpelajar’ (ibid).

Secara historis dan kultural, kita telah memiliki bahasa dan tatabahasa, kita juga memiliki bahasa matematika (menghitung jumlah, jarak dan ‘beban’ dalam bahasa daerah) yang berakar dalam bahasa ibu/daerah berbagai suku bangsa. Apa yang kita tidak miliki adalah “tanda-tanda”
bahasa dan angka, dan tidak memiliki aspek yang tak kurang pentingnya dalam membentuk kemampuan literasi yakni, “kebiasaan dan ketekunan” (etos).

Tetapi ada aspek yang kita miliki yaitu, potensi kodrati; “rasa ingin tahu” (curiosity). Potensialitas kodrati ini menjadi basis yang di atas atau di dalamnya budaya literasi ilmu pengetahuan dapat (atau harus) dibentuk sejak anak usia dini hingga perguruan tinggi. Apa yang saya maksudkan dengan “tanda-tanda” bahasa dan angka yaitu “huruf dan
bilangan latin”, yang digunakan sebagai “bahasa ilmu pengetahuan dan teknologi” (iptek).

Ini telah diajarkan sejak dahulu maupun sekarang di dalam masyarakat Maluku Utara, melalui lembaga pendidikan formal. Tetapi faktanya Indonesia masih tampak ‘terkebelakang’ dalam literasi ilmu pengetahuan dan teknologi. Bersama pranata ilmu pengetahuan, lembaga
pendidikan formal juga telah menjadi fakta tak terelakkan bagi semua orang; dijadikan sebagai kewajiban bagi negara, bagi semua warga negara tanpa kecuali, menjadi tuntutan maupun kebutuhan bagi setiap orang agar dapat memiliki dan menguasainya.

Melalui pendidikan formal, diharapkan ilmu pengetahuan dan teknologi diserap peserta didik menjadi bagian dari dirinya, menjadi salah satu cara berpikirnya, menjadikannya melek ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebagai cara berpikir, ilmu pengetahuan berguna bagi peserta didik dalam menangani kenyataan hidup yang sangat penting, yakni ketidakpastian hidup (Hoover & Donovan, 2011: 2), seperti ketidakpastian dari konsekuensi setiap keputusan dan tindakan yang diambil, fenomena dan peristiwa-peristiwa dalam hidupnya, ketidakpastian dalam lingkungan sosial budaya di sekitarnya, dan masalah-masalah yang terjadi di dalam skala masyarakat luas.

Seseorang yang telah melek ilmu pengetahuan akan dapat: “memahami hakekat pengetahuan ilmiah, menerapkan konsep-konsep, prinsip-prinsip, hukum-hukum, dan teori secara tepat dalam bidang kehidupan tertentu, menggunakan proses ilmu pengetahuan dalam pemecahan masalah, membuat keputusan, dan meningkatkan pemahaman dan konsisten dengan nilai-nilai yang mendasari ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang kehidupan, mengembangkan pandangan yang lebih kaya, memuaskan dan menggairahkan dalam bidang yang digeluti sebagai hasil dari pendidikan ilmiah, serta mengembangkan keterampilan secara cerdik berkaitan dengan iptek (Showalter, dikutip Rubba dan Andersen, 1978:450).

Individu dan masyarakat yang telah melek ilmu pengetahuan, karena itu, dikatakan memiliki ‘budaya literasi ilmu pengetahuan’. ‘Budaya’ berkaitan dengan pengetahuan, nilai, norma, praktik dan wujud materil dalam bidang literasi yang dihasilkan seseorang atau sekelompok orang. Berkenaan dengan “literasi”, pengetahuan yang dimiliki seseorang / sekelompok orang mewujud dalam kemampuan mengenal, membaca-memahami, berhitung dan menulis.

Nilai (value) secara khusus berkenaan dengan anggapan dan sikap yang meninggikan arti penting dari kemampuan literasi (baca: memandang literasi ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai kemampuan dan kualitas yang seharusnya dimiliki setiap orang); norma berkaitan dengan tata cara yang menetapkan apa yang baik, tepat dan benar dalam kegiatan literasi ilmu pengetahuan dan teknologi.

Norma menjadi standar yang harus dicapai seseorang untuk dapat dianggap memiliki kompetensi literasi iptek; praktik (literasi) berkenaan dengan kegiatan membaca, berhitung, dan menulis, yang dapat menghasilkan seperti teknologi, buku, musik dan sastera sebagai wujud materil dari kemampuan literasi. Melek ilmu pengetahuan seperti ini tentu saja membutuhkan proses dan kerja sama berbagai elemen di dalam masyarakat yang mendukung tujuan pembentukan budaya literasi ilmu pengetahuan dan teknologi.

Ekosistem pembentukan budaya literasi ilmu pengetahuan

Dengan ekosistem saya maksudkan sejumlah elemen di dalam masyarakat yang saling berhubungan, berinteraksi dan secara bersama mewujudkan “budaya literasi ilmu pengetahuan”. Dari segi pendidikan, terdapat tiga jenis pendidikan di dalam setiap masyarakat; pendidikan formal, pendidikan non-formal dan pendidikan informal. Pendidikan formal didanai oleh pemerintah maupun yang dibangun lembaga-lembaga seperti Yayasan dan organisasi kemasyarakatan.

Pendidikan non-formal terdiri atas lembaga pendidikan non-gelar yang dimiliki pemerintah maupun swasta. Pendidikan informal berupa setiap lembaga rumah tangga dengan pranata sosial budaya yang dikenali melalui konsep “pengasuhan anak” dalam artian luasnya. Lazimnya, pemerintah daerah kabupaten—sesuai peraturan yang berlaku—mengurusi pendidikan formal dari jenjang pendidikan dasar hingga menengah.

Untuk menguatkan “pendasaran” literasi ilmu pengetahuan, pemerintah dapat membuat regulasi yang mewajibkan dan mengevaluasi capaian pembelajaran pada jenjang pendidikan dasar, dan menengah. Misalnya, pada tingkatan pendidikan anak usia dini, diwajibkan agar peserta didiknya hingga tingkat tertentu telah mengenal dan menulis huruf latin dan angka. Pada jenjang sekolah dasar, misalnya, wajib telah lancar membaca-memahami, berhitung dan menulis kalimat secara baik sesuai tata bahasa baku bahasa Indonesia. Pada jenjang pendidikan menengah SMA, yang merupakan calon peserta pendidikan tinggi, disiapkan dengan cara mewajibkan lulusannya agar telah mampu menuangkan ide dan gagasannya secara tertulis, dalam bentuk esai, makalah ataupun dalam bentuk karya sastera tulisan atau teknologi sederhana.

Secara bersamaan, dibutuhkan peningkatan kemampuan atau kompetensi para guru pada jenjang pendidikan usia dini, pendidikan dasar dan menengah. Tak kalah pentingnya adalah pengadaan atau pembenahan dan peningkatan perpustakaan pada jenjang pendidikan usia dini, pendidikan dasar dan pendidikan menengah, termasuk perpustakaan komunitas yang dapat diakses oleh warga masyarakat dari berbagai lapisan sosial. Penciptaan iklim yang “memaksa” dan membentuk kebiasaan literasi iptek dapat melibatkan sekaligus menghidupkan komunitas-komunitas dari masyarakat sipil yang konsern pada kegiatan literasi membaca, berhitung, menulis (iptek).

Jika ekosistem sederhana (dan yang sama telah kita ketahui ini) dapat diciptakan, maka harapan Halmahera Selatan untuk meningkatkan indeks pembangunan manusia pada sektor pendidikan dapat dicapai. Tidak hanya menyiapkan warganya ke jenjang pendidikan tinggi dan melek ilmu pengetahuan dan teknologi, juga menghasilkan manusia-manusia yang kreatif dalam proses produksi dan reproduksi pengetahuan dan teknologi yang bermanfaat untuk berbagai kebutuhan manusia.

Kreatifitas seperti ini merupakan salah satu ciri dari masyarakat pasca-industrial, yakni kemampuan memproduksi pengetahuan dalam berbagai bidang kehidupan. Dengan perkataan lain, pembentukan kemampuan dan penguasaan literasi ilmu pengetahuan sangat ditentukan oleh penciptaan eksosistem yang dapat mendorong proses pembelajaran warga, tidak hanya pada lembaga pendidikan formal (sekolah) tetapi juga pada skala rumah tangga.

Sebuah ekosistem yang dapat dibentuk dan beroperasi melalui regulasi yang dalam penyusunannya merupakan hasil konsensus pemerintah dan masyarakat sipil. Hal ini patut diperhatikan. Disamping karena alasan amanat undang-undang sistem pendidikan nasional, juga dilatari kenyataan dimana ilmu pengetahuan adalah pranata budaya modern yang tidak bersumber dalam tradisi atau budaya kita secara historis. Upaya “mengambil-alih (apropriasi) dan mengakarkannya ke dalam budaya kita merupakan pekerjaan yang tidak mudah.
Aproriasi pranata ini untuk memenuhi kebutuhan kita sendiri dalam memperbaiki dan meningkatkan kualitas kehidupan sebagai manusia yang dibekali akal dan berkeadaban. Karena itu, kemampuan dan penguasaan literasi ilmu pengetahuan telah menjadi semacam aksioma
kehidupan yang tak dapat lagi dipertanyakan urgensi dan relevansinya. (*)