Opini  

Precedent Buruk Legislasi Pemerintahan Jokowi

Muhammad Hasan Basri.

Oleh: Muhammad Hasan Basri  

Direktur Pusat Studi Konstitusi dan Demokrasi (PSKD)  

SISA sembilan bulan lagi pemilihan umum akan dilaksanakan secara serentak pada 14 Februari 2024. Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,  Presiden dan Wakil Presiden serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Pemilu 2024 menandakan akan berakhirnya rezim pemerintahan Jokowi. Berakhirnya pemerintahan Jokowi meninggalkan catatan legislasi yang buruk.

Sejak akhir tahun 2019, kinerja legislasi yang dimotori oleh Presiden dan DPR menunjukan perubahan cara kerja yang masif. Praktik pembentukan dan perubahan Undang-undang dilakukan dengan jangka waktu yang sangat cepat dan mengabaikan prinsip partisipasi masyarakat yang diatur dalam UUD NRI 1945. Cara kerja demikian seolah menjadi precedent yang terus dilakukan dan menjadi kebiasaan Presiden dan DPR dalam pembentukan hukum nasional.

Precedent Legislasi

Serangkaian produk legislasi bermasalah dibuat secara cepat dan minim partisipasi masyarakat terus dilakukan di periode kedua pemerintahan Jokowi. Perubahan Undang-undang KPK dimulai pada tanggal 03 September 2019 dan disahkan pada tanggal 17 September 2019, artinya hanya dalam waktu 14 hari, DPR dan Presiden merencanakan, menyusun, membahas, dan mengesahkan Undang-undang KPK.

Undang-Undang Minerba yang disahkan pada 12 Mei 2020, di tengah situasi pembatasan sosial dalam penanganan pandemi yang dibahas dengan sangat tertutup meski tidak memenuhi syarat pembahasan sebagai RUU carry over.  Pembahasan yang sangat cepat, tertutup dan tidak melibatkan pemangku kepentingan. Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yang disahkan secara kilat pada 1 September 2020 dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Hasil survey kompas yang dilakukan pada 20-22 Oktober 2020 menunjukan sebanyak 59,7 persen responden menganggap pembahasan RUU Cipta Kerja tidak demokratis. Hanya 20,7 persen yang menjawab demokratis, sementara 19,6 persen tidak tahu. Pada tahapan persetujuan pengambilan keputusan politik dalam persetujuan RUU Cipta Kerja menjadi sangat elitis Presiden didukung oleh besarnya koalisi di Parlemen.

Pada tahapan pengesahan, ke (tak) normalan fungsi legislasi terbaca dengan ketiadaan akuntabilitas dalam pengesahan RUU Cipta Kerja ada Gap antara naskah yang telah mendapatkan persetujuan bersama dan naskah yang akan disahkan untuk diundangkan. Hampir seluruh produk legislasi yang disahkan dan dibahas dalam waktu singkat, menutup ruang partisipasi masyarakat dan mendapat penolakan dari publik.

Penolakan masyarakat sebagai pemilik kedaulatan terhadap produk legislasi tersebut tidak pernah didengar dan dipertimbangkan oleh DPR dan Presiden. Situasi ini semakin mempertontonkan adanya pembangkangan dari pembentuk Undang-Undang yang tidak taat terhadap ketentuan norma yang mengatur tata cara pembentukan Undang-Undang.

Kewajiban Pembentuk Undang-undang

Relasi kontrak sosial sering kali dilihat dalam kacamata proxy version, di mana rakyat memberikan legitimasi kepada pembentuk Undang-undang, lalu pembentuk Undang-undang memiliki legitimasi untuk mengatur kehidupan publik tanpa merasa perlu untuk untuk menghadirkan legitimasi pada produk legislasi yang dibuat. Relasi yang demikian dapat dikategorikan sebagai relasi satu arah dari rakyat kepada Negara.

Dalam perkembangan Ilmu Hukum saat ini terutama dalam pembentukan Undang-undang, telah berkembang sebuah paradigma baru dalam melihat hubungan rakyat sebagai sumber legitimasi dengan badan pembentuk Undang-undang yang menerima legitimasi. Pembentuk Undang-undang memiliki kewajiban untuk berinteraksi dengan rakyat, dan memberikan justifikasi atas setiap pembentukan Undang-undang yang dilakukan agar melibatkan partisipasi masyarakat.

Pembentuk Undang-undang harus melibatkan partisipasi masyarakat untuk menghasilkan Undang-undang yang responsif. DPR tidak hanya sekadar menampung dan memperjuangkan kepentingan kelompok dan partainya, tetapi DPR juga harus menampung dan memperjuangkan aspirasi yang tersebar di masyarakat dalam proses pembentukan Undang-undang. Jadi, partisipasi masyarakat merupakan suatu kewajiban dalam Negara Demokrasi.

Penutup

Bahwa pembentukan Undang-undang secara cepat dan tidak melibatkan partisipasi masyarakat adalah bentuk pengkhianatan terhadap daulat rakyat dan UUD 1945. Presiden dan DPR harus memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi partisipasi masyarakat.

Hal yang terpenting dari legislasi bukan hanya terletak pada keinginan pembentuk Undang-undang, melainkan juga berkaitan dengan keinginan masyarakat. Asas demokrasi menyatakan bahwa lembaga Parlemen, Presiden, merupakan perpanjangan tangan dari kedaulatan rakyat sehingga partisipasi masyarakat merupakan kewajiban yang harus ada dalam setiap pembentukan Undang-undang. (*)