TERNATE, NUANSA – Proses hukum kasus dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dan gratifikasi yang menyeret mantan auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Maluku Utara, YA alias Yoga sebagai tersangka, mulai menyita perhatian publik. Sorotan dari publik kali ini datang dari praktisi hukum Iskandar Yoaisangaji.
Advokat Maluku Utara itu mengaku selalu mengikuti proses hukum kasus tersebut di Polda Maluku Utara. Menurutnya, ketika Yoga ditetapkan tersangka, maka sudah tentu penyidik telah memperoleh alat bukti permulaan sebagaimana pasal 1 angka 14 KUHAP yang menyatakan tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.
Ia mengatakan, kasus tersebut berkaitan dengan dugaan tindak pidana suap, maka perbuatan yang terjadi tidak hanya dilakukan oleh Yoga, tetapi juga melibatkan orang lain. Suap itu, kata dia, sudah pasti ada pemberi dan ada yang menerima. Dalam perspektif Undang-Undang (UU) nomor 31 tahun 1999 junto UU nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, pada pasal 5 ayat (1) menyatakan, suap adalah setiap orang yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya. Dengan demikian, yang memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya adalah suap.
Lanjut Iskandar, pada ayat (2) dinyatakan bahwa bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). “ Sehingga menurut saya, rumusan pasal 5 ini menyangkut dengan suap dan dapat dimaknai dengan tiga bentuk tindak pidana suap. Yakni dua bentuknya nampak pada pasal 5 ayat (1) sedangkan bentuk yang ketiga nampak pada ayat (2),” ujarnya.
Masih menurut Iskandar, terjadinya tindak pidana suap bentuk ketiga ini, bergantung pada terjadinya tindak pidana korupsi suap bentuk pertama dan kedua. Tidak mungkin bentuk ketiga berdiri sendiri, lepas dari bentuk pertama dan kedua. Artinya pada kasus Yoga yang merupakan oknum BPK perwakilan Maluku Utara yang diduga telah menerima suap dari pihak lain tidak mungkin berdiri sendiri, tetapi sudah pasti menerima dari pihak lain atau bisa saja dari perusahaan atau instansi pemerintahan. Maka dari itu, penyidik mestinya menuntaskan proses dalam matarantai tersebut. “Maka ini menjadi tugas bagi penyidik Krimsus Polda Maluku Utara, untuk mengusut tuntas kasus ini. Karena jika hanya tersangka Yoga yang diusut, maka bagaimana dengan pemberi suap yang mestinya melekat pasal 5 ayat (1). Sudah menjadi tugas penyidik untuk mengungkapkan siapa-siapa saja yang memberikan suap kepada tersangka Yoga,” harapnya menegaskan.
Hasil Penelusuran
Berdasarkan penelusuran yang dilakukan Nuansa Media Grup (NMG), salah satu staf BPK perwakilan Maluku Utara berinisial YA diduga menjadi dalang di balik dugaan suap ini. Beberapa bulan lalu oknum tersebut dipindahkan ke BPK pusat. Pemindahannya itu diduga ada hubungannya dengan masalah ini. Sebelum ditetapkan tersangka, YA juga sudah diperiksa pengawas internal BPK.
YA diduga kuat menjadi penghubung perusahaan atau instansi pemerintah yang ingin berurusan dengan oknum di BPK. Urusan perusahaan dan instansi pemerintah tentu saja terkait dengan audit penggunaan keuangan negara. Dalam melancarkan aksinya, YA menjadikan salah satu warga Ternate sebagai tumbal. Orang itu berinisial SS. YA dan SS pertama kali kenal tahun 2020. Masalah ini sudah sampai ke telinga BPK Pusat. YA sendiri sudah diperiksa inspektur pengawasan BPK, termasuk rekeningnya. Dua orang lainnya di BPK perwakilan Maluku Utara juga dimintai keterangan.
Perkenalan keduanya terjadi di bengkel milik SS yang terletak di Ternate. Ketika itu YA memperbaiki mobilnya yang rusak di bengkel SS. Dari situlah, hubungan keduanya mulai dekat. Tak lama kemudian, YA mengajak SS berbisnis mobil bekas. Setelah hubungan bisnis mereka berjalan, tiba-tiba satu per satu orang mengatar uang dengan jumlah yang tidak sedikit di rumah dan bengkel SS. Kaget dengan uang yang diantar kepadanya, SS menanyakan YA. YA sampaikan ke SS agar simpan saja uang yang diserahkan orang yang diketahui sebagai suruhan pengusaha itu.
SS diduga pertama kali menerima uang Rp 800 juta dari PT L pada 18 Januari 2020. Uang itu diantar seseorang berinisial F. Pada 19 Februari 2020, SS kembali menerima uang Rp 750 juta. Yang menyerahan uang ini dari perusahaan yang sama dan juga dibawa oleh F. Ketika itu SS menanyakan ke YA, uang apa yang ia terima itu. YA hanya menyuruh SS mengambilnya saja. Pada 3 Maret 2020, YA menyuruh SS mengambil uang Rp 500 juta di rumah F di Kelurahan Tanha Tinggi. Uang ini masih dari PT L.
Selain itu, pada 20 Maret 2020 SS masih disuruh YA untuk menerima uang dari dua perempuan berinisial A dan U sebesar Rp 850 juta. Uang itu bersumber dari PT I. Selanjutnya, pada 30 Maret 2020 SS masih mengambil uang dari orang sama dan perusahaan yang sama sebesar Rp 250 juta. Setelah itu, pada 13 April, YA menyuruh SS untuk mengambil uang di seorang pria berinisial A sebesar Rp 1,5 miliar. Kemudian pada 17 April YA kembali menyuruh SS uang titipan seseorang berinisial K di dekat Bank Indonesia sebesar Rp 650 juta.
Selanjutnya, 22 April 2020, SS disuruh mengambil uang dari K atas perintah YA sebesar Rp 700 juta. Uang ini diambil di dekat Bank Indonesia. Pada 2 Mei 2020, seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) berinisial I datang ke rumah SS atas perintah YA. ASN itu membawa uang Rp 900 juta. Pada 28 Juli 2020, SS disuruh YA mengambil uang dari seorang perempuan berinisial I sebesar Rp 920 juta. Uang itu diserahkan di depan Rumah Sakit Medika, Kelurahan Kota Baru, Kecamatan Ternate Selatan.
Tidak sampai di situ, pada 3 Agustus 2020, SS masih disuruh YA untuk mengambil uang dari seorang perempuan berinisial I sebesar Rp 900 juta. Uang sebesar itu diserahkan di kawasan Perikanan, Kelurahan Bastiong, Kecamatan Ternate Selatan. Pada 6 April 2021, di tempat yang sama dan dari orang yang sama sebesar Rp 4 miliar.
Setelah itu, YA memerintahkan SS untuk mengirimkan uang ke sejumlah orang, yakni ke seorang perempuan berinisial A, kemudian seorang perempuan lagi berinisial M. SS juga mengirimkan uang ke YA melalui bank. YA juga mengambil uang cash dari tangan SS. Tak sampai di situ, SS juga disuruh YA untuk mengirim sejumlah uang PT. G. Uang itu diduga untuk pembayar vila. Setelah itu, SS juga beberapa kali didatangi salah seorang security BPK berinisial S untuk mengambil uang atas perintah YA. Uang yang diambil oknum security itu diduga diserahkan ke oknum lain di tubuh BPK.
Dugaan suap yang melibatkan oknum BPK Maluku Utara ini sudah dilaporkan ke Polda Maluku Utara dan Kejaksaan Tinggi Maluku Utara. Selain itu, SS juga telah dilaporkan YA ke Reskrimum Polda Maluku Utara atas dugaan penggelapan dan penipuan. SS kini berstatus tersangka. SS juga telah menggugat YA secara perdata di Pengadilan Negeri Ternate. Sebab, SS sudah menggunakan uang pribadinya untuk mengirim uang ke sejumlah orang atas perintah YA dan uang itu belum dikembalikan oleh YA. Perkara perdata di Pengadilan Negeri Ternate sementara dalam proses persidangan. (kov)