Opini  

Reformasi Budaya Berorganisasi Mahasiswa

Naufandi Hadyan Saleh.

Oleh: Naufandi Hadyan Saleh

MANUSIA merupakan makhluk hidup yang hadir dengan sejuta keinginan dan kebutuhan. Seiring bergantinya hari dan waktu, keinginan dan kebutuhan manusia juga berganti dan bertambah. Sikap keserakahan inilah yang mendorong manusia sering dinilai sebagai makhluk yang tidak pernah menemui kata puas. Achmad Sobirin mengatakan, kondisi inilah yang menyebabkan manusia sering dijuluki sebagai the wanting creature.

Julukan ini menyiratkan bahwa keinginan, kebutuhan, dan upaya untuk mencapai titik kepuasan merupakan kodrat manusia yang selalu melekat pada diri seseorang.  Dorongan dan motivasi seseorang untuk melakukan berbagai macam tindakan sering kali dilandasi oleh kodrat tersebut. Tak heran acap kali ditemukan seorang manusia mampu mencari ribuan cara demi merealisasikan keinginan dan kebutuhannya.

Salah satu cara yang paling sering dilakukan oleh manusia untuk mencapai tujuan dari keinginan tersebut adalah bekerja sama ataupun merekrut orang lain untuk membantunya. Hal ini yang kemudian kita kenal dengan berorganisasi. Manusia dan organisasi bak dua keping mata uang yang takkan bisa untuk dipisahkan. Sebab antar satu manusia dengan manusia yang lain memiliki satu ketergantungan (social being).

Manusia sejatinya bagian dari makhluk sosial atau makhluk organisasi. Menurut Jusuf Amir Feisal dalam bukunya “Reorientasi Pendidikan Islam” mengatakan bahwa manusia adalah homo socius yang merupakan sebuah anggota suatu komunitas umat yang mempunyai kewajiban dan tanggung jawab terhadap sesama dan lingkungannya.

Dalam QS. Al-Hujurat 49:13 tergambar jelas bahwa manusia hakikatnya diciptakan dalam keberagaman dengan kewajiban dan tanggung jawab terhadap sesama dan lingkungannya. Samsul Nizar (2019) hidup bermasyarakat dan berorganisasi secara kolektif adalah fitrah (natural). Tentunya dalam pemaknaanya, organisasi sendiri harus dipandang dalam perspektif yang luas. Misalnya organisasi di dalam sebuah keluarga, birokrasi, kemasyarakatan,
kemahasiswaan, dsb.

Dunia kampus menjadi salah satu ruang yang paling banyak menghadirkan organisasi. Agar pembahasannya lebih mengerucut, organisasi yang dimaksudkan adalah organisasi kemahasiswaan. Sebagai pusat dari akademisi dan pemuda tentu menjadikan kampus sebagai tempat dengan beragam pemikiran dan gagasan. Faktor inilah yang menasbihkan hadirnya banyak organisasi kemahasiswaan dengan latar belakang dan tujuan yang beragam.

Namun sayangnya, kehadiran organisasi yang ada di kampus sering kali belum mampu menghadirkan sikap optimisme akan tercapainya tujuan organisasi. Itu semua dapat diukur dengan melihat banyaknya budaya-budaya yang tidak relevan dipraktekkan dalam berorganisasi. Padahal mahasiswa yang berorganisasi sejatinya harus mampu menjadi role model bagi rekan-rekan sebayanya yang mungkin tidak tergabung dalam sebuah organisasi.

Tak heran faktor ini yang menjadi salah satu sebab menurunnya minat berorganisasi bagi mahasiswa. Padahal berorganisasi bagi mahasiswa merupakan salah satu part yang paling penting dan harus dialami ketika menjadi seorang mahasiswa. Sebagaimana judul yang diangkat pada tulisan kali ini, penulis ingin memaparkan beberapa budaya-budaya yang harus diganti di sebuah organisasi sebagai upaya meningkatkan minat mahasiswa dalam berorganisasi.

1. Menepis Stigma Tertundanya Kuliah Karena Berorganisasi

Sudah menjadi hal yang lumrah ketika menemui seseorang yang begitu aktif dalam berorganisasi sering kali terlambat ataupun tertunda urusan perkuliahanya. Padahal semestinya alasan bertanggung jawab dalam berorganisasi membuat urusan perkuliahan menjadi tertunda bukanlah sebuah alasan yang bisa untuk diterima. Pada dasarnya urusan perkuliahan dan berorganisasi merupakan dua hal yang memiliki kesetaraan dalam tanggung jawab seorang mahasiswa. Semestinya seorang mahasiswa harus menyadari tanggung jawab akademik bagi dirinya sama penting dengan tanggung jawab dalam berorganisasi.

Dalam salah satu tulisan penulis yang berjudul “Menerka Mahasiswa Aktivis”, penulis dengan tegas menolak sematan mahasiswa aktivis yang sering tersematkan bagi para mahasiswa yang aktif dalam berorganisasi. Menurut kacamata penulis, mahasiswa aktivis bukanlah seorang yang hanya mampu kuat terhadap tanggung jawab sosialnya melainkan juga tanggung jawab akademiknya. Sebab menjadi seorang mahasiswa aktivis adalah menjadi sosok yang mampu mengkolaborasikan dua sisi tersebut.

Faktor inilah yang membuat mahasiswa kini enggan melirik organisasi sebagai tempat yang mampu mengembangkan kemampuannya. Sebab mahasiswa yang berorganisasi sekalipun tidak mampu menjadi uswah (teladan) bagi mahasiswa yang lain untuk menarik minat dan keinginan dalam beroganisasi. Diperlukan adanya sosok mahasiswa yang mampu menepis stigma tertundanya kuliah karena beroganisasi, hal ini dirasa perlu untuk mengembalikan frame positif bagi mahasiswa yang ingin beroganisasi.

Semestinya berorganisasi bagi seorang mahasiswa adalah upaya untuk mengelaborasikan apa yang diberikan oleh organisasi untuk diimplementasikan pada ruang akademiknya dan sebaliknya. Dengan demikian ia mampu untuk menjadi mahasiswa yang matang secara intelektual dan mental kepemimpinannya. Jika hal ini berhasil diubah, penulis berkeyakinan berorganisasi bagi mahasiswa bukan hanya menjadi pekerjaan sampingan yang sewaktu-waktu bisa dikerjakan atau ditinggalkan. Lebih dari itu berorganisasi bagi mahasiwa adalah tuntutan dalam pengembangan kemampuan seorang mahasiswa di kampus.

2. Modernisasi Berorganisasi

Pada era dengan pesatnya pusat informasi dan teknologi sering kali ditemukan pola-pola jadul (jaman dulu) yang sering dipraktekkan dalam beroganisasi. Padahal semestinya menjadi mahasiswa di era revolusi industri 5.0 ini modernisasi menjadi tuntutan dalam rangka menyesuaikan diri dengan perkembangan jaman. Mahasiswa yang hidup pada periode ini dihadapkan dengan berbagai macam tantangan, salah satunya adalah tantangan digitalisasi.

Digitalisasi menjadi sebuah keniscayaan dan pasti dialami oleh seluruh manusia yang hidup di jaman ini. Oleh karenanya, mahasiswa sebagai bagian dari lapisan masyarakat yang hidup di era digitalisasi tentu diharuskan untuk menyesuaikan diri dan mulai beralih dari pola-pola lama ke pola-pola masa kini.

Jika dikaitkan dengan budaya berorganisasi penulis berkeyakinan penuh, bahwa mahasiswa akan merasakan dampak positif dari penggunaan pola baru di era digitalisasi. Salah satu upaya dalam menyesuaikan diri di era kini adalah modernisasi berorganisasi. Pemanfaatan teknologi menjadi hal yang tak dapat ditawar lagi bagi setiap mahasiswa. Semestinya mahasiswa yang berorganisasi harus mampu untuk memaksimalkan penggunaan teknologi di manapun ia berada.

Hal itu dapat diterapkan melalui, (1) Perekrutan anggota menggunakan barcode. Penggunaan barcode dalam opening recruitment dirasa penting sebagai pintu pembuka masuknya mahasiswa dalam sebuah organisasi. Cara-cara lama seperti membagikan formulir dengan kertas dinilai tidak terlalu berjalan efektif dan cenderung memakan biaya yang cukup banyak. (2) Pembuatan website khusus untuk organisasi, dengan melihat pasar yang ada tentu media sosial menjadi sasaran paling empuk dalam mencari segala bentuk informasi.

Kehadiran website organisasi diharapkan menjadi sumber informasi dan profil organisasi. Dengan begitu para mahasiswa yang hendak bergabung dengan sebuah organisasi dapat terlebih dahulu mengetahui profil dari organisasi yang ingin dimasukinya. (3) Progresif dalam berkarya serta mempublikasi karyanya, baik berupa tulisan ilmiah maupun non-tulisan ke platform-platform yang digemari oleh sebagian besar masyarakat. Hal ini juga dinilai merupakan stimulus untuk menarik perhatian dan minat mahasiswa. Akhirnya modernisasi berorganisasi yang dimaksud adalah penyesuaian diri dengan memanfaatkan teknologi untuk kebaikan dan kepentingan organisasi secara maksimal.

3. Sikap Senioritas

Sudah menjadi hal yang umum kala budaya senioritas menjadi sesuatu yang cukup diagung-agungkan oleh sebagian besar organisasi kemahasiswaan. Tentu hal ini bisa digiring pada dua sisi berbeda yaitu sisi negatif dan positif. Pada sisi negatif misalnya, dikutip melalui media Halmaherapost.com dalam salah satu beritanya pada tanggal 26 Januari 2022 memberitakan telah terjadi aksi kekerasan yang dilakukan oleh salah satu mahasiswa senior yang ada di Universitas Muhammadiyah Maluku Utara (UMMU) terhadap juniornya. Dalam redaksi beritanya penulis justru menyoroti pernyataan dari sang pelaku yang mengatakan pemukulan tersebut sudah menjadi tradisi atau budaya yang berlaku pada organisasinya.

Sangat begitu disayangkan kala kekerasan pada sebuah organisasi dianggap sebagai hal yang biasa terjadi bahkan dinyatakan sebagai budaya. Secara tidak langsung organisasi yang dianut adalah organisasi yang setia mengonsumsi budaya-budaya negatif di lingkungannya. Dalam bentuk apapun kekerasan yang terjadi di perguruan tinggi tidaklah dapat ditolerir sebagai bentuk pembelaan. Apalagi dilakukan oleh seorang mahasiswa yang notabenenya menjadi bagian dari masyarakat intelektual yang ada di kampus. Sudah seharusnya budaya-budaya negatif seperti inilah yang harus dihilangkan, sebab tak ada dalih nilai pendidikan dalam bentuk kekerasan fisik bagi kalangan seorang terpelajar.

Pada sisi positif, semestinya senioritas harus difokuskan pada nilai-nilai keteladanan. Muthia Sayekti (2018) mengatakan proses mendidik yang paling efektif adalah dengan cara memberi keteladanan, bukan sekadar perintah atau larang. Senioritas dalam berorganisasi adalah sebagian dari proses mendidik ataupun mengkader. Itu kenapa tingkah laku dalam tutur kata maupun bertindak bagi seorang senior adalah buah contoh yang akan diteladani oleh setiap junior-nya. Hal ini tentu akan menjadi lebih arif dan bijak jika keteladanan tersebut digiring pada sisi-sisi yang dapat membawa impact positive.

Dari sinilah dapat kita simpulkan bahwa senioritas juga bagian dari penentu generasi selanjutnya. Itu kenapa masa depan dari sebuah organisasi juga ditentukan dari kualitas para senior-seniornya. Dengan demikian penulis berkeyakinan dibutuhkan adanya reformasi budaya yang ada pada sebuah organisasi kemahasiswaan sebagai upaya menumbuhkan kembali perhatian dan keinginan mahasiswa untuk berorganisasi. Sebab bagaimanapun juga organisasi kemahasiswaan yang diharapkan menjadi ruang pengembangan kemampuan mahasiswa setidaknya harus memberikan jaminan positif yang akan diperoleh oleh setiap mahasiswa ketika hendak bergabung dalam sebuah organisasi. (*)