Opini  

Pesantren Basis Pengkaderan Lahirnya Ulama Kondang

Firdaus Muhidin.

Oleh: Firdaus Muhidin

Mahasiswa PAI IAIN Ternate/Sekum KAMMI Komisariat IAIN Ternate

DALAM tulisan ini penulis menggunakan pendekatakan historis dengan melihat dinamika dan kondisi pesantren dalam mengkader “santri” sehingga lahirnya ulama yang memiliki pengaruh besar terhadap politik Indonesia di abad ke-20. Saya rasa cukup banyak sumber literatur yang telah menyinggung persoalan ini, peran pesantren “santri” dan “ulama” dalam menegakkan Indonesia merdeka.

Saya katakan jangan pernah menafikkan peran santri dan ulama dalam sejarah perjuangan bangsa dan negara Indonesia. Mereka cukup andil berkontribusi penuh, jihad adalah kemulian bagi mereka dalam perjuangan melawan sekutu untuk menegakkan Indonesia merdeka dari cengkeraman mereka.

Dalam album sejarah masa transisi peradaban bangsa sangat menohok di persimpangan jalan gedung cakrawala, perumahan, dan permukiman masyarakat tidak begitu megah yang menjadi naungan tempat tinggal kalangan masyarakat Indonesia yang memiliki keterbatasan ekonomi, pendidikan, politik di kala itu masa kolonial Belanda, Jepang dan kawan-kawannya yang mendiami bumi Nusantara. Sebab kekayaan alam berlimpah ruah waktu itu telah dikuasai oleh para bendit-bendit bermodal dan berkuasa kolonial Belanda dan kawan-kawannya sekehendak mereka memperlakukan masyarakat pribumi sebagai buruh jajahan.

Akibatnya masyarakat pribumi atas keterbatasan akses tidak mampu menyekolahkan anak-anak mereka ke pendidikan bergengsi Holland Inlandsche Scholen singkatnya HIS, Belanda, yang dirikan pada tahun 1914. Pendidikan waktu itu hanya didasarkan kepada sebagian kecil masyarakat pribumi yang mampu menyekolahkan anaknya pada pendidikan bergengsi tersebut.

Atas semangat membara yang dilakukan oleh para kiyai untuk melakukan perlawanan terhadap pendidikan Belanda. Maka, segala pikiran, keikhlasan hati dan kebaikan moral serta tindakan untuk memerdekakan pendidikan bagi masyarakat pribumi untuk menyekolahkan anaknya, dihadirkanlah pendidikan pesantren sebanyak-banyaknya untuk sebagai basis pengkaderan “santri” yang kelak lahir ulama kondang berintelektual Islam yang akan membawa pengaruh terhadap jejaran kolonial Belanda dan kawan-kawannya yang mendiami Nusantara.

Di samping itu, pesantren pada dasarnya didirikan oleh beragam faktor, antara lain adalah karena kebutuhan masyarakat atas pendidikan Islam seperti yang terjadi pada zaman penjajahan Belanda sebagaimana penjabaran di atas, yang mendirikan sekolah-sekolah umum dengan menafikan eksistensi agama di dalamnya. Di sisi lain karena sebab adanya seorang kiyai atau guru yang diakui intelektual keislamannya oleh masyarakat sehingga ilmunya dituntut oleh santri yang berdatangan dari berbagai tempat.

Dalam catatan sejarah memberi sebuah informasi sangat penting, disanjung-sanjung, dihargai dan dihormati atas kiprah dan perjuangan mereka dalam dunia pendidikan yang dapat dikatakan bahwa pendidikan tradisional yang mempengaruhi dunia Barat adalah sistem pendidikan pesantren yang dikenal sangat berpengaruh bagi para intelektual Barat yang menduduki bumi Nusantara separuh abad ke-15 hingga abad  ke-20.

Lahirnya para ulama kondang tidak terlepas dari pendidikan pesantren yang menjadikan peradaban bangsa berkembang pesat dalam berjuang melawan sekutu yang terus menggerogoti rakyat di atas penderitaan yang tidak sesuai dengan perikemanusiaan yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945.

Secara historis keberadaan pesantren di Nusantara cukup lama disebut pusat budaya Islam, yang disahkan atau dikembangkan oleh masyarakat, setidaknya oleh masyarakat Islam sendiri yang secara de facto tidak dapat diabaikan keberadaannya. Itulah sebabnya menurut Nur Cholish Madjid bahwa ditinjau dari segi historis, pesantren tidak hanya identik dengan makna keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia.

Dalam konteks pendidikan pesantren sudah tentu merupakan lembaga pendidikan Islam yang bersifat keagamaan yang pasti dengan godokan menggunakan metode pengajaran tradisonal semacam bendongan dan sorongan yang berlaku di setiap masa dan juga Kiyai Ilyas yang merupakan keponakan KH. Hasyim Asy’ari memperkenalkan pengajaran bahasa Belanda, pelajaran sejarah, bahasa melayu (Indonesia), geografi, pada tahun 1926 karena untuk mengikuti perkembangan pendidikan waktu itu.

Membaca kitab gundul sudah tentu berbahasa Arab yang dijadikan sumber bacaan (literature) utama bagi kalangan santri. Mengkader santri dengan bacaan-bacaan kitab keislaman sudah menjadi sarapan spesial bagi mereka di pagi hari dan sore hari di pesantren bersama gurunya, kiyai. Alhasil, pendidikan pesantren adalah lembaga yang membentuk santri menjadi santri yang berkarakter. Sehingga mampu melahirkan lulusan yang memiliki idealisme, nasionalisme, kemampuan intelektual dan perilaku mulia.

Di pesantren itu sendiri para santri dididik untuk memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam dengan penekanan pentingnya moral dalam bermasyarakat. Hal ini dapat dilihat bagaimana santunnya santri dalam menghormati guru.

Saya rasa kita akan sepakat dengan mengatakan hal yang sama bahwa model pendidikan karakter yang dilaksanakan di pesantren dewasa ini mulai diperhatikan oleh pemerintah. Sebagian pihak menilai bahwa strategi pendidikan pesantren telah berhasil menanamkan pendidikan moralitas santrinya, walaupun proses pendidikan di pesantren tidak memiliki perangkat pembelajaran yang lengkap, tetapi menghasilkan lulusan yang memiliki karakter yang luhur. Sebaliknya, di lembaga pendidikan umum pendidikannya memiliki perangkat pembelajaran yang jelas, tetapi kurang menghasilkan lulusan yang berkarakter mulia.

Kembali dalam catatan sejarah pesantren telah melahirkan santri kharismatik yang memiliki pengaruh besar di seantero bumi Nusantara yang kelak dikenal sebagai ulama besar, Hadratussyeikh KH. Hasyim Asy’ari. Dapat digambarkan, Hasyim kecil yang mondok menuntuk ilmu sederhananya dari pesantren ke pesantren dan kembali ke pesantren. Dalam usia 7-15 tahun, Hasyim Asy’ari (1871-1947) meninggalkan kedua orang tuanya setelah mendapatkan pendidikan dari sang kakek Kiyai Uman dan Ayahnya Asy’ari, berkelana memperdalam ilmu dari satu pesantren ke pesantren lain.

Mula-mula ia menjadi santri di Pesantren Wonokoyo, Probolinggo. Kemudian pindah ke Pesantren Langitan, Tuban. Pindah lagi Pesantren Trenggilis, Semarang. Belum puas dengan berbagai ilmu yang dipelajarinya, ia melanjutkan di Pesantren Kademangan, Bangkalan di bawah asuhan Kiyai Cholil. Tak lama di sini, Hasyim pindah lagi di Pesantren Siwalan, Sidoarjo. Di pesantren yang diasuh Kyai Ya’qub inilah, agaknya tertarik, Hasyim merasa benar-benar menemukan sumber Islam yang diinginkan. Kyai Ya’qub dikenal sebagai ulama yang berpandangan luas dan alim dalam ilmu agama. Cukup lama lima tahun Hasyim menyerap ilmu di Pesantren Siwalan. Dan rupanya Kyai Ya’qub sendiri menyukai pemuda yang cerdas dan alim itu, Hasyim. (Lathiful Khuluq, 2013:28).

Pada 1893 Hasyim Asy’ari berangkat menunaikan ibadah haji di Makkah yang kedua kalinya dan sekaligus memperdalam ilmunya di sana selama 7 tahun dan belajar dari ulama asal Indonesia, Syeikh Ahmad Khotib Minangkabau, Syeikh Mahfudz al-Tarmasi, dan Syeikh Nawawi al-Bantani. Pasca dari Makkah kembali ke Indonesia pada 1900, dan pada 26 Rabiul Awal 1317 H/1899 M, mendirikan pondok Pesantren Tebuireng di Jombang. Ribuan santri menimba ilmu kepada KH. Hasyim Asy’ari.

Setelah lulus dari Pesantren Tebuireng, Jombang, tidak sedikit dari santri-santrinya untuk tampil sebagai tokoh dan ulama kondang dan berpengaruh luas, antara lain: KH. Abdul Wahab Hasbullah dari Pesantren Tambak Beras, Jombang, KH. Bisri Syansuri dari Pesantren Denanyar, Jombang, KH. Ras’ad Syamsul Arifin, KH. Wahid Hasyim yang merupakan anaknya, KH. Achmad Shiddiq, Syekh Sa’dullah al-Maimani yaitu mufti di Bombay, India, Syekh Umar Hamdan yang merupakan ahli hadits di Mekkah, Al-Syihab Ahmad ibn Abdullah di Syiria, KH. R. Asnawi di Kudus, KH. Dahlan di Kudus dan KH. Shaleh di Tayu.

Selain itu, KH. Hasyim Asy’ari juga mendirikan Nahdlatul Ulama (NU) pada 31 Januari 1926 bersama dengan Kiyai Wahab Hasbullah yang menjadikannya kelompok yang berpengaruh di Indonesia. Tidak hanya menjadikannya sebagai organisasi keagamaan, KH. Hasyim Asy’ari juga ikut langsung memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dengan Resolusi Jihadnya yang membakar semangat kaum santri. (Yuniari, 2021:56-57).

Pada 1946, misalnya, ketika pemimpin tentara Indonesia, Jenderal Sudirman, bertempur melawan Belanda, tetapi sebelum itu beliau mengunjungi Pesantren Tebuireng untuk meminta nasihat dan fatwa KH. Hasyim asy’ari. Fatwa ini ditunjukkan untuk mencari dukungan pada eksistensi Republik Indonesia (Lathiful Khuluq, 2013:25). Tidak  menjadi kemungkinan bila ini terjadi merupakan kehendak takdir ilahi Tuhan Yang Maha Esa.

KH. Hasyim Asy’ari mengirim asisten-asisten beliau untuk tugas belajar ke berbagai pesantren yang ada di Pulau Jawa dalam meningkatkan kapasitas keintelektualan, ilmu, dan pengetahuan mereka; Abdul Wahid Hasyim dan Ilyas. Wahid hasyim sebagaimana kita ketahui bersama yang ikut terlibat di dalamnya pada 18 Agustus 1945 untuk merumuskan dasar ideologi bangsa dan Negara, pancasila, serta konstitusi Undang-undang 1945. Juga menjabat sebagai wakil dalam organisasi tingkat nasional MIAI dan Masyumi pada waktu itu.

Pada tahun 1945, setelah Indonesia merdeka, pesantren banyak menyumbangkan tokoh-tokoh penting dalam pemerintahan Indonesia, sebut saja Mukti Ali yang dahulu pernah menjabat sebagai Menteri Agama, Muhammad Natsir dan menariknya yang lebih terpenting lagi dengan terpilihnya Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai Presiden Indonesia yang keempat, adalah juga mewakili tokoh yang muncul dari kalangan pesantren.

Menurut Samudji dalam buku tesisnya, kedudukan kiyai dalam pondok pesantren, yang dikutip oleh Lathiful Khuluq terdapat pada halaman 50, bahwa “mungkin pesantrenlah yang mencerminkan konsep masyarakat tradisional dengan lembaga yang cocok untuk menyiapkan para pemuda agar bangkit dari  masyarakatnya.”  Itu artinya bahwa eksistensi pesantren membawa pegaruh besar bagi bangsa Indonesia.

Kemulian seorang kiyai diketahui keberadaanya sehingga dikatakan oleh Raffles mengakui bahwa setiap kiyai di Indonesia oleh penduduk dianggap orang suci, dan memiliki kekuatan gaib. Karena tingginya kehormatan yang dimilki oleh para kiyai itu dengan mudah mereka dapat membangkitkan gerakan-gerakan pemberontakan, dan bilamana para kiyai ini bekerja sama dengan pemimpin rakyat yang menentang Belanda, maka kerja sama tersebut akan sangat membahayakan penjajah Belanda. (*)