Opini  

Konstruksi Gender: Implikasinya pada Buruh Tambang Perempuan

Rujia Sanaba.

Oleh: Rujia Sanaba

WACANA gender bukanlah wacana usang yang tergilas abad, meski wacana ini telah muncul sejak abad awal pertengahan, namun ia masih tetap hangat diperbincangkan, karena masih sangat relevansi dengan kehidupan sosial masyarakat dewasa ini.

Gender merupakan satu kesatuan dari entitas kehidupan yang akan ada selama manusia masih eksis di muka bumi. Gender memiliki kedudukan yang penting dalam kehidupan seseorang dan dapat menentukan pengalaman hidup yang akan ditempuhnya, dapat menentukan akses seseorang terhadap pendidikan, dunia kerja dan sektor-sektor publik lainnya. Gender juga dapat menentukan kesehatan, harapan hidup, dan kebebasan gerak seseorang.

Jelasnya gender akan menentukan seksualitas, hubungan dan kemampuan seseorang untuk membuat keputusan dan bertindak secara otonom (Jhon M. Echols dan Hassan Shadily). Singkatnya, gender menentukan seseorang akan menjadi apa nantinya.

Menurut Elaine Showalter, seorang feminis amerika, gender adalah pembedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari konstruksi sosial. Hal yang seiring dikemukakan oleh Mansour Fakih, ia mendefinisikan gender sebagai sebuah hasil konstruksi sosial dan kultural yang membedakan perempuan dan laki-laki.

Perempuan dianggap lemah, pemelihara dan rajin, serta tidak cocok untuk menjadi kepala rumah tangga. Akibatnya, semua pekerjaan rumah tangga menjadi tanggung jawab perempuan. Pembedaan gender (gender different) inilah yang berimplikasi pada pembagian peran kerja antara perempuan dan laki-laki yang kemudian melahirkan ketimpangan-ketimpangan seperti marginalisasi, sub-ordinasi, stereotype, diskriminasi bahkan kekerasan (violence) yang merugikan kaum perempuan.

Sugihastuti dalam buku gender dan inferioritas perempuan mengurai beberapa teori yang menganalisa masalah gender, salah satunya adalah teori sosial-konflik yang identik dengan teori Marx, karena begitu kuatnya pengaruh Marx di dalamnya. Marx mengemukakan suatu gagasan menarik bahwa ketimpangan gender antara laki-laki dan perempuan tidak disebabkan oleh perbedaan biologis, tetapi merupakan bagian dari penindasan kelas yang berkuasa dalam relasi produksi yang diterapkan dalam konsep keluarga.

Hubungan laki-laki dan perempuan (suami-istri) tidak ubahnya dengan hubungan proletar dan borjuis, hamba dan tuan, atau pemeras dan yang diperas. Dengan kata lain, ketimpangan peran gender dalam masyarakat bukan karena kodrat Tuhan, tetapi karena konstruksi masyarakat. Konstruksi gender ini berimplikasi pada posisi tawar perempuan di dunia industri, seperti industri pertambangan, yang syarat dengan iklim maskulinitas atau lebih didominasi oleh kaum laki-laki.

Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2017, jumlah pekerja perempuan di sektor pertambangan sekitar 115 ribu orang, sementara laki-laki 1,28 juta orang. Sementara di sektor listrik, air, dan gas, hanya ada sekitar 46 ribu pekerja perempuan, sedangkan laki-laki sekitar 347 ribu orang. Kedua sektor ini merupakan sektor-sektor dengan jumlah pekerja perempuan terendah.

Dua tahun kemudian, dalam Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) tahun 2019, disebutkan bahwa jumlah pekerja perempuan di sektor tersebut hanya kurang dari 10 persen. Konstruksi gender yang menganggap perempuan adalah makhluk yang lemah lembut, irrasional, rajin dan pandai merawat tentu menempatkan perannya hanya pada posisi yang tidak strategis atau tidak berkontribusi langsung pada produksi dan pengambilan kebijakan, yang pada akhirnya berdampak pada peluang karir dan sistem upah. Rendahnya posisi tawar perempuan sebagai akibat dari konstruksi gender yang keliru, mengakibatkan adanya kesenjangan upah antara pekerja perempuan dan laki-laki.

Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020, pekerja perempuan Indonesia menerima rata-rata upah 21,01 persen lebih rendah dibandingkan laki-laki. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) per bulan Agustus 2020 pun meningkat 1,84 persen dibandingkan dengan Agustus 2019 menjadi 7,07 persen (BPS, 2020). Sistem upah suatu perusahaan tambang biasanya menyesuaikan dengan perjanjian kerja bersama (PKB) perusahaan, di mana karyawan yang memiliki spesifikasi pekerjaan khusus akan dibayar lebih dari pada karyawan yang bekerja agak santai, biasanya pekerjaan yang agak santai (tidak terlalu berat) ini diberikan kepada perempuan, contohnya pada posisi staff administrasi, General Affair, staff dapur umum, dll.

Kesenjangan upah juga dipengaruhi oleh tingkat risiko kecelakaan kerja di masing-masing posisi. Pada posisi-posisi yang ditempati perempuan dianggap sebagai posisi kerja dengan tingkat risiko kecelakaan rendah, padahal jika ditilik lebih dalam lagi, kita akan menemukan bahwa pada dasarnya setiap pekerja yang memasuki area induk produksi (pabrik) memiliki tingkat risiko kecelakaan yang kurang lebih sama.

Jika pekerja perempuan yang bekerja dalam ruangan dianggap jauh dari potensi bahaya, ini adalah anggapan keliru. Sebab desain konstruksi ruang kerja dibeberapa perusahaan tambang biasanya ditempatkan di induk pabrik, yaitu bersebelah-sebelahan langsung dengan mesin-mesin produksi raksasa, seperti tanur listrik yang memiliki potensi ledakan jika terjadi korsleting listrik.

Risiko kecelakaan kerja juga mengintai para pekerja perempuan pada saat pulang dan pergi kerja, di mana jalur pejalan kaki yang berhadap-hadapan langsung dengan alat berat tambang seperti loader dan dump truck, di sini risiko tertabrak dan terlindas bisa saja terjadi. Waktu kerja selama 8-12 jam juga berisiko bagi pekerja dapat mengakibatkan Penyakit Akibat Kerja (PAK), karena terpapar kebisingan mesin pabrik, debu dan asap beracun hasil pengolahan bahan tambang, dll.

Dari fakta-fakta di atas, seharusnya kita sadar bahwa kesenjangan upah antar setiap pekerja antar laki-laki dan perempuan yang dinilai dari aspek risiko kerja adalah tidak relevan, sehingga cukup merugikan bagi buruh tambang perempuan. Pada akhirnya, konstruksi gender berimplikasi pada nilai tawar buruh perempuan pada industri pertambangan, akibatnya kesenjangan upah antara perempuan dan laki-laki adalah keniscayaan yang tidak bisa dinafikkan.

Perempuan belum dianggap sebagai penggerak ekonomi, ia hanya sebagai pelengkap yang ditempatkan pada posisi-posisi kurang strategis dibandingkan laki-laki dan tidak terlibat dalam penentu kebijakan produksi. Hal ini tentu membutuhkan perhatian, baik dari pihak perusahaan agar memberikan akses lebih bagi pekerja (buruh) perempuan serta menyusun kebijakan yang egaliter, juga dari pihak pekerja (buruh) perempuan itu sendiri, agar mampu meningkatkan skill melalui program-program pelatihan baik yang difasilitasi perusahaan maupun secara mandiri demi meningkatkan posisi tawar dalam pekerjaan. (*)