Oleh: Fitra Nita Nur
“Mereka yang tidak mengambil pelajaran dari sejarah, maka mereka ditakdirkan untuk mengulanginya” (George Santayana)
MAHASISWA dan pergerakannya sudah menjadi bahan kajian sejak lama dalam wacana kontemporer di Indonesia. Wacana mahasiswa dan pergerakannya menjadi sarapan pagi teman-teman mahasiswa, entah di warung kopi, kos-kosan, forum studi, dan kelompok-kelompok studi lainnya. Kehadiran forum-forum diskusi bertujuan untuk mendiskusikan berbagai problem bangsa, baik ketimpangan sosial, pelecehan budaya, problem ekonomi maupun peta politik kontemporer Indonesia.
Secara ideologis, mahasiswa dapat dikategorikan sebagai tokoh pengubah dunia. Karena hampir setiap pergerakan mahasiswa pasti terlihat ketika menjamurnya depolitisasi para penguasa. Target pergerakan mahasiswa tersebut tidak lain adalah untuk menuntaskan ketidakadilan, ketimpangan, kemunafikan dan proses pembodohan yang selalu hadir di tengah-tengah masyarakat.
Bentuk-bentuk pergerakan yang dibangun dengan berbagai keberagaman di kalangan mahasiswa, merupakan suatu langkah konstruktif yakni mengoreksi dan mengontrol kebijakan para penguasa ketika kebijakan tersebut melenceng dari komitmen awalnya sebagai penyelenggara untuk menampung aspirasi masyarakat dan senantiasa melakukan perbaikan sebagai wujud mensejahterakan rakyatnya. Pentingnya peran mahasiswa tersebut membutuhkan mahasiswa berkompeten serta menjunjung tinggi spirit profesionalitasnya sebagai generasi yang sadar akan dirinya selaku pelajar di intitusi akademik.
Pergerakan Mahasiswa dalam Bingkai Sejarah
Menelaah pegerakan mahasiswa beberapa tahun silam sungguh menjawab kualifikasi mahasiswa sebagai modernizing agent. Karena berdasarkan suguhan historikal di lingkup nasional maupun internasional, pergerakan mahasiswa beberapa tahun silam cukup signifikan dalam menentang tirani untuk menjawab tantangan pembangunan suatu bangsa yang lebih baik.
Beberapa suguhan faktualitas sejarah penggulingan rezim para penguasa yang dapat kita kutip misalnya; Juan Peron di Argentina tahun 1955, Soekarno di Indonesia tahun 1966, Ayub Khan di Paksitan tahun 1969, serta masih banyak lagi faktualitas sejarah yang menjadi spirit pergerakan mahasiswa lainnya. Peristiwa ini memposisikan mahasiswa sebagai prime over guna mengubah situasi politik suatu negara menuju ke gerbang kesuksesan yang lebih baik dari masa-masa sebelumnya.
Berangkat dari faktualitas sejarah perjuangan dan pergerakan mahasiswa beberapa tahun silam, sedikit mengajak kita untuk bergerak ke studi komparatif kritisisme mahasiswa, pada beberapa tahun silam dan mahasiswa di era kekinian.
Mahasiswa dan Realitas Pergerakannya
Mencermati kondisi mahasiswa akhir-akhir ini, suatu pergerakan dan perjuangan mahasiswa menunjukan output yang kurang maksimal. Hampir semangat pergerakan mahasiswa masa lalu hanya menjadi cerita sejarah turun temurun, tanpa melihat ibrah-nya. Sehingga mengutip bahasa trend yakni Andilau “antara dilema dan galau” mulai terlihat.
Gejala tersebut dapat menggangu sistematisasi pemikiran dalam mendudukan kembali epistemologi gerakan yang lebih metodologis. Karena hampir setiap pergerakan dibangun belum memiliki suatu gagasan yang dapat dirumuskan menjadi suatu bagan konsepsional, sehingga konsep yang dibentuk dalam suatu gerakan kurang merepresentasikan fakta. Kecenderungan ini, membuahkan pergerakan serba dilematis dan proses pesimistis mulai membiak di kalangan mahasiswa sendiri.
Deskripsi singkat di atas, sedikit menekankan penulis pada bahasa Karl Popper yaitu masyarakat bar-barian “masyarakat yang belum disentuh oleh peradaban”. Predikat bar-barian ini yang perlu dijawab oleh mahasiswa sebagai suatu predikat yang tidak semestinya dilebelkan kepada mahasiswa.
Ada beberapa hal yang menjadi ikhtiar bagi mahasiswa, antara lain : (1) lemahnya konsolidasi gagasan; sehingga ide yang menjadi mata uang pikiran telah mengalami defisitnisasi akibat dari minimnya kreatifitas dan intelektualitas mahasiswa. (2) Ketersinggungan kelompok; sehingga perilaku sesama mahasiswa tidak menampilkan nomenklatur mahasiswa sebagai generasi intelek, rasional, dan ilmiah namun lebih mengedepankan watak predatorian. (3) kepentingan semu (pragmatisme); sehingga memprodak generasi yang instan dan kadar militansi semakin menukik.
Belum lagi, standar ganda (doublle standart) seperti bahasa Hugh Godard dalam bukunya Budy Munawarachman “Islam Pluralis”, yakni masing-masing kelompok mengklaim kebenaran kelompoknya (truth claim) lebih otentik dibandingkan kelompok-kelompok yang lain begitupun sebaliknya. Fenomena demikian, mendorong lemahnya integralistik pemahaman mahasiswa sendiri, sebagai kelompok terdidik yang berkualitas.
Tradisi Intelektual sebagai Solusi
Ada hal lain yang perlu diperhatikan dan menjadi kajian bersama seluruh civitas akademika kampus. Gerakan mahasiswa untuk mempertahankan integritas mahasiswa dan sebagai penyambung lidah rakyat bukanlah gerakan anarkis, mengedepankan kekerasan dan radikalisme. Tetapi gerakan mahasiswa adalah gerakan intelektual, sebagai wujud nyata dari kelompok terdidik di kalangan akademisi kampus. Dan sejatinya gerakan intelektual, akan terbangun ketika masih terkonfirmasi dengan budaya mahasiswa, yakni baca, tulis dan diskusi. Sehingga senada dengan tradisi intelektual yang dibahasakan oleh Andriani Achmad sebagai Trias Tradition yaitu tradisi membaca, menulis dan diskusi.
Tiga tradisi di atas, menjadi akar pergerakan mahasiswa sebagai komponen penting suatu bangsa. Jika tradisi ini tetap diwujudkan, maka ruang-ruang diskusi lebih mengarahkan pergerakan mahasiswa yang rasional dan ilmiah, serta menjadi good suporting feedback masyarakat. Selain itu, pembentukan wacana rasional dapat melahirkan gagasan dan analisa yang cemerlang. Disamping itu, dengan menulis wacana yang bersumber dari hasil bacaan berbagai referensi maupun analisis sosial dapat terdistribusi dengan baik dan tertib. Dan melalui tulisan, dapat membawa mahasiswa menuju pintu gerbang yang sebenarnya.
Aktivitas membaca diwajibkan oleh mahasiswa. Karena tanpa membaca mahasiswa lemah dalam analisis sosial, krisis ide, tidak ilmiah, lebih mengabdi kepada kondisional, serta selalu mengada-ada. Sikap tidak cerdas inilah, berpotensi membentuk pribadi dan tampilan mahasiswa tidak bervisi serta tidak mampu bersaing di pentas intelektual.
Hasil pergerakan mahasiswa sebelum mencapai suatu perubahan yang signifikan, membutuhkan input masalah yang perlu dikaji secara detail dan ilmiah. Sehingga aktualisasi ide dan gerakan memiliki keakuratan data yang dapat dipertanggungjawabkan secara intelektual sebagai suatu landasan bagi mahasiswa untuk mengkritisi dan bertindak.
Aktualisasi dan keakuratan data sangat penting bagi Gerakan Mahasiswa dalam mengkritisi dan bertindak. Jika tradisi ini masih tetap dipertahankan oleh mahasiswa, semoga Gerakan Mahasiswa bisa kembali menuju gerbang intelektual yang sebenarnya dan mimbar kehormatan seutuhnya. Wassalam..! (*)